Big Science

Tulisan yang tertera di bagian atas gedung perpustakaan Forschungszentrum Juelich itu tidaklah sebesar kandungan makna yang terkandung dalam rangkaian hurufnya. Setiap saya pulang dari institut tempat saya melakukan tesis, saya sempatkan diri menatap tulisan itu dan meniatkan dalam diri bahwa saya harus menyerap intisari kemajuan teknologi dari tempat di mana saya berpijak sekarang.

Dr. de Haart, dialah kepala departemen Solid Oxide Fuel Cell, di mana saya bergabung sekarang. Orangnya sederhana, bahkan ketika pertama kali bertemu dengannya, yaitu waktu ia menjemput saya, saya mengira ia hanya seorang sopir sebelum saya menyadari bahwa dialah pewawancara utama saya ketika laptop hanya ada di depannya di suatu ruangan yang hanya dihadiri 3 pimpinan penting departemen fuel cell dan seorang diri saya yang tidak punya apa-apa untuk disampaikan kepada mereka melainkan betapa terbatasnya kemampuan dan pengalaman saya. Bert, begitulah saya memanggilnya setelah akrab.

Pelajaran penting yang saya catat dalam buku harian saya darinya adalah ketika suatu saat ia mengajak saya berpindah ruangan dari kantornya yang dipenuhi lembar kerjanya ke suatu ruangan terpisah yang dikhususkan untuk bicara, hanya untuk mendengar 15 menit laporan perkembangan tesis saya. Ia adalah seorang ahli yang tidak pernah menyebut sekalipun dirinya sebagai seorang ahli. Betapa ringannya ia memindahkan manifold[1] fuel cell saya hanya untuk memberi jawaban atas kebingungan saya seharian mencari solusi untuk eksperimen baru saya. Bila saya pulang dari institut di kegelapan malam, maka yang saya dapati adalah begitu setia sang mobil menanti sang pemilik yang masih larut dalam pekerjaannya.

Dr. Lehnert, seorang profesor yang murah senyum. Dialah yang dengan enteng menjawab tidak tahu atas model baru yang saya ajukan membutuhkan manipulasi rumit, namun hanya berpesan, “Mari kita mulai modelmu dari yang sederhana.” Dari Nazanin, rekan kerja saya dari Iran, tahulah saya bahwa dia orang yang bisa menghabiskan lebih dari 10 jam sehari hanya untuk bekerja di ruangannya.

Prof. Grunberg, dialah salah satu peraih Nobel Fisika 2007 ketika temuannya yang tidak sengaja, hasil peluhnya berpuluh tahun, membuat saya sekarang dapat menyimpan data 1 GB hanya dalam satu keping penyimpan data yang sedikit lebih besar dari kuku saya. Ketika terlihat di kantin research center, ia hanya orang biasa dengan kemeja polos, larut dalam rombongan keramaian antrian membawa makanan.

Dr. Steinberger, pembimbing utama saya. Dialah yang di saat yang lain sudah pulang, masih memerintahkan mobilnya untuk menunggu hingga dia sendiri yang akan menjadi orang terakhir yang mengucapkan sampai ketemu besok pada saksi bisu gedung institut saya.

Prof. Stolten, kepala insitut saya, dialah yang jika tidak ada tugas di Aachen, maka mobilnya bersanding dengan mobil Dr. Steinberger untuk menunggu sabar kapan digerakkan, walau malam seolah merayu yang lain untuk segera pulang karena waktu istirahat telah tiba.

Prof. Qaim Sulaiman, dialah seorang saudara dari Pakistan yang dibanggakan Jerman sebagai peraih medali Heyes pertama mereka, yang setiap selesai shalat Jumat senantiasa menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jerman atau Inggris dengan penyampaian yang bermakna.

Shabaz dan Shiraz, mereka lah saudara kembar dari Pakistan yang saat ini ikut menjaga superkomputer tercepat di eropa agar tetap cepat dan tak terkejar oleh yang lainnya. Ketika bertemu, mereka lah yang mengucapkan salam lebih dahulu. Ketika suatu saat ditanya apakah mereka merasa aman dengan kelangsungan pekerjaannya, maka mereka hanya menjawab tidak ada yang aman selain dari keamanan yang diberikan oleh ALLAH.

Ali, seorang saudara dari Jordan, sedang melakukan PhD tentang properti magnet. Dialah yang memberi tahu saya bahwa ada tempat kos murah di Juelich setelah saya lupa dengan apa yang saya katakan padanya sebulan yang lalu ketika dia tahu tempat tinggal saya jauh dari tempat tesis saya. Ali inilah yang ketika ditanya apa yang ditunggu umat untuk bangkit, maka ia tidak menjawab selain, “Tidaklah ALLAH mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubah keadaan yang ada pada mereka.” Ali inilah yang menyampaikan khutbah Jumat tentang kemunafikan yang saat ini sedang melanda umat dan menjadi penyakit yang sulit lepas dari mereka.

Prof. Salim, seorang saudara dari Mesir, yang menjadi profesor tamu di Juelich. Dialah yang menyatakan bahwa rakyat Mesir mendukung penuh perjuangan saudaranya di Palestina. Ia menjelaskan walaupun gajinya di Mesir hanya sepersepuluh dari yang diterimanya di Juelich, ia merasa sudah cukup untuk hidup di mesir bersama keluarganya. InsyaALLAH akhir bulan ini ia kembali ke Mesir, ‘ibunya dunia’.

Shafwan, seorang saudara dari Mesir yang sedang menyelesaikan Diplomarbeit mengenai mendeteksi bagian mana dari otak yang sebenarnya dapat dirangsang untuk dijadikan sebagai terapi Parkinson. Ketika dikatakan padanya, bahwa namanya adalah nama salah seorang Sahabat, maka jawabannnya yang mengatakan, “Ya, nama Shafwan pada saat itu mewakili orang yang baik (Sahabat) dan orang yang buruk,” menjadi tanda kuat betapa lekatnya sirah di hatinya.

Dr. Ersoy, seorang saudara dari Turki, rekan Ali di Institut, yang sejak Sabtu lalu hingga Maret nanti insyaALLAH akan ke Jepang dalam tugas riset magnetnya. Ia begitu cemasnya menanti saya selesai shalat sunnah setelah shalat Jumat, karena ia sudah ditelepon bahwa anaknya sudah menunggu untuk diantar ke Kindergarten[2] . Ketika kami menjumpai anaknya, dapat saya lihat betapa sayangnya ia pada anaknya yang pendiam namun menyimpan senyum ini. Ia hanya menjawab, “Persiapkan generasi anak kita untuk kebangkitan umat itu”, ketika ditanya, “Kapan saatnya?”

Abdullah, begitulah saya memanggilnya, karena begitu pendiamnya ia hingga saya pun tak tahu namanya. Ia adalah seorang saudara kami dari Mesir. Ia juga sedang riset di Forschungszentrum Juelich. Ketika Gaza diserang Israel, entah kenapa kami merasa khutbah Jumat menjadi berbeda dengan kehadirannya.

Dalam khutbah ia katakan bahwa Islam hanya satu adanya. Dalam khutbah ia katakan tidak ada “Islam sana, Islam itu, Islam ini”, tapi hanya Islam. Ia buat kami merenung betapa umat saat ini bersatu untuk tertidur pulas, bersatu untuk membiarkan musuh berdebar-debar khawatir bangunnya umat ini, namun musuh sedikit tenang karena umat ini tidak juga bergerak, sehingga cukuplah itu menjadi pertanda umat ini lelap dalam tidurnya. Dialah yang dengan khutbah lantangnya seolah ingin menantang kebisuan hati kami ini untuk bersuara, sebelum datang masa di mana tidaklah kami akan beranjak kelak di Hari Kiamat nanti kecuali setelah ditanya,“Atas kapasitas yang kamu punya, apa yang sudah kamu lakukan terhadap saudaramu di Palestina?”

Oskar, saudara saya dari Malaysia, sedang melakukan PhD tentang material keramik untuk fuel cell temperatur tinggi. Dialah yang mengajari saya bagaimana seorang tuan rumah yang baik itu. Dialah yang tidak pernah membiarkan saya meninggalkan rumahnya kecuali perut saya tercukupi kebutuhannya. Dialah yang menemani saya untuk hal pertama yang saya alami, pertama menemukan jalan sepeda dari institut ke masjid, pertama shalat di masjid di pusat kota Aachen, pertama shalat di masjid di pusat kota Dueren, pertama menemukan toko daging halal di Dueren, pertama memberi tahu apa sebenarnya rahasia Malaysia tidak terkena dampak krisis layaknya negeri saya, pertama membuat saya merasa tidak sendiri ketika baru tiba, dan pertama pula yang merasa sedih bila saya harus berpisah dengannya.

Cerita Yang Belum Selesai

Saudaraku, sungguh, sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak menemukan apa yang sebenarnya dahulu aku harapkan. Tadinya aku berharap akan menemukan manusia istimewa ketika mendefinsikan apa itu sebuah kemajuan. Tetapi tidaklah aku dapati melainkan hanya seorang manusia yang sama sepertiku, yang menjawab tahu bila ia tahu, dan menjawab tidak tahu karena kelemahannya semata, sekalipun ia profesor yang dua kali umurnya dariku.

Saudaraku, sungguh, aku sebenarnya heran, bagaimana mungkin aku harus mengejar dunia untuk merasakan apa itu arti ketenangan, jika aku melihat sendiri tidaklah manusia itu bisa tenang kecuali jika ia tahu ketika ia harus hidup dalam kesendirian, maka cukuplah Rabb-nya yang menjadi teman.

Saudaraku, sungguh, aku sebenarnya bingung ketika begitu banyaknya aku dikenalkan pada arti kesuksesan, tetapi definsi itu tidaklah memperindah dirinya kecuali hendak membuatku lupa bahwa menghirup udara surga itulah sebenar kesuksesan.

Saudaraku, sungguh, aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa tenang ingin berumur panjang, jika hidup itu sendiri tidaklah lebih lama dari menjelang siang. Sekalipun berumur panjang, bagaimana aku bisa tenang jika sudah menanti padaku sebuah pertanyaan.

Saudaraku, cukuplah sekian dulu kita bersua, insyaALLAH aku selalu merindukanmu. Walau kita belum pernah bertemu, tetapi seolah nama-namamu sudah diingat oleh hatiku. Biarlah suatu saat Dia mempertemukan kita, ketika hati kita sudah tidak sakit dengan kesombongan.

Oh, betapa beruntungnya umat di Zamrud Khatulistiwa.
Ketika menghadap pada kiblat kedua, maka dengan sendirinya mereka menghadap pada kiblat pertama.
Andai suatu saat pemuda umat ini bertemu, karena sadar samanya kiblat mereka
Maka alangkah pastinya, Yerusalem itu warisan bagi anak mereka

Wahai Pemuda!
Begitu jelas dalam pandanganku, ada dua malaikat yang senantiasa mengintaiku
Yang satu adalah malaikat pencabut nyawa, dan yang lainnya adalah malaikat yang membawa lembaran berisi pertanyaan-pertanyaan

Aku tidak cemas dengan malaikat pencabut nyawa
Tapi aku cemas dengan salah satu pertanyaan pada lembaran dari malaikat lainnya
“Masa mudamu kau habiskan untuk apa?”

Maka segera kutepis rasa cemas itu, dan kukatakan pada kedua malaikat itu
“Wahai Malaikat!
Aku tidak gentar dengan Engkau berdua! Tapi aku hanya gentar dengan Yang Mengutusmu
Maka selama masamu belum tiba
Biarkanlah aku mempersiapkan jawabanku!”

Wahai Pemuda!
Kalaulah boleh aku meminta
Semoga kau juga punya jawaban yang sama

Akhukum, Kahfi
Bumi ALLAH lain Benua, Jerman, 12 Safar 1430 H

Catatan :

[1] Layaknya pendistribusi dan pengumpul gas

[2] Taman kanak-kanak