Berbeda ? Untuk Saling Mengenal (1)

Ini adalah bab favorit saya. Kenapa? Karena saya memang suka mengenal orang. Bahkan saya sering mengenal orang yang dia sendiri tidak tahu kalau saya sudah mengetahui namanya atau beberapa hal darinya. Ya, ini karena semata jelasnya pesan ALLAH dalam surat Al Hujurat ayat 13 bahwa tidaklah berbagai macam suku bangsa dihadirkan ALLAH ke dunia ini melainkan agar kita saling mengenal. Tujuannya hanya satu. Mereka yang mengenal betapa berbeda dan beragam ciptaan-Nya tentu dengan sendirinya akan mengenal Sang Pengkreasi Segala Keragaman. Bahkan hendaknya kita tidak hanya sekedar mengetahui seseorang tetapi juga teliti mengenalnya. Ya, ALLAH sendiri mengakhiri ayat 13 surat Al Hujurat ini dengan sifat Maha Mengetahui dan Maha Teliti-Nya.

Jadi saudaraku, jangan kaget jika mungkin di antara saudara-saudaraku yang membaca tulisan ini, saya sudah mengetahui nama saudaraku dan beberapa hal dari saudaraku walaupun kita belum pernah bertemu. Benar, saya tidak sedang bercanda.

Ketika pertama kali saya bertemu saudara saya Yudhi di Hannover, maka saya katakan bahwa dia dahulu les bahasa Jerman di suatu tempat di Bandung. Saya juga katakan bahwa saya mengetahuinya karena saya juga les di sana, hanya kami berbeda program. Saudara saya ini mengambil program intensif setiap hari yang khusus bagi mereka yang akan segera ke Jerman, sedangkan saya mengambil program ekstensif, yang hanya dua kali sepekan. Ia kaget mendengar penuturan saya ini.

Ya, ia merasa tidak pernah bertemu saya. Saya sendiri juga heran kok bisa. Bahkan saya juga mengetahui saudara saya lainnya di Hannover, Alby, yang juga satu angkatan dengan Yudhi pada program intensif bahasa ini. Saya pun masih ingat ketika suatu saat tempat kursus kami mengadakan acara ifthar bersama di Bulan Ramadhan, maka saya adalah satu-satunya dari program ekstensif yang hadir di acara itu. Saya sendiri tidak tahu kenapa teman-teman sekelas saya tidak hadir. Memang ada yang bukan muslim, tetapi yang muslimnya juga tidak ada kabar kenapa tidak bisa datang.

Bahkan saya masih ingat ketika itu Yudhi lah yang mendapat tugas untuk menyampaikan tausyiah dalam bahasa Jerman. Yudhi menyampaikannya dengan bahasa yang amat fasih, kagum saya dengan kemampuan bahasa Jermannya. Saya masih ingat salah satu poin tausyiahnya, yaitu betapa penting dan banyaknya hikmah hijab bagi seorang wanita muslim.

Ketika acara pelepasan sebagian besar peserta program intensif ini ke Jerman, yang dilangsungkan di salah satu restoran di Bandung, lagi-lagi saya sendiri dari program ekstensif yang hadir. Masih saya ingat para calon mahasiswa Jerman ini menerima hadiah bekal dari sang pimpinan les bahasa kami. Ketika bertemu di Hannover, sempat saya tanyakan pada Yudhi kabar dari beberapa teman angkatannya yang berangkat ke Jerman.

Ketika saya masih sekolah di Bandung, waktu itu saya berada di angkot bersama teman saya. Saya katakan pada teman saya bahwa sopir angkot ini adalah sopir favorit saya. Teman saya itu malah heran kok bisa-bisanya saya menghafal sang sopir. Saya tentu punya alasan tetapi waktu itu tidak saya utarakan alasan saya kepada teman saya ini, saya hanya mengatakan bahwa ia memang sering mengemudikan angkot dari tempat kos saya. Sebenarnya ada tiga alasan kenapa saya begitu mengingat sang sopir.

Pertama, ia adalah orang yang ramah pada penumpang yang naik ke angkotnya. Ia tidak pernah mempermasalahkan jumlah uang yang diberikan sang penumpang kepadanya ketika turun dari angkot. Bahkan bagi saya ia tidak mengambil lebih dari yang sepantasnya ia terima. Ia memberikan kembalian uang kepada penumpang ketika memang hanya sejumlah itulah yang pantas dibayarkan oleh sang penumpang.

Alasan kedua, pernah suatu saat ada penumpang yang naik dan duduk di dekat pintu keluar. Ia berkemeja lengan panjang dan membawa layaknya tas kerja. Saya sendiri agak menangkap gelagat yang kurang baik dari penumpang ini ketika pertama kali melihatnya. Entahlah, wajahnya menyembunyikan sesuatu. Maka ketika angkot sedang melaju dan kadang bermanuver, maka penumpang ini kadang merapatkan dirinya kepada penumpang di sebelahnya, waktu itu seorang wanita.

Sang penumpang wanita itu tentu saja merasa tidak senang dengan kelakukan si penumpang ini, terlebih terlihat dia seolah hendak meraih sesuatu dari dalam tas wanita yang dia rapatkan itu. Rupanya sang sopir menyadari apa yang dilakukan penumpang tersebut. Ia katakan pada penumpang yang membuat ulah mencurigakan itu bahwa ia sudah mengenal siapa dia dan sebaiknya dia turun dari angkot atau kalau tidak sang sopir ini akan membawanya ke kantor polisi.

Tentu saja si penumpang ini menjadi cemas, terlihat dari wajahnya dan sempat pula ia membalas perkataan sang sopir. Maka tidak berapa lama kemudian si penumpang itu pun turun sambil seolah sebelumnya tidak ada yang ia lakukan di dalam angkot itu. Alasan ketiga adalah, sang sopir angkot itu masih muda. Saudaraku, inilah alasan kenapa seorang sopir angkot pun menjadi begitu berarti bagi saya hingga saya pun merasa penting untuk mengenalinya.

Herr[1]  Scholl, begitulah saya memanggilnya. Cerita saya dan dia bermula ketika kontrak saya di asrama di Oldenburg tidak bisa diperpanjang. Sebenarnya ini salah saya. Kontrak saya di asrama untuk enam bulan, tetapi ini belum ditandatangani karena penempatan saya di asrama ini dilakukan ketika saya masih di Indonesia.

Waktu itu ada e-mail dari universitas yang meminta saya mengisi form aplikasi asrama beserta jangka waktu ditempati. Karena waktu itu saya tidak mau banyak berpikir, maka saya hanya mengisi untuk satu semester. Ketika sudah di Oldenburg, saya diminta untuk menandatangani kontrak asrama ini, dan salah satu poin pentingnya adalah masa tinggal yang enam bulan ini. Nah, saya memilih untuk mengajukan perubahan masa kontrak menjadi lebih pendek karena waktu itu terpikir oleh saya untuk mencari apartemen, karena mengharapkan keluarga saya bisa datang ke Oldenburg. Maka kontrak baru yang menyatakan bahwa masa tinggal di asrama saya hanya beberapa bulan lagi saya tanda tangan.

Tetapi ketika sampai di asrama, saya menyadari bahwa keputusan saya itu salah. Saya terlalu berani untuk berasumsi bahwa keluarga saya jadi ke Jerman padahal rencananya sendiri belum matang. Saya sendiri kemudian juga harus mulai mencari apartemen, padahal di masa awal kuliah itu adalah masa yang paling sibuk dalam masa perkuliahan kami.

Maka saya pun berpikir kembali dan hendak membatalkan kontrak saya itu dan berharap mendapatkan kontrak selayak sebelumnya, yang enam bulan. Maka keesokan harinya saya menghadap orang yang bertanggung jawab atas asrama saya dan kemudian mengatakan padanya bahwa saya hendak mengembalikan kontrak kepada kontrak yang awal. Ia tentu menjawab tidak bisa, karena kamar saya itu sudah ia berikan kepada orang lain setelah masa tinggal saya yang baru berakhir. Ketika saya coba tanyakan adakah kamar lain, maka ia hanya menjawab tidak. (Bersambung)

Catatan :

[1] Herr = Mr. = Tuan