Mempraktekkan Islam, Brotherhood (2)

Saya sempat menghadiri beberapa kali ifthar bersama di masjid ketika di Oldenburg. Kesan saya terhadap saudara-saudara saya dari arab, mereka amat santun dan tidak mau merepotkan saudara-saudara jauhnya seperti saya yang datang ke Jerman untuk studi. Ketika saya ingin membantu mencuci bekas makan kami, mereka menghalangi saya dan mengatakan, “Biarkan saja, kami yang akan melakukannya.” Padahal saya tidak merasa repot karena sudah kebiasaan saya mencuci sendiri bekas makan, tetapi apa boleh buat, sekali saudara dari arab bilang “ya”, maka itu berarti ya, dan kalau mereka bilang “tidak”, maka jangan mengharapkan kita bisa melakukan selain dari apa yang dimaksudnya.

Ketika makan mereka amat memperhatikan kemubaziran. Makanan harus habis. Pernah ketika saya sudah merasa cukup dengan makanan saya, mereka membiarkan roti yang masih utuh untuk saya habiskan. Ketika saya dengan halus menolak dengan alasan sudah kenyang, dan hendak beranjak dari meja makan, mereka meminta saya seperti meminta tolong untuk menghabiskan roti itu. Mereka bilang itu khusus untuk saya. Saudaraku, apa saya punya pilihan lain? Terpaksalah saya kuatkan lambung kecil saya ini untuk menerima input baru lagi.

Yaser, begitulah nama saudara saya ini. Ia seorang dokter dari Yaman. Melihat wajahnya hati saya seolah ikut berseri, ya, dia adalah orang yang amat murah senyum, dan senyumnya bagi saya amat tulus, tidak banyak saya jumpai senyum seperti senyumnya Yaser ini. Pernah saya katakan kepada istri saya bahwa orang Yaman rasanya wajah baku mereka adalah wajah tersenyum. Bukan hanya pada Yaser saya dapati hal ini, tetapi juga pada saudara saya dari Yaman lainnya yang satu kampus. Sampai saat ini rencana kami yang belum kesampaian adalah kami makan bersama, ya, hanya kami berdua. Sibuknya jadwal kuliah saya dan jadwal praktek dia sebagai dokter sepertinya menjadi alasan belum sampainya rencana kami ini.

Yaser sebenarnya sedang melanjutkan pendidikan keahlian dokter di Oldenburg, layaknya pendidikan spesialis kalau di Indonesia. Ia sebelumnya di Hannover, tetapi ia katakan bahwa di Hannover kurang ada kesempatan baginya untuk langsung praktek. Ia katakan bahwa Klinikum[1] Oldenburg adalah salah satu tempat yang baik untuk pendidikan keahlian dokter dan menyediakan lebih banyak kesempatan untuk berpraktek, sehingga akhirnya ia memilih meninggalkan Hannover.

Ia tidak menduga saya sudah berkeluarga. Ketika dia menanyakan alasan saya tidak membawa serta keluarga saya ke Jerman, maka saya hanya menjawab bahwa keadaan finansial saya tidak memungkinkan untuk itu. Saya pun balik bertanya apakah dia tinggal bersama keluarganya di Oldenburg. Rupanya dia juga tinggal sendiri. Dia beralasan bahwa anak-anaknya sudah cukup besar sehingga bila ikut ke Jerman ia mengkhawatirkan pendidikan untuk anak-anaknya, jadi menurutnya lebih baik keluarganya tetap di yaman. Ia biasanya pulang ke Yaman ketika Idul Fitri atau Idul Adha.

Suatu hari ketika kami bertemu di masjid seusai shalat berjamaah, Yaser menceritakan kepada para jamaah bahwa ada salah seorang jamaah masjid yang saat ini sedang dirawat di rumah sakit, dan ia mengajak kami untuk menjenguknya. Ia lalu bertanya kepada saya, apakah saya ada acara. Maka saya pun mengatakan hendak ikut karena tidak punya acara apa-apa. Itulah pertama kali saya masuk ke rumah sakit di Jerman.

Pernah saudara dari Indonesia bilang bahwa rumah sakit di Jerman tidak ada jam besuk, bahkan mereka amat mengharapkan para keluarga atau kenalan menjenguk pasien di rumah sakit. Ketika saya tanyakan alasannya kenapa berbeda dengan di Indonesia, ia hanya menjawab bahwa tentu saja, di Jerman para pembesuk datang dan kemudian pulang ke rumah lagi, tetapi kalau di Indonesia, para pembesuk dan kemudian menetap di rumah sakit, sehingga kadang susah membedakan mana pasien dan mana pembesuk. Jawabannya hanya membuat saya tersenyum simpul.

Saya tidak tahu apa yang pantas saya ucapkan dalam bahasa arab untuk saudara saya yang dari arab ketika mereka sakit. Ketika bertemu saudara kami yang sakit itu, saya hanya mengucapkan salam, berdoa dalam hati, dan berharap ia lekas sembuh. Saya tidak jelas mendengar ucapan Yaser dan yang lain ketika bertemu saudara kami yang sakit itu. Di kamar saudara kami yang sakit itu, hal yang langsung mencolok perhatian saya adalah Al Quran.

Ya, rasanya hanya mushaf yang saya temukan di kamar itu selain peralatan rumah sakit dan hidangan makanan dan buah-buahan dari RS, selain beberapa keperluan pribadi saudara kami. Dan Al Quran itu terlihat dalam keadaan seperti baru saja dibaca. Kami saling berganti menyenangkan hati saudara kami yang sakit. Yaser yang memulai menanyakan bagaimana bisa dirawat di rumah sakit, dan apa penyakit yang diderita. Ia mengerti keadaan yang menimpa saudara kami dan kemudian menjelaskan kepada kami dari segi medis. Khusus kepada saya ia menjelaskan dalam bahasa Jerman, dan kadang bahasa Inggris, menceritakan keadaan saudara kami.

Rupanya saudara kami ini terjatuh ketika hendak wudhu. Ia sudah tua, tetapi walaupun sudah tua, kami semua mengenalnya sebagai salah satu jamaah yang paling bersemangat di masjid. Ia sebenarnya shalat biasanya dengan duduk di kursi ketika kami shalat berjamaah di masjid. Tetapi kadang-kadang ia singkirkan kursi itu dan ikut rukuk dan sujud walaupun ia kesulitan melakukannya karena kondisi badannya yang sudah tua. Pernah suatu ketika sehabis khutbah Jumat, dan khutbah itu tentang bagaimana Umat Islam di belahan bumi lainnya dizalimi dan diperlakukan tidak adil, ia langsung meraih microphone, dan dengan keras berbicara kepada jamaah.

Saya tidak menangkap keseluruhan maksudnya, tetapi saya dapat mengenali sedikit kata-katanya yang meminta kami sesama Umat Islam ini unutuk peduli terhadap saudara-saudara kami di belahan bumi manapun. Yusuf akhirnya meminta saudara kami ini untuk menyelesaikan bicaranya, mungkin Yusuf khawatir saudara kami ini terlalu terbawa gejolak dalam hatinya, ya semata karena ia tidak mampu melawan sunnatullah bahwa jasadnya memang menua tetapi jiwa dan semangatnya amat bergelora, bahkan lebih muda ketimbang kami yang masih muda.

Selesai dari menjenguk saudara kami ini maka Yaser rupanya menyadari bahwa saya tidak mengetahui apa sapaan kebiasaan orang arab jika menjenguk saudaranya yang sakit. Ia pun kemudian menyebutkan suatu kata, tetapi tidak jelas bagi saya. Ia mengulanginya kembali dan menjelaskan maknanya dalam Bahasa Inggris. Saya yang sedikit paham tetapi belum bisa menangkap jelas kata yang diucapkan, kemudian hanya mengucapkan, “Thaharah?” Yaser kemudian mengangguk sambil tersenyum bahwa kata yang dimaksudkannya memang punya asal kata yang sama dengan kata yang saya ucapkan. (bersambung)

Catatan :

[1] Seperti rumah sakit pembelajaran