Buat Apa Bersikap Sombong ? (bag. 2)

Sungguh sedih bila mengenang seorang Fulan yang sakit hati akibat kesombongan orang tuanya, padahal Fulan adalah anak sholeh yang akhlaqnya baik, cerdas dan selalu ingat akan jasa-jasa ibu bapaknya. Namun sang ibu yang wanita karir dan dalam keluarga mengambil alih “pimpinan” gara-gara si suami pengangguran, begitu gegabah dengan berteriak-teriak, “Jangan sembarangan kamu mau nikah usia muda, kalau bukan karena mama, kamu bisa jadi anak jalanan tau! Kasih dulu jatah gaji kamu ke mama, itu namanya anak berbakti! Atau tidak usah panggil Saya mama lagi! Anak bodoh!”, si Fulan bagaikan merasa banyak paku dilempar ke dalam dadanya, hingga biarpun paku itu terlepas, luka dan rasa sakitnya masih terasa. Ia hanya terdiam, dan kesombongan kalimat ibunya malah membuat sang ibu terhina di mata anak-anak dan orang lain.

Si Fulan berpikir dan merenung, “padahal Saya tetap sayang pada mamaku itu, walaupun dia tidak menyusuiku, walaupun dia menitipkanku pada budhe, nenek, dan pembantu sejak bayi, walaupun dulu tiap hari tangisku mengiringinya karena ingin ikut ke kantor. Juga walaupun jika diriku menginginkan sesuatu, Saya harus menabung dengan keras untuk membeli sendiri, bahkan tabungan itu sering diambil mamaku untuk keperluan lainnya. Walaupun tiap hari kata-katanya ketus terhadap papa dan anak-anak, kami tetap menyayanginya. Walaupun saat saya diberi hidayah Allah SWT, dan menasehatinya, lalu ia patahkan nasehat itu dengan mengatakan bahwa Saya ‘anak kemarin sore’, harus ngasih duit dulu yang banyak buat ortu, baru boleh ngasih nasehat… Walaupun hubunganku dengan mama jadi lucu begitu, tapi biarlah Allah SWT saja Yang Maha Tahu, Saya sudah berusaha menjadi anak yang baik, namun di matanya tetap tidak baik karena ukuran ‘baik’ baginya adalah berbeda”, curhatan itu menjadikanku berkaca diri, memandang anak-anak kandung sendiri, lalu berbisik dalam hati, “Anak-anakku, Ummi tak akan seperti mamanya Fulan. Kalian adalah anak-anak titipan Alah SWT, kalian besar dan sukses kelak atas rahmat dan kebesaran Allah SWT, bukan karena ummi atau abi. Jika kalian pandai mencari ilmu dan menata keimanan, lalu beramal sholeh, itu sudah amat sangat membahagiakanku. Kadar kesuksesan kalian bukanlah dari jumlah nominal harta segudang atau segunung emas permata yang didapat, melainkan hati kalian yang berhasil tawadhu’ dan memahami diri sebagai hambaNYA yang sedang mencari bekal akhirat. Ya Allah, kuatkan hati ini untuk senantiasa istiqomah di jalan-Mu, amiin.”

Masih kuingat kesombongan seorang om, sebut saja Om Waswis dan istrinya, Si Tante Wiswus. Dulu Om Waswis menampar seorang ikhwan di jalan raya, lalu mengambil kunci motor ikhwan tersebut, gara-gara motor butut si ikhwan membuat lecet sisi depan mobil Om Waswis. Sewaktu mereka berlawanan arah melalui tikungan, kecelakaan kecil itu terjadi. Sampai sekarang tak tahu kejadian selanjutnya, terakhir mamandaku melihat si ikhwan menyeret motornya sambil menahan rasa sakit di kakinya, terseok-seok. Padahal mobil Si Om cuma lecet sedikit doang, tak ada pengaruh terhadap laju mobil di jalan raya. (Semoga saja si ikhwan pengendara motor itu diberikan kesehatan dan berkahNya selalu, amiin).

Sewaktu saya dan suami memperjuangkan hari H pernikahan 9 tahun lalu, Om Waswis “nyemprot” dengan lidahnya yang tajam, “Ulang lagi, pikir-pikir lagi donk! Nyebut-nyebut jihad dalam rumah tangga, anak bau kencur kayak kamu ini, Saya ini naik haji udah dua kali! Jihad tuh!”, lalu Tante Wiswus menambahi, “Ri… ri… Bego banget sih! Mau kawin ?! suami loe guru privat, kakak-kakak eloe guru-guru doank, miskin mulu takdir buat kalian yah! Cari noh yang kayak Om kamu ini, kerjanya di Bank! Bego koq dipiara!,” glek! Bayangkan, seorang manusia bisa sesombong itu, ia menganggap pernikahan di usia muda adalah kebodohan, sedangkan pergaulan bebas, married by accident seperti dirinya adalah hal yang lumrah! Naudzubillahi minzaliik, dan kata-kata itu dilontarkan di depan banyak orang. Al-Kibru (kesombongan) adalah “Menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)

Mungkin bagi pendengar lain yang emosional bisa berdebat hebat dan membuang waktu saja dengan menjawab perkataannya. Bahwa Om Waswis dan Tante Wiswus menjadikan gelar haji sebagai lambang kemewahan dan merasa paling hebat di muka bumi, padahal membaca ayat Al-Qur’an pun mereka masih kalah lancar dengan anak TK. Bahwa budaya perselingkuhan dalam rumah tangga mereka sudah jadi rahasia umum bagi para tetangga, bahwa hasil didikan ‘ala borju’ pada anak-anaknya telah membuahkan akhlaq yang buruk pula pada anak dan cucu mereka. Benarlah kalimat Allah SWT bahwa bisa jadi yang diperolok-olok adalah lebih baik daripada yang mengolok-olok.

Namun, Demi Allah, Saya telah ikhlas memaafkan, tak pernah mendo’akan yang buruk-buruk buat mereka. Allah SWT adalah Sang Maha Pemberi Ampun, juga Maha Pemberi balas, bisa dengan mudah DIA melimpahkan adzabNYA, saat di dunia maupun di akhirat, tetaplah segala kejadian yang berlaku adalah yang terbaik sebagai skenario-NYA. Dalam beberapa bulan setelah kami menikah, tiba-tiba orang tuaku mengabarkan bahwa bank tempat om waswis bekerja telah dilikuidasi, lalu ia pensiun dipercepat. Jangankan melikuidasi bank, “melikuidasi” nyawa kita pun mudah bagiNYA. Tahun selanjutnya manakala rumah tangga kami kian menaiki tangga-tangga pencapaian cita-cita, ternyata Om Waswis mendekam di penjara, entahlah bagaimana cerita persisnya kami tak mau ikut campur, info yang beredar adalah sopir Om Waswis telah menabrak seseorang hingga tewas, sang korban melaporkan Om Waswis ke pihak berwajib karena dia menolak bertanggung jawab dan bersikap arogan terhadap keluarga korban. Sementara tante wiswus malah sibuk “menempeli” mamandaku, curhat berlinang air mata karena suami mendekam di penjara, dan anak-anaknya terjerat pergaulan bebas, serta di tengah curhatnya tentu memelas minta dikasihani, dan tanpa malu-malu minta duit pula, sebutnya, “Bagi-bagi rezeki lah denganku ini, mbak.. anak-anakmu khan sering kirim duit, Saya ini seret nih sekarang..”, dan seterusnya, tak pelak lagi yang ada di pikiran orang sombong hanyalah uang dan uang. Mereka lupa bahwa roda dunia berputar, suatu kali kita di bawah dan hendaknya ikhlas serta optimis berjerih payah meraih cita-cita, jagalah ‘izzah diri di kala berada di posisi bawah. Suatu hari kita di atas dan hendaknya makin dekat dengan Allah SWT, sang pemberi nikmat, sang penitip amanah-amanah yang kita emban. Lantas berhakkah sombong, apa guna sombong ? Sedangkan segala yang kita punyai hanyalah titipan saja, hanya sesaat, mudah bagi Allah SWT untuk mengambilnya kembali. Tak ada tempat buat kita bersembunyi dari ketetapan Sang Maha Kuasa.

Nasehat baginda Rasulullah SAW, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaan untuknya. Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

Ternyata “apa-apa” yang kita berikan kepada orang lain, yaitu harta, berbagi ilmu, memberi maaf, serta sikap rendah hati adalah pengamalan ilmu-Nya yang pasti kita bawa sebagai bekal di yaumil hisab. Kemuliaan diri di mata Allah SWT sudah otomatis akan mulia pula di mata makhluk lainnya, tak perlu pongah membangga-banggakan diri.

Seorang abangku yang sudah jadi ilmuwan bercerita bahwa ketika ketemu guru SD, SMP dan SMA serta para dosen saya masih bersalaman takzim seperti biasanya, saya tidak malu bahkan sangat bangga pernah belajar dari mereka. Namun sekarang saking modernnya, terbalik nih posisi, bekas mahasiswaku malah melecehkan… yang dilecehkan kemampuan akademik lagi, hanya gara-gara nilai penelitian dia lebih besar dari yang saya jalani, yang ngasih nilai kan manusia toh, sombong sekali. Kalau saya bukan dosen dan tidak menyadari bahwa ilmu itu hanya titipan Allah, pasti udah saya jadikan "hewan percobaan" barangkali, hehehe, setengah serius setengah bercanda.

Saya jadi ikut tersenyum dan teringat, memang benar, jika tak ada keseimbangan penjagaan iman dalam jiwa, maka ilmu yang diperoleh bisa dijadikan “mainan”, setiap orang bisa berbalas curang sesuka hati, berbalas melecehkan tanpa takut pada Sang Ilahi. Seorang ilmuwan, dokter, guru, penguasa, penulis berita, dan segala profesi lainnya dapat dengan mudah tergoda menuliskan hal fiktif atau memutar balikkan fakta demi harta dan tahta bahkan wanita, “amal shalih” nan sejati dipinggirkan demi kemuliaan di mata penduduk bumi. Apalagi dengan multi talenta, pengusaha besar bisa sekaligus membuat stasiun televisi dan media massa sehingga mempengaruhi opini publik, yang salah dibenarkan lalu kebenaran dipandang sebagai hal yang salah.

Astaghfirrulloh… Bahkan di kelas dunia, antar-negara saling merendahkan, bisa saling lempar bom demi menunjukkan kekuasaan super. Para pejabat yang berilmu dengan kerapuhan iman, makin terlupa akan borok-borok hitam korupsi dan kolusi yang terus saja meraja-lela. Nominal milyaran dana rakyat lenyap, tapi “cuma” dihukum "bobo’ di penjara" 3 tahun saja, misalnya, atau tindakan moral yang bejat dengan “mengamalkan ilmu seksual” bukan pada tempatnya, yang jelas-jelas melanggar segala norma dan aturan hukum, ternyata bisa “dimaklumi”, dan juga dikenai sangsi penjara beberapa tahun saja. Sekelumit sangsi yang dibuat itu pun bisa direkayasa dengan “ilmu”, naudzubillahi minzaliik. Selanjutnya ilmu perekayasaan itu dijadikan alat untuk sombong, layakkah ? Banggakah mengikuti sifat setan tersebut ? Ilmu yang dipakai untuk merekayasa dan melanggar aturan Allah SWT adalah tidak membawa manfaat bagi diri sendiri, di dunia dan akhirat, dengan mudah akan menjadi hina di mata Sang Khaliq dan semesta. Dan Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa tak akan masuk surga orang-orang yang sombong.

Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah —shallallahu‘alaihi wa sallam— bersabda, “Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR. Bukhari No. 4918 dan Muslim No. 2853)

Wallohu ‘alam bisshowab.

(bidadari_Azzam, semoga kita senantiasa istiqomah di jalanNYA, Krakow, 13 feb.2011)