Ulama di Simpang Jalan

Eramuslim – Dikisahkan, Harun ar-Rasyid (khalifah kelima Dinasti Abbasiyah tahun 786-809 M), tengah risau dalam istana di Kota Baghdad. Lalu, Sang Khalifah mengundang seorang ulama kharismatik bernama Abu as-Sammak.

Sesampainya di istana, Khalifah berkata, “Nasihati aku Tuan.” Seketika, seorang pelayan muncul membawa segelas air. Namun, sebelum Khalifah meneguknya, ulama itu berkata, “Tunggu sebentar! Seandainya engkau kehausan di tengah gurun pasir yang terik dan tidak menemukan air, berapakah harga yang sanggup engkau bayar untuk segelas air ini?”

Khalifah menjawab, “Setengah dari kekayaanku.” Setelah meminumnya, ulama itu kembali bertanya, “Seandainya apa yang telah engkau minum mendesak dikeluarkan, namun tidak bisa sehingga mengancam nyawamu, berapakah harga yang akan engkau bayar?” Khalifah pun menjawab, “Setengah dari kekayaanku.”

Kemudian, Abu as-Sammak menasihatinya. “Hendaklah engkau sadari bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan yang engkau miliki, ternyata hanya bernilai segelas air. Oleh karenanya, tidak wajar diperebutkan dan dipertahankan tanpa hak. Sementara, betapa banyak nikmat Allah, selain segelas air itu yang telah engkau peroleh, sehingga tak patut jika engkau tidak mensyukurinya.” (Disarikan dari buku Yang Bijak dari M. Quraish Shihab, 2007).

Kisah inspiratif di atas menegaskan betapa mulia kedudukan ulama dalam kepemimpinan negara. Ketika berjaya, para penguasa semestinya meminta nasihat dan menghormati para ulama. Sebab, mereka adalah hamba yang hanya takut kepada Allah SWT dan teguh pada pendirian (QS 35:28). Juga, manusia pilihan sebagai pewaris para nabi (HR Abu Daud).