Alte Frau (1)

Istilah ini menjadi banyak dibicarakan oleh beberapa orang di desa saya dikarenakan saya lah penyebabnya. Ketika pertama kali bertemu Frau Weiergraeber di rumah yang akan menjadi tempat tinggal saya, saya tidak tahu kenapa tangan saya mendahului pikiran saya yang sedang menimbang, apakah hendak membalas uluran jabat tangan perempuan tua di depan saya ini, atau tidak membalasnya dan mengatupkan tangan saya saja.

Satu-satunya yang membuat saya menimbang adalah dia sudah tua, terlihat seperti seorang nenek, dan dia ini adalah tuan rumah yang akan saya tempati. Ketika suatu saat Nikole, tetangga kami mampir ke rumah kami, maka kami pun berkenalan, dan saya tidak membalas jabat tangannya, hanya mengatupkan tangan saya saja. Nikole kemudian bertanya darimana asal saya.

Saya pun menjawab dari Indonesia, negara muslim, dan sebagai muslim saya hanya diperkenankan untuk menyentuh beberapa perempuan, seperti istri saya, adik saya, ibu saya, dan ibu mertua saya. Tetapi kemudian saya menunjuk Frau Weiergraeber, sambil berkata pada Nikole, "kecuali perempuan tua, Alte Frau.“ Mendengar kata-kata terakhir saya, Frau Weiergraeber langsung tersenyum dan menepuk bahu saya. Nikole yang melihatnya pun ikut tersenyum dan sedikit tertawa.

Nikole sendiri adalah tetangga kami yang cantik dan ramah, serta dikenal amat penolong terhadap tetangga-tetangganya. Saat ini Nikole hidup bersama dengan Angel, keduanya masih muda dan sebaya saya. Bagi saya mereka layaknya pasangan serasi, yang wanita cantik dan baik, yang pria pun amat tampan dan juga penolong. Bahkan ketika pertama kali berkenalan dengan Angel, mengetahui namanya, hanya satu yang terlintas di hati saya, rasanya saya bertemu malaikat. Angel menyebut Nikole dengan meine Frau[1] ketika berkenalan dengan saya, yang menyebabkan awalnya saya mengira mereka menikah. Tetapi kemudian Frau Weiergraeber yang menjelaskan pada saya bahwa mereka hanya hidup bersama.

Suatu saat ada acara makan-makan di desa kami. Banyak warga desa yang membuka stan dagangan makanan mereka. Acara ini hanya dilangsungkan di salah satu jalan di lingkungan desa kami. Hadir pula pada saat itu Brigit dan Beatrix. Brigit adalah anak tertua Frau Weiergraeber, dan memiliki dua anak lelaki kembar yang sebaya saya. Birigit sendiri bagi saya terlihat juga sudah layaknya seorang nenek, hanya saja lucunya ia masih memakai pakaian yang hanya sering dipakai oleh anak-anak muda di Jerman.

Beatrix adalah anak kedua, dan usianya terpaut dekat dari Brigit. Kadang melihat Beatrix mengingatkan saya pada ibu saya. Cara mereka berbicara mirip. Ketika itu kami, dan kemudian Nikole dan Angel duduk semeja. Nikole kemudian langsung memulai obrolan kami dengan menyindir sikap saya terhadap wanita tua. Ia menceritakan kejadian di rumah Frau Weiergraeber yang lalu. Tentu saja ketika itu Nikole langsung bercanda pada Brigit dan Beatrix bahwa sikap saya dapat menjadi ukuran bahwa mereka berdua termasuk wanita yang sudah tua. Mendengar komentar Nikole itu, saya hanya melihat Beatrix tertawa, Brigit berwajah heran dan sedikit masam, dan Frau Weiergraeber tersenyum lebar.

Jabat tangan bukanlah hal yang lazim dilakukan orang Jerman setiap bertemu. Ia hanya dilakukan ketika pertama kali berkenalan, dan untuk pertemuan selanjutnya, hanya langsung sapaan tanpa jabat tangan. Kadang saya merasa diri saya tidak konsisten dengan sikap saya dalam hal yang satu ini. Ketika pertama kali berkenalan, saya membalas jabat tangan Brigit dan Beatrix, tetapi tidak membalas jabat tangan Margit dan Sandra.

Mereka semua adalah anak Frau Weiergraeber. Margit memililki seorang anak laki-laki yang sudah hampir kuliah, tetapi hidup tanpa suami, karena memang ayah dari anaknya tidak ada ikatan pernikahan dengan dirinya, sehingga saat ini mereka hanya hidup berdua. Sedangkan Sandra walau sudah kepala tiga, masih belum menikah. Frau Weiergraeber hanya mengatakan alasannya adalah Sandra terlalu memilih calon pendamping hidupnya.

Dalam hal jabat tangan, saya merasa yang paling aman adalah tidak perlu menyentuh mereka yang memang bukan hak kita menyentuhnya, bahkan dalam hal yang mungkin bisa dimaklumi sekalipun, rasanya yang aman adalah tetap tidak menyentuh mereka. Tetapi pada saat itu memang baru seperti itu kemampuan saya beramal. Walau demikian, saya selalu berusaha agar ketika kami berinteraksi, saya membawa suasana agar kami tidak perlu bersalaman, walaupun dalam perkenalan. Dalam beberapa hal, usaha saya ini cukup berhasil untuk mencegah saya melakukan sesuatu yang tidak perlu dan yang saya sendiri kurang berkenan.

Frau Weiergraeber ini berumur 76 tahun. Ia menjalani dari masa Hitler hingga masa euro sekarang. Ketika saya tanyakan bagaimana pendapatnya terhadap kondisi perekonomian Jerman saat ini, ia mengatakan bahwa saat ini harga-harga barang lebih mahal ketimbang masa Jerman masih menggunakan DM[2] . Jawabannya mengesankan bahwa baginya keadaan ekonomi Jerman sebelumnya lebih baik ketimbang masa sekarang.

Pernah saya tanyakan kira-kira kapan masa-masa emas perekonomoian Jerman, maka Frau Weiergraeber hanya menjawab sekitar tahun 70an. Beberapa teman dan saudara saya di institut mempertanyakan kenapa saya tidak pindah ke tempat yang lebih dekat dari Forschungszentrum Juelich, dan jawaban yang biasa saya sampaikan adalah saya sudah cocok dengan tempat tinggal saya saat ini, dan tuan rumahnya pun baik. Sebenarnya ada alasan lain. Yaitu ketika pertama kali berbincang dengan Frau Weiergraeber, ia bertanya pada saya hingga kapan saya berencana menetap di rumahnya, maka saya waktu itu langsung menjawab untuk selama 6 bulan, masa tesis saya.

Sebenarnya alasan saya bahwa saya sudah cocok dengan rumah ini dan tuan rumahnya pun baik, tidaklah berlebihan. Biaya sewa kamar termasuk murah untuk ukuran mahasiswa. Perabotan kamar saya lengkap, sehingga saya tidak perlu mempersiapkannya. Mencari kamar untuk tempat tinggal di Jerman yang sudah dilengkapi dengan furniture[3] tidaklah mudah dan memang kamar jenis ini jarang, kecuali asrama mahasiswa yang perabotan dasarnya sudah tersedia. Jadi ketika dahulu saya sempat mencari kamar, faktor ketersediaan perabot ini adalah kriteria kedua setelah harga sewa.

Untuk cucian saya pun, Frau Weiergraeber yang melakukannya sekalian dengan cucian dia. Ia beralasan hemat energi. Ia pun kemudian juga menyetrika cucian saya itu sehingga ketika saya mendapati pakaian-pakaian saya yang tersusun dalam keranjang di dekat tangga, maka yang saya dapati adalah pakaian yang sudah dilipat rapi dan siap dikenakan.

Ketika pohon-pohon apel berbuah di kebun, Frau Weiergraeber sering membuat kompot. Kompot ini adalah makanan olahan dari apel. Olahannya sederhana hingga saya sendiri pernah berencana untuk mencoba membuatnya di Indonesia. Buah-buah apel ini direbus hingga lunak dan kemudian dihancurkan dan diaduk hingga rata. Hasilnya mirip selai yang dipakai sebagai pelengkap roti.

Tetapi Frau Weiergraeber sering hanya makan kompot begitu saja, dan ketika menyajikannya pada saya, makan langsung seperti itu enak juga. Ketika membuat kue, Frau Weiergraeber juga sering menyajikannya khusus untuk saya. Ia sudah tahu zat-zat yang saya katakan tidak boleh dikonsumsi oleh seorang muslim, dan ia pun membuat kue yang memenuhi kriteria itu. Biasanya Frau Weiergraeber membuat kue untuk Beatrix, Markus, anak tunggal Beatrix, dan Luka, anak tunggal Margit. Beatrix dan Margit masing-masing tinggal mengapit rumah kami. (Bersambung)

Catatan :

[1] Artinya : Istri saya. Frau juga dipakai untuk menyatakan istri, sedangkan untuk teman wanita adalah Freundin

[2] Deutsche Mark, mata uang Jerman sebelum kesepakatan beberapa negara Uni Eropa

[3] Diistilahkan dengan moebliert