Mempraktekkan Islam, Brotherhood (1)

Mempraktekkan Islam di negara yang mayoritas penduduknya belum mengenal Islam dan makna tauhid adalah pengalaman yang amat unik. Tetapi sebelumnya saya ingin menceritakan bagaimana kehidupan muslim yang pernah saya jumpai di sini.

Walid, begitulah namanya. Ia adalah seorang Palestina yang lahir di Lebanon. Ia merasa dirinya lebih Palestina ketimbang Lebanon. Ketika saya tanyakan bagaimana sebenarnya keadaan Palestina, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil secara singkat bahwa keadaan umat Islam di sana amat sulit. Ya, cukuplah penjelasan singkatnya itu menjadi petunjuk jelas bagi saya bahwa ia sendiri tidak bisa berkata-kata menceritakan bagaimana keadaan saudara-saudaranya di Palestina. Walid ini adalah muazin di Maryam Moschee, di Oldenburg.

Saya sering bertemu dengannya ketika saya punya waktu siang hari untuk shalat zuhur berjamaah di masjid. Tiap shalat Jumat ia lah sang muazin. Azannya begitu merdu dan syahdu. Mungkinkah ini keindahan nurani orang Palestina? Ya, saya amat menikmati ketika bait-bait seruan kepada ALLAH ini dilantunkan oleh Walid, seolah ia begitu amat meresapi kandungannya. Ia begitu dalam ketika menyebut Muhammad Rasulullah, seolah-olah dalam pula cintanya pada Sang Junjungan. Ya, seseorang yang mengenali pribadi agung ini pasti akan amat kagum, dan kemudian berubah menjadi cinta, bahkan amat cinta, ketika mendengar nama ini disebut.

Bagaimana tidak cinta seorang mukmin kepada Rasulullah, bila begitu besarnya cinta Sang Rasul kepada umatnya sendiri. Bahkan seluruh umat ini bersatu mencintai Rasulullah SAW rasanya tetap tidak akan mengalahkan besarnya cinta Rasulullah kepada umatnya. Ah, kalau bicara mengenai Rasulullah, rasanya hanya membuat air mata ini menetes mengingatnya.

Walid ini punya seorang anak laki-laki bernama Muhammad. Muhammad adalah bocah yang sedikit gemuk dan lucu, kalau ketemu saya pasti tersenyum, dan kadang menyapa saya duluan ketika saya tidak menyadari bahwa dia ada di dekat saya. Walid menceritakan bahwa ia berpisah dengan istrinya. Istrinya juga tinggal di Oldenburg.

Saya tidak menanyakan apakah istrinya itu orang arab atau Jerman. Hanya karena khawatir dengan perkembangan anaknya lah maka ia tetap di Oldenburg. Ia sendiri tidak suka dengan Oldenburg. Sulit menemukan pekerjaan di kota ini. Dia punya beberapa saudara kandung dan sekarang tinggal di Berlin. Kalau dia bicara mengenai Berlin, maka dia akan memuji-muji kota ini seolah-olah menyuruh kita agar suatu saat harus membuktikan kata-katanya dengan datang langsung ke kota tersebut. Kalau hari Sabtu dan Ahad, Maryam Moschee ini ramai dengan anak-anak.

Ya, Abdul Hafizh, sang guru Bahasa Arab dan Al Quran mengajarkan anak-anak kecil ini bahasa arab bagi anak-anak muslim kelahiran Jerman, dan mengajarkan Al Quran baik bagi anak-anak muslim Jerman dan kebanyakan dari arab. Saya pernah bertanya pada Walid, adakah kelas khusus untuk seorang pemuda seperti saya. Walid mengatakan hal itu bisa diatur. Ketika saya tanyakan padanya berapa biayanya, maka ia seolah heran dan menegaskan bahwa ini adalah sedekah seorang muslim kepada saudaranya, tidak ada biaya apapun. Ia bilang kalau mau infaq, infaqlah di kotak infaq yang tersedia di masjid.

Kalau saya sedang tidak harus ke luar kota, maka hampir setiap Sabtu dan Ahad saya sempatkan untuk shalat berjamaah di masjid ini, biasanya zuhur dan ashar. Selain bertemu dengan saudara-saudara saya lainnya, maka kesenangan saya lainnya adalah ketika melihat anak-anak kecil ini bermain bila sedang menunggu waktu azan tiba. Saya hanya ingat anak saya yang masih kecil di Indonesia.

Suatu saat saya pernah mengalami kejadian unik dengan Walid ini. Waktu itu seingat saya hari Sabtu siang, dan agak banyak juga jamaah yang hadir. Walid melantunkan azan zuhur dengan merdu. Setelah melihat jamaah sudah cukup yang datang dan selesai berwudhu, maka ia berkata kepada saya, “Mach Gebet fuer uns [1].” Saya sebenarnya agak kaget dan tahu maksud Walid, tetapi saya hanya berpura-pura tidak mengerti dan kemudian melantunkan iqamat. Ketika saya sedang iqamat, Walid kemudian berbicara kepada saya, tetapi saya tetap teruskan iqamat. Ketika selesai, Walid sedikit marah dan ia bilang, “Kamu iqamat tetapi imam belum ada di depan!” Saya waktu itu hanya berpikir bahwa bagaimana saya layak menjadi imam shalat, ketika di antara kami masih ada Yusuf, yang saya tahu sendiri dia amat lebih pantas menjadi imam shalat kami.

Tetapi Yusuf seolah meyuruh saya mengikuti permintaan Walid, dan saya melihat Walid yang tetap bersikeras, maka saya pun maju ke depan. Saya pun kemudian memulai takbir. Baru beberapa saat sesudah saya ucapkan takbir, maka Walid dengan keras berseru, “Subhanallah!..” Saya yang sadar apa maksudnya segera menghentikan shalat tanpa paham apa alasannya. Ternyata Walid ini masih mendengar suara jamaah wanita mengobrol di bagian lain dari tempat shalat, dan itu berarti mereka tidak tahu bahwa shalat sudah dimulai.

Ya, ketika saya melakukan iqamat, saya tidak menggunakan microphone mengucapkannya, jadi memang mungkin tidak terdengar ke belakang hingga ke bagian jamaah wanita. Ruang jamaah pria dan wanita adalah ruangan yang berbeda dan dibatasi oleh dinding. Maka kemudian Walid pun mengambil microphone dan mengulang iqamat, barulah kami shalat.

Ketika kami selesai shalat, dan bersiap-siap pulang, Walid menghampiri saya mengatakan bahwa bacaan saya tidak sedikit terdengar. Maksudnya adalah bacaan yang dibacakan layaknya kita berbisik ketika shalat. Ya, Walid bilang itu berarti mulut saya tidak bergerak ketika membaca bacaan ketika shalat. Saya sendiri yakin bahwa saya membaca bacaan shalat dan mulut saya bergerak membacanya. Abdunnur, yang saat itu juga ada dengan kami mengatakan bahwa bacaan memang tidak dikeraskan, tetapi bacalah sehingga setidaknya kita mendengar sendiri apa yang kita baca.

Saya waktu itu juga dengan yakin mengiyakan pendapat Abdunnur dan memang itulah yang saya lakukan pada shalat-shalat yang bacaannya tidak dikeraskan. Sesampai di rumah saya langsung pergi ke cermin dan mempraktekkan bacaan saya sambil melihat ke cermin apakah mulut saya bergerak ketika membacanya. Ternyata saya memang membaca dengan gerakan mulut tetapi amat halus, sehingga ketika di cermin seolah-olah saya tidak menggerakkan mulut. Akhirnya saya menyadari keinginan Abdunnur itu, dan semenjak itu saya lebih ‘menggerakkan’ mulut saya ketika membaca bacaan dalam shalat. (bersambung)

Catatan :

[1] Maksudnya, pimpinlah shalat kami