Science for All (8)

Prof Qaim adalah saudara saya dari Pakistan juga. Saat ini ia bekerja di bidang kimia nuklir. Pernah suatu kali Oskar bertanya pada Prof. Qaim bagaimana ilmu nuklir itu, maka Prof. Qaim hanya menjawab nuklir itu sederhana dan menyenangkan. Rasanya hanya seorang empunya ilmu yang layak berbicara seperti ini. Tetapi beliau memang salah satu ilmuwan yang dibanggakan Jerman untuk bidang yang satu ini. Setiap selesai shalat Jumat, Prof. Qaim lah yang menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jerman atau Inggris.

Pernah saya tanyakan apakah dia bisa berbahasa Arab, maka ia hanya menjawab bahwa kalau mendengar ia sedikit paham, tetapi bila berbicara ia sulit. Bahasa Pakistan sendiri adalah bahasa Urdu. Bahasa Urdu huruf-hurufnya adalah huruf arab tetapi pengucapannya dipakai seperti bahasa Hindi, bahasanya India. Mungkin seperti arab melayu yang huruf-huruf nya arab tetapi dipakai untuk pengucapan dalam bahasa melayu. Kadang saya sulit menangkap bagaimana saudara-saudara saya dari Bangladesh, Pakistan, dan India bisa memilki bahasa yang berbeda, tidak mengerti bahasa tertulis, tetapi mereka malah bisa mengerti bila berbicara satu sama lain. Bangladesh sendiri bahasanya adalah Bangali.

Anwar, saudara saya dari Bangladesh dan teman kuliah saya sempat mengatakan pada saya bahwa khutbah Jumat di negaranya dalam bahasa Arab, walau ia sendiri tidak mengerti bahasa Arab. Ia malah heran mendengar saya mengatakan bahwa khutbah Jumat di Indonesia hampir kebanyakan bahasa Indonesia, tidak ada bahasa Arab atau khutbah yang berbahasa Arab kemudian diterjemahkan pada bahasa Indonesia. Makanya ketika pertama kali shalat Jumat di Oldenburg dan mendapati khutbah diterjemahkan dalam bahasa Jerman setelah sebelumnya disampaikan dalam bahasa Arab ia sempat bingung.

Suatu kali kami shalat Jumat di Bremen, dan sang khatib hanya berkhutbah dalam bahasa Arab, maka selepas shalat Jumat Anwar berujar pada saya, "Kahfi, mereka lah yang paling sesuai sunnah." Saya pun hanya tersenyum mendengarnya.

Shafwan adalah saudara saya dari Yaman. Biasanya kami bertemu setiap hari Jumat di dekat Seecasino[1] , di halte bis yang tersedia di sana. Tempat itu dipakai oleh kami untuk janji bertemu dengan para mobil tumpangan kami. Saya sendiri biasanya berganti-ganti mobil tumpangan. Tetapi biasanya urutan pilihan saya adalah Ersoy, setelah tahu institut dia dekat dengan saya, Shabaz dan Shiraz bila Ersoy sedang tidak ada, Karim bila ia sedang membawa mobilnya dari Koeln, lalu Prof. Qaim bila saya ingin datang ke masjid lebih awal, dan pilihan terakhir adalah bis bila mobil tumpangan tidak ada atau saya ingin lebih awal lagi tiba di masjid.

Biasanya Shafwan janjian dengan Prof. Qaim. Shafwan saat ini sedang mencari metoda yang tepat dalam merangsang otak agar bisa dijadikan terapi parkinson. Menarik mendengar penuturannya karena untuk merangsang otak ini mereka menggunakan elektroda yang bertegangan lemah. Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari masalah ini ketika kuliah dulu sehingga agak paham dengan apa yang dijelaskan Shafwan.

Suatu saat Shafwan menunggu Prof. Qaim tetapi beliau tidak datang juga, dan waktu itu Shabaz dan Shiraz sudah datang menjemput saya, maka tentu saya ajak Shafwan ikut karena setahu saya Prof. Qaim selalu tepat waktu dan waktu itu mungkin lupa. Akhirnya ikutlah Shafwan dalam mobil Shabaz bersama saya dan Oskar di belakang. Shabaz lalu mengatakan bahwa saudara kami dari Mesir yang menjadi khatib nanti adalah orang yang bersemangat. Maka Oskar pun kemudian menanyakan arti nama saudara kami sang khatib itu kepada Shafwan. Shafwan lalu menjelaskan bahwa arti namanya adalah cahaya. Oskar lalu bertanya lagi bukankah yang berarti cahaya adalah "nur“.

Maka Shafwan kemudian menjelaskan perbedaan kedua kata ini. Kata pertama lebih pada cahaya yang langsung dari sumber, ia mengumpamakan matahari. Dan kata ini lebih bermakna ada fluktuasi, selayak memiliki emosi. Ia juga mengumpamakannya sebagai temperatur yang biasanya diukur. Nah, kata kedua lebih pada cahaya yang dipantulkan terhadap dirinya. Tidak ada fluktuasi, tidak ada emosi, dan selalu tetap kondisinya. Shafwan mengumpamakan layaknya cahaya bulan. Maka Oskar pun kemudian segera berseru bahwa nama saudara kami sang khatib ini cocok dengan orangnya, bersemangat. Oskar pun kemudian melanjutkan pantas saja malaikat diciptakan dari „nur“ sehingga mereka tidak punya hawa nafsu dan senantiasa patuh pada perintah Rabb mereka.

Oskar lalu dengan masih semangatnya berkomentar bahwa pantas Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab, maknanya amat pasti, tidak tertukar, karena tiap kata sudah ada makna tersendiri. Ia kemudian membayangkan bagaimana jika Al Quran ini dalam bahasa Jerman, pasti begitu banyak perbedaan penafsiran karena terbatasnya perbendaharaan bahasanya. Saya yang hanya mendengar Oskar dan Shafwan lempar-sambut melontarkan pertanyaan dan jawaban hanya bisa semakin kagum dengan keindahan bahasa Arab.

Selepas shalat Jumat, saya, Oskar, dan Shafwan malah menumpang mobil Prof. Qaim karena Shabaz dan Shiraz tidak kembali ke institut. Maka di mobil itulah kami tahu bahwa Prof. Qaim rupanya terlupa karena ketika hendak menjemput Shafwan, teman duduknya di sebelah, saudara kami dari Bangladesh yang sedang mengambil post-doctoral kimia nuklir juga, mengajaknya mengobrol, hingga Prof. Qaim langsung menuju gerbang utama Forschungszentrum tanpa mampir ke Seecasino.

Lucunya Prof. Qaim baru sadar bahwa ia sudah berjanji dengan Shafwan ketika baru tiba di masjid. Maka seketika itu Prof. Qaim kembali lagi ke Forschungszentrum dan mencari Shafwan. Ketika mendapati Shafwan sudah tidak ada, maka Prof. Qaim hanya bisa berharap Shafwan sudah ikut Bruder yang lain. Kami yang mendengar cerita Prof. Qaim lalu hanya tertawa dan menyalahkan saudara kami dari Bangladesh yang terlalu bersemangat mengobrol hingga membuat Prof. Qaim lupa menjemput Shafwan.

Saatnya kita mengenal Oskar, saudara dan sahabat dekat saya di Juelich ini. Pertama kali berjumpa Oskar adalah ketika pertama kali saya shalat Jumat di Juelich. Kebetulan ketika itu saudara saya Aulia dan Unnu dari Bochum datang ke Juelich untuk melihat-lihat kota ini. Kami sebenarnya waktu itu berencana sehabis shalat Jumat juga mau ke Aachen dan kemudian ke drei Laender[2]. Tetapi rasanya agenda kami terlalu banyak untuk waktu yang hanya tidak sampai setengah hari, sehingga kami hanya sempat jalan-jalan di Aachen dan shalat di Masjid Bilal. Selepas shalat Jumat di Juelich, kami sempat bertegur sapa dengan jamaah yang baru kami kenali, dan yang paling mencolok tentu saja Oskar, karena ia berwajah Melayu.

Baiklah sekilas ciri-ciri fisiknya, sedikit gemuk, keningnya ada bekas sujud, janggutnya cukup lebat dan agak panjang, berkumis, kemudian wajah awalnya adalah wajah serius. Tetapi siapa yang kemudian menyangka bahwa bila kami sedang berkumpul bersama, hampir pasti tawa dan suasana ceria di antara kami selalu dimulai oleh Oskar. Ya, ia orang yang amat ramah dan humoris. Rasanya diantara jamaah masjid di Juelich ini, Oskar lah yang paling ramah dan paling murah senyum pada yang lain. Saya bisa jamin ini. Tentu saja anak melayu mana yang tidak kagum dengan anak melayu lain yang menjadi ‘kembang’ masjid, anggap saja makna kembang pun bisa digunakan untuk laki-laki yang amat menarik perhatian. Ketika pertama kali bertemu tidak banyak yang kami obrolkan karena saya, Aulia, dan Unnu hendak langsung ke Aachen. Maka waktu itu saya hanya sempat mencatat nomor telepon Oskar di institut dan rumahnya.

Tetapi seterusnya hidup saya di Juelich rasanya tidak bisa dipisahkan dari Oskar. Setiap berkunjung ke rumahnya, maka Umi selalu menyiapkan masakan. Umi adalah panggilan saya kepada istri Oskar mengikuti panggilan anak-anaknya terhadap ibunya itu. Karena saya juga mengerti bahasa melayu maka tidak ada masalah komunikasi di antara kami untuk leluasa menggunakan bahasa yang rasanya sehari-hari jarang kami keluarkan dari mulut kami ini. Oskar memilki empat anak, Hazimah, Naqiba, Yahya, dan Hakima. Sempat saya katakan bahwa saudara saya Nanda di Aachen pernah mengenal seorang Malaysia yang berkeluarga besar, karena anggota keluarganya banyak, dan tinggal di Juelich. Maka saya katakan pada Oskar bahwa rasanya ia lah yang dimaksud saudara saya itu. Oskar sempat tertawa ketika saya menyebut keluarga besar. Ya, mereka sempat bertemu ketika mengurus visa ke Amerika Serikat.

Kalau saya datang ke rumah mereka, maka anak-anak mereka biasanya sibuk menarik perhatian. Oskar bilang ini karena ada Uncle[3] Kahfi, makanya ia masih bisa bersabar menghadapi anak-anaknya. Oskar mengatakan bahwa kalau ada tamu, maka itu kesempatan bagi ketiga anaknya untuk membuat berbagai macam tingkah karena mereka tahu abah[4] mereka tidak akan mampu melarang mereka di hadapan tamunya. Hakima yang paling kecil baru bisa berjalan, sehingga kadang hanya menonton tingkah kakak-kakaknya.

Yang paling bertingkah tentu yang laki-laki. Yahya ini loncat-loncat dari meja, kursi, lari-lari, pokoknya membuat saya yang melihatnya jadi berpikir bagaimana Oskar sehari-hari menghadapi Yahya ini. Bicaranya belum jelas, tetapi aksinya amat jelas kadang-kadang cukup bahaya juga. Tetapi memang ramai suasananya, betah saya di tempat Oskar, benar-benar serasa di rumah sendiri. Oskar memperlakukan saya tidak seperti orang lain. Betul-betul nikmat persaudaraan di antara kami.

Suatu kali bahkan ketika saya ingin menelepon ke Indonesia melalui internet, Oskar malah menyuruh saya menelepon dari komputer di kamar pribadinya, padahal di ruang makan sudah ada laptop yang terhubung ke jaringan internet wireless. Ia hanya beralasan di luar ribut dengan suara anak-anaknya. Sebenarnya saya sering merasa tidak enak ketika mampir ke tempat Oskar karena selalu mereka mengajak saya makan bersama. Tidak pernah tidak, walau saya datang cuma sebentar, pasti ada yang dicicipi. Pernah saya katakan pada Umi, bahwa Oskar ini rasanya kalau tidak ada saya maka ia tidak makan. Tetapi kemudian bila saya ada, memanfaatkan kehadiran saya untuk menambah jatah makannya. Maka Umi hanya tertawa.

Saat ini Oskar sedang mengerjakan PhD dalam hal material keramik untuk Solid Oxide Fuel Cell [5] . Ia katakan insyaALLAH 9 bulan lagi ia selesai dan kembali ke Malaysia. Saya salut dengan pemerintah Malaysia. Mereka sanggup membiayai mahasiswa-mahasiwa mereka sekolah ke luar negeri dengan uang mereka sendiri. Selama saya bertemu saudara saya dari Malaysia di Jerman ini, hampir dari mereka semua datang untuk sekolah dengan beasiswa dari negara mereka, bukan negara lain. Belum pernah saya bertemu yang mendapat beasiswa dari DAAD, kalau yang biaya sendiri ada. Oskar pun demikian. Dan bila Oskar bisa hidup di Jerman bersama empat anaknya, tentu jumlah beasiswa yang diberikan pastilah benar-benar cukup untuk membantu kebutuhan sang mahasiswa.

Suatu saat Oskar mengundang teman-temannya dari Malaysia di sekitar Juelich, maka banyak yang datang terutama dari Aachen. Saya ikut diundang oleh Oskar pada acara silaturahim dan makan-makan itu. Hampir semua mahasiswa yang saya jumpai di situ mendapat beasiswa dari negara, padahal yang hadir waktu itu banyak. Lucunya ketika saya berkenalan dengan saudara-saudara saya dari Malaysia itu, banyak dari mereka yang kakek-neneknya adalah orang Jawa. Sebenarnya itu masih terlihat dari wajah mereka. Tetapi mereka memang berkata demikian adanya. Saya hanya lucu saja membayangkan mereka yang berbahasa Melayu ini suatu saat berbahasa Jawa.

Jangan dikira ilmu pengetahuan hanya milik kaum pria saja. Bahkan di Forschungszentrum Juelich begitu banyak para peneliti wanita. Tetapi saya akan menceritakan yang paling istimewa dari mereka, Ameena6. Kenapa? Karena ia satu-satunya yang berhijab rapat di antara ribuan para peneliti di sini. Jika dari ribuan terdapat satu yang berhijab, bukankah itu istimewa?

Bis dari desa saya biasanya tiba dua puluh menit lebih awal di Juelich dari jadwal bis berikutnya yang biasa saya ambil untuk ke Forschungszentrum Juelich. Jadi yang biasanya saya lakukan adalah turun di halte yang agak jauh, kemudian mengisi waktu menunggu dengan berjalan kaki. Kalau ada yang mau dibeli biasanya saya singgah di supermarket dan ini lumayan untuk mengurangi waktu menunggu saya. Tetapi bila tidak ada keperluan di supermarket maka waktu menunggu saya tetap saja lama. Jadi saya hanya berjalan santai hingga tiba di halte untuk menunggu bis berikutnya.

Ke Forschungszentrum Juelich dengan bis baru saya lakukan ketika musim dingin masuk, karena ketika musim ini jam masuk kantor masih gelap sehingga bila saya harus naik kereta dan terlebih dahulu melewati perladangan 3 km dalam keadaan gelap, maka rasanya tidak nyaman juga bila setiap hari seperti ini. Alasan lainnya tentu saja hawa dingin udaranya, dan alasan itulah yang sekarang masih menjadi alasan saya walau musim ini sekarang sedang beralih ke musim semi.

Jadi biasanya yang menjadi orang pertama menunggu di halte adalah saya. Selanjutnya ada seorang pria dari belokan di sebelah kiri halte yang datang, biasanya kalau cuaca mendung ia membawa payung. Kemudian dari arah saya datang, ketika sudah dekat jadwal kedatangan bis, baru terlihat Ali bergegas menuju halte kami ini. Dari arah kantor pos biasanya datang orang yang berkaca mata dan sedikit gemuk memakai syal. Dari arah ini juga datang biasanya seorang yang senantiasa memakai jaket kulit agak panjang. Dari arah kanan halte biasanya datang wanita berwajah asia selatan, lelaki asia selatan, seorang dari Afrika, dan biasanya bisa ditebak mereka tinggal di Guest House Forschungszentrum, karena memang setelah tikungan di sebelah kanan halte inilah Guest House tersebut berada. Dan salah satu yang datang dari arah sana adalah seorang wanita yang berhijab.

Saudaraku, percaya tidak, kami bertemu setiap hari, di halte yang sama, menunggu bis yang sama, tempat tujuan yang sama, tetapi jangan harap kami bisa mudah mengobrol satu sama lain. Lebih banyak yang terjadi adalah masing-masing diam. Hanya saya dan Ali biasanya mengobrol. Nah, saya kemudian berpikir, bila saya ikuti kelaziman di Jerman ini, maka saya tidak akan dapat teman. Akhirnya satu-satu saya kenali mereka yang hadir di situ, biasanya yang saya kenali adalah yang kelihatannya bukan orang Jerman karena saya yakin mereka sendiri juga sebenarnya terbiasa mengobrol. Kalau orang Jerman biasanya mereka memang lebih tertutup dan kalau diam maka bagi mereka itu sudah biasa. Akhirnya hampir semua yang menjadi rombongan saya menaiki bis itu saya kenali, kecuali terakhir, si wanita berhijab.

Saya sebenarnya tidak terlalu mudah untuk berkenalan dengan wanita, terlebih bila berhijab. Entahlah, mereka bagi saya berbeda. Ketika dahulu kuliah di Bandung, setiap berpapasan dengan muslimah berhijab, saya bersyukur ALLAH menciptakan degup jantung itu tidak sampai terdengar keluar. Bila istri saya bersama teman-teman wanitanya, maka saya hanya bisa mengobrol dengan teman-teman istri saya itu selama istri saya ada, itupun tidak banyak. Di luar itu, saya lebih sering mendiamkan mereka. Tetapi kali ini saya hanya ingin tahu bagaimana seorang wanita berhijab bisa sampai ke Forschungszentrum Juelich ini.

Sebenarnya selama saya di Forschungszentrum ini, seingat saya ada tiga wanita yang berhijab, tetapi yang dua ini tidak pernah saya lihat lagi, mungkin kepentingan mereka di pusat riset ini sudah selesai. Jadi bisa dibilang Ameena yang satu-satunya berhijab di sini. Saya langsung berkata, "Assalamu’alaikum Sister, what is your name?“ Sebenarnya di Jerman tidak lazim ketika berkenalan langsung menanyakan nama, tetapi saya hanya tidak ingin mengikuti kelaziman ini. Setiap berkenalan dengan seseorang, maka saya selalu berusaha terlebih dahulu mengetahui namanya. Alasan saya tentu jika suatu saat bertemu lagi saya sudah tahu cara memanggilnya.

Maka ia hanya menjawab, "Sorry?“ Saya pun mengulangi lagi, dan ia pun malah membalas, "First name?“ Saya yang mendapat pertanyaan begitu tentu bingung karena biasanya tidak ada pertanyaan ini bila saya berkenalan dengan orang. Tetapi yang umum di Jerman, mereka memperkenalkan diri mereka pada orang yang baru dikenal dengan nama keluarga mereka, bukan nama depan mereka. Maka ia menyebutkan nama belakangnya dan asalnya, dari Turki, walau ia kemudian mengatakan bahwa ia lahir di Jerman. Saya pun menanyakan arti nama belakangnya yang susah saya tangkap. Ia hanya mengatakan "Red mountain.“ Saya lalu berujar, "So, there is a red mountain in Turkey.“ Ia membalas bahwa sebenarnya bukan gunungnya yang merah, tetapi gunung itu terlihat berwarna kemerahan bila terkena sinar matahari. Ia menanyakan nama saya, maka saya pun menjawab. Tetapi tetap belum jelas baginya, maka saya hanya menyuruhnya untuk merujuk pada surat Al Kahfi dalam Al Quran. Ia pun kemudian bisa menangkap nama saya, tetapi kemudian mengucapkan nama saya terdengar, „Kehf“ bagi saya. Ia lalu melanjutkan nama depannya adalah Ameena, dan malah bertanya apakah saya tahu artinya. Tentu saja saya menjawab, „Mother of Rasulullah.“

Ameena ini berasal dari Krefeld, di dekat Dusseldorf. Ia sekarang sedang mengambil PhD bidang biophysics. Pekerjaannya menyangkut nuclear magnetic resonance, struktur 3 dimensi protein, dan kanker. Saya lalu katakan bahwa saya juga punya teman dari India yang juga melakukan riset seperti yang dia lakukan, khususnya mengerjakan struktur 3 dimensi protein. Teman saya dari India ini pernah mengatakan bahwa untuk mengarakterisasi suatu protein, maka untuk saat ini, itu hanya bisa dilakukan bila kita terlebih dahulu mendapatkan bentuk 3 dimensinya. Saya tidak tahu apakah pernyataan saya ini tepat secara istilah yang dipergunakan, saya hanya mengatakan dengan bahasa yang seingat saya.

Tetapi memang bila bertemu peneliti yang ada hubungannya dengan biologi, maka saya lebih banyak mendapati mereka bekerja dalam hal protein. Kemudian saya menanyakan mengenai dia yang lahir di Jerman apakah kemudian mempunyai dua warga negara, maka ia katakan bahwa ia berpaspor Jerman karena salah satu dari kedua negara ini tidak mengakui adanya dua kewarganegaraan. Walau begitu ketika liburan ia masih ke Turki. Ia sempat katakan bahwa ia punya teman dari Jakarta. Ketika bertemu lagi sempat saya tanyakan apakah temannya itu tinggal di Jerman karena mungkin saya mengenalinya, maka ia hanya berkata temannya itu tinggal di Indonesia.

Catatan :

[1] Nama kantin Forschungszentrum Juelich

[2] Tempat yang sekaligus perbatasan bagi tiga negara: Jerman, Belanda, dan Belgia

[3] Panggilan Oskar terhadap saya di hadapan anak-anaknya

[4] Panggilan Oskar untuk dirinya tarhadap anak-anaknya

[5] Fuel cell yang kebanyakan bekerja pada 800-1000 derajat celcius

[6] Saya mengejanya dalam bahasa Inggris