Perkenalan (2)

Di Jerman, sistem pendidikan mereka tidak mengenal pemeringkatan perguruan tinggi. Ini berbeda dengan Inggris dan Amerika Serikat, di mana ada perguruan tinggi yang top, menengah, dan rendah. Jerman secara adil memperlakukan setiap perguruan tinggi.

Kualitas perguruan tinggi di seantero Jerman, boleh dikata tidak berbeda jauh antara yang satu dengan yang lainnya. Profesor di sini tidak boleh selamanya mengajar hanya di satu universitas. Suatu saat ia harus pindah dan mengajar di universitas lain, tujuannya apalagi jika bukan agar belahan bumi Jerman lainnya ikut mendapatkan kemanfaatan dari sang profesor.

Tetapi lambat laun sistem ini sepertinya sulit mereka pertahankan karena ada tekanan dari Uni Eropa untuk menerapkan standarisasi sistem pendidikan bagi para anggotanya, dan yang namanya standar bagi mereka adalah ikut sistem kebanyakan walau belum tentu cocok bagi bangsa yang semenjak lahir sudah berbeda-beda.

Universitas Oldenburg adalah kampus yang asri. Universitas ini mempunyai dua kampus, masing-masing terpisah 1 km. Kampusnya cukup luas, dan begitu rimbun dengan hutan universitasnya. Karena adanya hutan universitas ini, saya tidak tahu pasti seberapa luas universitas ini. Tetapi kalau dari area yang saya kenali, maka luasnya tidak lebih dari luas kampus ITB.

Yang terbaik dari tiap universitas di Jerman adalah perpustakaannya. Bayangkan, selama kuliah di sini, saya tidak perlu membeli buku satu pun. Semua tersedia di universitas. Bahan kuliah juga disediakan yang bisa diakses dari jaringan internal kampus dan internet. Sistem multimedia pembelajaran ini tidaklah berpenampilan mewah dan penuh aksesoris web, tetapi sederhana, dan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa.

Rasanya kalau saya disuruh menilai mana universitas yang terbaik, maka cukup mudah bagi saya. Jangan menilai dari gedung universitas tersebut, jangan menilai dari dosennya, jangan menilai dari mahasiswanya, tapi saya akan menilai dari perpustakaannya.

Gedung universitas rata-rata tingginya hanya tiga lantai. Selama di Jerman saya juga cukup aneh dengan sulitnya menemukan gedung-gedung tinggi menjulang, dan pencakar langit. Gedung-gedung pencakar langit di Jerman hanya ada di kota Frankfurt. Di kota lainnya tidak pernah saya temui gedung-gedung tinggi. Tetapi ada sedikit keteraturan, yaitu kalaulah ada gedung paling tinggi di suatu kota, rasanya yang paling tinggi itu adalah bangunan gereja.

Tempat kuliah saya adalah area tersendiri, kami menyebutnya Energielabor, laboratorium energi. Sayang saya tidak bisa menampilkan fotonya pada tulisan ini. Bila kita melihat dari luar, rasanya kita tidak akan menduga bahwa ini adalah tempat belajar, melainkan mirip sebuah kandang, hanya kandang ini bersih dan tidak ada kotoran.

Benar, saya hanya menyampaikan kesan pertama yang terlintas di benak saya ketika melihat tempat studi energi terbarukan kami. Bangunannya dari kayu, dengan desain segi enam, mirip sarang lebah. Di bagian dalam sangat sederhana, ada beberapa ruang profesor dan tim mahasiswanya, dan ruang seminar yang biasa dipakai sebagai ruang kuliah. Kadang-kadang ruang seminar ini juga dipakai untuk kuliah tamu atau presentasi karya ilmiah. Di halaman belakang bangunan, terhamparlah berbagai teknologi yang dirancang manusia untuk memenuhi kebutuhan energinya. Ada barisan panel surya yang menempel pada atap bangunan dengan membentuk sudut terhadap matahari sebagaimana sudut atap.

Ada solar collector, yang memanfaatkan panas matahari, biasanya digunakan untuk menyediakan air panas. Di Jerman setiap rumah harus memiliki sistem penyediaan air panas, dan pemanas ruangan. Ini sangat penting, bahkan mengkonsumsi 70% energi mereka. Mereka membutuhkannya untuk menghadapi musim dingin selama 3 bulan, Desember hingga Februari, walau biasanya semenjak Oktober dan November hawa dingin ini sudah datang memperkenalkan diri. Kemudian ada turbin angin berdaya rendah yang dilengkapi dengan anemometer untuk mendeteksi kecepatan dan arah angin, pyranometer yang dijadikan alat bantu untuk mengukur radiasi matahari, dan datalogger untuk mengambil data.

Pada sudut area ada sebuah kandang (ini baru kandang) tempat laboratorium biogas, memanfaatkan gas metan yang dihasilkan dari kotoran sapi yang mengalami anaerobic digestion. Sebenarnya, staf pengajar saya, mengatakan bahwa mereka bisa juga menggunakan kotoran babi, hanya mereka tidak melakukannya karena mengetahui bahwa di antara peserta kuliah master ini ada yang muslim, dan ini sebagai bentuk penghormatan mereka. Semua peralatan yang ada dirancang dan ditampilkan dengan gaya sederhana, cukuplah bagi mahasiswa untuk sekilas bisa mereka-reka bagaimana keseluruhan sistem ini bekerja.

Di dalam kelas ada papan kapur tulis, sebuah komputer, sebuah LCD projector, sebuah lemari berisi sedikit perlangkapan laboratorium dan buku, meja panjang yang berbaris menyesuaikan dengan bentuk ruangan yang merupakan satu segi dari enam segi bangunan, peta radiasi matahari yang ditempel di dinding, papan pengumuman yang ditempeli artikel koran yang sedikit lusuh, westafel dengan lemari piring dan gelas, beberapa poster tentang aktivitas energi terbarukan di negara berkembang, dan jendela kaca lebar yang membuat kita bisa melihat langsung taman kecil di tengah-tengah Energielabor ini yang dilengkapi meja dan papan tulis, biasanya dipakai untuk belajar oleh mahasiswa atau peneliti di sini.

Di kemudian hari saya baru mendapat jawaban mengapa Energielabor bentuknya seperti ini, tidak lazim. Ternyata bangunan ini dirancang agar ketika musim panas1, kondisi dalam ruangan tidak terlalu panas, dan ketika musim dingin ruangan sesedikit mungkin mengkonsumsi energi untuk memanaskan. Energielabor juga ternyata memenuhi kebutuhan energinya sendiri, bahkan berlebih, hingga menjualnya ke perusahaan energi setempat. Jadi inilah alasan di balik kandang segi enam beserta segala kelengkapannya yang menjadi pertanyaan saya.

Penampilan staf pengajar saya begitu sederhana, seperti penampilan kami para mahasiswanya. Salah satunya adalah Dr. Blum, begitu kami sering menyapanya. Beliau ini orang yang unik. Kadang ia bercanda, tetapi orang lain bingung dan menganggap tidak lucu, anehnya saya memahami humor yang ia maksudkan dan ikut tersenyum. Dia menceritakan bahwa ia adalah seorang chemist yang kemudian jatuh cinta pada physics, dan sekarang sedang menikmati electrical engineering. Ini tidak aneh di Jerman.

Saya tidak tahu apa alasan dia berpindah-pindah jalur keilmuan, yang paling mudah saya tangkap adalah bahwa dia tidak puas dengan ilmu yang saat ini dia pelajari. Tadinya saya berpikir seorang yang saat ini ahli di suatu bidang, pastilah sebelumnya berasal dari bidang yang sama dengan keahliannya sekarang. Anggapan saya ini runtuh seketika pada saat saya mengobrol dengan supervisor tesis saya saat ini, Dr. Steinberger.

Ia saat ini adalah seorang ahli fuel cell2, bidang yang menjadi fokus tesis saya. Tadinya saya berpikir bahwa pastilah dahulu ia mengerjakan Diplomarbeit3 mengenai fuel cell, dan mengambil PhD tentang fuel cell. Ternyata ia mengerjakan efisiensi energi bangunan Energielabor dari perangkat teknologi yang tersedia untuk Diplomarbeit-nya, dan topik PhD nya adalah menggunakan teknologi biomassa untuk menutup kekurangan energi yang disediakan oleh turbin angin.

Jadi, bisa dibilang tidak ada hubungan sama sekali dengan fuel cell. Ketika saya tanyakan latar belakang ia bergelut di bidang yang sekarang menjadi keahliannya ini, maka ia menjawab bahwa dahulu ia pernah mengerjakan proyek untuk menjadikan biomassa sebagai penyedia gas input untuk fuel cell, sehingga ketika semakin sering mendapat proyek yang berkaitan dengan fuel cell, ia pun memilih terjun di bidang ini. (bersambung)

Catatan :

1 Saya pernah merasakan suhu udara di Jerman mendekati 40 derajat celcius

2 Fuel cell = Teknologi konversi energi, layaknya batere, bila tertarik ada sumber pembelajaran

bebas di www.fuelcells.org

3 Diplomarbeit = Seperti skripsi atau tugas akhir di Indonesia