Sopir Bis (1)

Awalnya saya hendak memasukkan cerita mengenai sopir bis ini ke dalam bab Jerman dalam Pandangan Saya. Tetapi kemudian saya merasa butuh bab tersendiri untuk menceritakan pengalaman saya dengan sopir bis ini. Kalau ditanyakan kepada saya, profesi apa yang paling saya kagumi dari berbagai profesi yang dilakoni orang di Jerman ini, maka jawaban saya adalah sopir bis. Berikut adalah alasannya.

Jerman bukanlah tempat di mana senyum yang berkembang menjadi sapa adalah kelaziman. Di sini masing-masing terlalu sibuk dengan urusan mereka sehingga ketika pekerjaan mereka memang tidak mengharuskan mereka untuk banyak berinteraksi dengan orang lain, maka ya hanya perlakuan seperlunya yang mereka berikan.

Saya pernah tinggal di kota dan desa di Jerman, dan kekaguman saya pada sopir bis dikarenakan dua hal yang berbeda pula yang saya dapati dari profesi ini ketika saya menjumpai mereka sebagai sopir bis kota dan sopir bis desa. Sopir bis di kota memiliki sifat yang merupakan kebalikan dari gambaran pada kalimat awal paragraf ini.

Di kota, sopir bis adalah orang yang begitu ringan untuk tersenyum kepada penumpang yang naik ke dalam bis. Ini saya dapatkan selama saya tinggal di Oldenburg. Rasanya saya tidak pernah mengingat ada sopir bis ketika saya tinggal di Oldenburg yang tidak memenuhi kriteria yang saya jadikan alasan. Ya, mereka amat ramah. Bahkan kadang ketika harus menyiapkan uang kembalian mereka mengajak penumpang untuk mengobrol sejenak. Di Jerman sudah kelaziman bahwa pada fasilitas publik tersedia pula fasilitas untuk melayani orang-orang yang terbatas kemampuan fisiknya, seperti orang yang sudah tua atau para penderita cacat. Begitu pula untuk bis.

Di dalam bis, kursi yang terdekat dari pintu tempat naik adalah khusus bagi mereka yang tergolong orang tua. Ada stiker bergambar orang memegang tongkat pada sisi atap di atas tempat duduk itu sebagai tanda. Ini untuk mereka yang sudah tua namun masih bisa berjalan tanpa alat bantu khusus atau kalaupun ada alat bantu hanya berupa tongkat. Bis di Jerman memisahkan pintu masuk dan keluar. Pintu masuk di dekat sopir, dan pintu keluar di bagian tengah badan bis.

Bagi mereka yang sudah tua dan memakai alat bantu khusus seperti kereta kecil untuk membantu mereka berjalan, maka mereka masuk dari pintu keluar bis ini, karena di dekat pintu itu tersedia tempat untuk melayani mereka duduk di dalam bis. Orang tua yang membawa kereta bayi juga masuk dari pintu ini karena tempat untuk mereka pun sudah disediakan khusus. Pijakan pada bis ketika naik dari pintu inipun bisa dibuka karena berupa lipatan yang kemudian bisa dibentangkan menjadi bidang miring yang dipergunakan untuk membantu orang tua dan kereta bantunya untuk naik ke dalam bis.

Bis di Jerman bisa dimiringkan sedikit, tujuannya satu, agar penumpang lebih mudah turun dan naik dari halte. Saya jadi teringat dengan kisah saudara saya dari Indonesia yang sedang menyelesaikan doktor di Jerman. Suatu saat ia berbicara dengan anaknya di telepon, dan ketika itu ia di dalam bis. Jadi ia ceritakan pada anaknya bahwa ia sedang berada dalam bis yang sengaja dimiringkan. Anaknya terheran dan menanyakan alasan kenapa bisnya miring, maka ia katakan bahwa karena ada orang tua yang hendak naik atau turun dari bis, saya lupa yang mana dari keduanya. Kisah ini malah kami lanjutkan dengan sindiran mengenai kejadian yang serupa di Indonesia. Ya, di Indonesia bis pun miring tetapi tentu saudaraku sudah tahu alasannya.

Ketika ada orang-orang yang membutuhkan pertolongan untuk naik ke dalam bis, maka sang sopir akan segera keluar dari bagian tempat duduknya dan kemudian menolong orang yang membutuhkan bantuan tersebut hingga berada dalam posisi yang sempurna di dalam bis. Bila ada orang tua yang masih sanggup berjalan tanpa alat bantu naik ke dalam bis, maka sang sopir akan menunggu hingga orang tua tersebut duduk dengan nyaman terlebih dahulu, barulah ia menggerakkan kembali bisnya.

Bis di sini bergerak dengan kecepatan sedang dan tempat pemberhentian rata-rata berada tiap ratusan meter. Memang bila penumpang dilayani dengan tempat naik dan turun bis yang memadai, mereka tentu tidak perlu naik dan turun bis pada tempat yang tidak seharusnya. Di sinilah saya melihat betul betapa sifat penolong dan pemurah yang diberikan oleh Dia Yang Maha Penolong dan Maha Pemurah, masih bisa terlihat di bumi yang kebanyakan penghuninya larut dalam urusan dan kepentingan mereka masing-masing. Suatu saat ketika pagi-pagi saya berangkat dengan bis, maka bis ini ramai dengan para pelajar dan mahasiswa.

Ketika ramai penumpang seperti ini, maka bis di Jerman pun juga bisa penuh berdesak-desakan. Bahkan kejadian ini tidak hanya berlaku pada bis. Ketika suatu saat di akhir pekan saya naik kereta dari Oldenburg yang juga melewati Bremen, kereta itu amat penuh dengan para pendukung tim sepak bola kota tersebut. Amat penuh. Walaupun saya berdiri, sulit bagi saya untuk berpegang pada sesuatu agar berdiri saya tetap nyaman. Penuh dengan penumpang, dan mereka ribut dengan menyanyikan lagu dan yel-yel tim mereka.

Nah, kembali pada cerita bis tadi. Ketika saya berada dalam bis yang ramai ini, saat bis sedang berjalan, tiba-tiba ada salah seorang penumpang yang jatuh pingsan. Seorang remaja wanita yang dari setelannya adalah seorang pelajar. Maka seketika itu pula penumpang berseru pada sopir bis bahwa ada penumpangnya yang pingsan. Remaja yang pingsan itu hanya bisa dirangkul oleh seorang penumpang wanita lainnya agar tidak jatuh. Tidak tersedia tempat duduk baginya dan terlalu sulit untuk mencari tempat duduk karena memang bis terlalu padat dengan penumpang.

Maka pada halte berikutnya sang sopir menghentikan bisnya dan segera menelepon rumah sakit dari perangkat komunikasi yang tersedia di dekatnya. Ia keluar dan menolong mengeluarkan wanita yang pingsan tersebut dari dalam bis. Mata wanita itu masih terbuka sedikit tetapi memang betul-betul lemah badannya, hingga ketika coba didudukkan, ia pun terkulai kembali. Tidak sampai lima menit kemudian ambulans sudah datang ke lokasi kami. Ya, amat cepat, sampai saya sendiri tidak tahu bagaimana ambulans itu begitu tanggap sampai ke lokasi kejadian. Tetapi memang kalau di Jerman begitu ambulans membunyikan sirinenya, maka mobil-mobil akan segera memelankan lajunya dan menepi ke pinggir jalan untuk memberi jalan pada ambulans.

Petugas medis kemudian memberikan pertolongannya pada penumpang yang pingsan itu dan kemudian menandunya ke dalam ambulans. Waktu itu saya sempat terpikir agak berlebihan rasanya sikap petugas medis terhadap penumpang itu. Tetapi kalau mau dipikir lebih jauh lagi, memang mereka tidak mau mengambil risiko dengan kondisi penumpang yang belum jelas hasil pemeriksaan medis atas kejadian yang menimpanya. (Bersambung)