Renungan Aa Gym: Gelar, Ilmu dan Rahmat Allah

Eramuslim – SAUDARAKU. Biasanya ketika ada mahasiswa bertemu dengan yang tidak kuliah, misalnya anak SMA atau SMP, dia mudah merasa dirinya lebih hebat. Padahal, bisa jadi anak SMA atau SMP yang ditemuinya itu orangnya jujur, dan tidak pernah mencontek seperti yang sering dilakukannya di kampus.

Jadi, misalkan saudara memiliki gelar, bersyukurlah atas takdir Allah yang baik itu. Tapi tidak usah merasa mulia dengan gelar, sehingga jika tidak disebut saudara menjadi tersinggung atau terhina. Karena kemuliaan tidak diukur oleh gelar, tapi dengan ketakwaan.

Kalau penyebutan gelar hanya membuat hati menjadi kotor, lebih baik tidak usah disebutkan. Kecuali jika tempatnya mengharuskan, sebutlah yang proporsional saja. Seperti ketika berada dalam sebuah forum. Kalau ditanyakan tentang pendidikan kita, cukup dijawab misalnya,”Saya S-3.” Tidak usah ditambah lagi kalimatnya dengan, “Anda belum tahu ya? “Tidak perlu! Karena gelar hanyalah topeng dunia.

Atau, gelarnya mungkin tidak disebut, tapi bangganya lewat kata-kata. Misalkan menjelang lebaran ditelepon teman dari kampung, “Kang, lebaran ini pulang?” Lalu dijawab, “You pikir dong.” Kata temannya, “Saya Cecep bukan Yuyuk.” ketika bertemu lebaran dikatakan lagi,”You paham? Di dalam fluktuasi globalisasi yang tersentralisir dengan status ekonomi yang heterogen.”Temannya langsung bingung.

Nah, saudaraku. Gelar itu tidak salah. S-1, S-2, S-3, atau apa pun. Dikarenakan ilmu sama dengan harta, yakni netra|.Yang tidak netral adalah merasa diri atau kotornya hati dengan gelar yang dipegang. Sehingga bukan berarti tidak boleh kuliah, saudara jangan salah paham.