Perkara yang Paling Dekat dan Jauh

Imam al-Ghazali menasihati, seorang Muslim yang baik akan mengoptimalkan waktu untuk beribadah dan meningkatkan ketakwaan. Bahkan, tanda optimalnya waktu adalah bagaimana setiap detik, menit, jam, dan hari dapat bernilai ibadah. Tidak harus di masjid, melainkan juga rumah atau tempat mencari nafkah. Siapa pun yang terlena melalaikan waktu maka baginya kelak adalah penyesalan tiada tara.

Ingatlah nasib Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa AS dan Bani Israil hingga ke Laut Merah. Sesaat sebelum napas terakhirnya, ketika air lautan sudah nyaris menenggelamkannya, raja Mesir itu akhirnya mengakui Keesaan Allah SWT.

Adegan ini diabadikan dalam surah Yunus ayat 90. Artinya, “Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Fir’aun dan bala tentaranya mengikuti mereka, untuk menzalimi dan menindas (mereka). Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam, ia berkata, ‘Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri)’.”

Pada ayat berikutnya ditegaskan betapa sia-sianya pengakuan yang amat sangat terlambat itu. “Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.”

Telah lama dan berkali-kali Fir’aun mendapatkan kesempatan untuk bertobat. Sudah banyak mukjizat ditunjukkan oleh Allah kepadanya melalui perantaraan Nabi Musa AS. Fir’aun justru menampakkan kesombongannya sehingga memburu utusan Allah itu bahkan hingga ke ujung daratan.

Relevan sekali kata-kata mutiara dari Syekh Ibnu Qoyyim berikut, “Kehilangan waktu itu lebih sulit daripada kematian. Sebab, kehilangan waktu membuatmu jauh dari Allah dan hari akhir.”

Ya, seorang Mukmin hendaknya memahami betapa pentingnya waktu, sebelum ia menjadi sesuatu yang paling jauh, yakni masa lalu. Hingga akhirnya, ia menjumpai yang selama ini begitu dekat, yaitu kematian. (rol)

OLEH HASANUL RIZQA