Perkenalan (3)

Sungguh, kegembiran saya yang paling utama adalah ketika menemukan masjid untuk Shalat Jumat. Masjid yang pertama kali saya ketahui adalah yang dikelola oleh saudara dari arab. Tidak ada papan nama masjid di depan. Masjid ini menyatu dengan bangunan kantor, yang bangunannya seperti ruko di Indonesia.

Masjid ini terletak di lantai paling atas, Dachgeschoss1, mungkin kalau di Indonesia adalah ruang loteng yang masih bisa dimanfaatkan. Kata saudara dari Indonesia, tinggal di Dachgeschoss itu unik, ketika musim panas terasa lebih panas, dan ketika musim dingin terasa lebih dingin. Wajar saja karena atap ruangan adalah langsung atap bangunan, sehingga ada perbedaan perpindahan panas dibandingkan lantai-lantai di bawahnya, yang isolasinya lebih baik.

Maryam Moschee, begitulah nama masjid ini, artinya Masjid Maryam. Terakhir saya menetap di Oldenburg, masjid ini kemudian pindah ke bangunan di seberang jalan, dengan beralasan bahwa kalau dipakai Shalat Jumat, beberapa orang Jerman yang bekerja kurang merasa nyaman dengan hilir mudik orang-orang, karena pada lantai tempat masjid kami berada juga ada yang dipakai sebagai kantor. Di bangunan baru, masjid kami tetap di Dachgeschoss, hanya saja tidak ada kantor lain yang selantai dengan kami, jadi semua Dachgeschoss itu adalah masjid.

Tidak mungkin seorang muslim yang sehari-hari mendengar azan kemudian tiba-tiba hidup di negeri yang asing dengan azan tidak terharu bila kemudian mendengar seruan kepada ALLAH ini dilantunkan, terlebih yang melantunkan azan adalah saudara dari negeri lain. Khutbah disampaikan dalam Bahasa Arab, dan pada khutbah kedua yang lebih singkat disampaikan dalam Bahasa Jerman. Selepas shalat, para jamaah bercengkrama melepas rindu.

Ya, kami yang shalat di Oldenburg tidak lah setiap hari bertemu. Masing-masing sibuk dengan rutinitas pekerjaan di Jerman, yang manajemen waktunya amat ketat. Bahkan yang shalat di Oldenburg, juga ada yang berasal dari kota-kota tetangga yang belum memiliki masjid. Ada rasa berbeda ketika berinteraksi dengan saudara-saudara dari bangsa lain. Entah kenapa saya mudah akrab dengan mereka. Ketika pertama kali berkenalan, mereka agak sulit menangkap nama saya, mungkin karena saya mengejanya tidak dengan cara orang arab mengeja. Terpaksa saya bantu dengan mengatakan „Suratul Kahf, surah achzehn im Koran2“, barulah mereka tersenyum sekaligus langsung memanggil saya dengan benar.

Yusuf, ia adalah saudara dari Maroko. Wajahnya tampan mencerminkan namanya. Bagi saya, rasanya ia lah sang pengurus masjid, karena yang paling sering terlihat di masjid adalah dirinya. Ternyata apartemennya juga tidak jauh dari masjid. Pelajaran berharga yang saya dapati dari bergaul dengan saudara dari arab adalah ketegasan, ketika benar dibilang benar, dan salah dibilang salah. Ini terjadi ketika Yusuf mengoreksi wudhu saya, padahal saat itu saya dan dia belum kenal begitu dekat.

Tetapi memang mengatakan yang benar apa adanya ketimbang membiarkan kesalahan saudara kita tersumbat di hati adalah sikap yang lebih menenangkan hati, jadi saudara kita tahu bahwa kita berkata apa adanya, dan kita melakukan itu justru karena cintanya kita padanya. Pernah suatu kali kami sehabis Shalat Jumat, saya dan Anwar1, duduk bersebelahan. Lalu saudara dari arab yang duduk di sebelah Anwar, mengatakan pada Anwar, „Haram..haram..“ sambil menunjuk ke cincin di jari manis Anwar.

Anwar tidak mengerti karena saudara itu menjelaskan dalam Bahasa Jerman yang kurang jelas, sehingga Anwar hanya mengangguk-ngangguk sambil pucat tanpa mengerti apa maksud saudara dari arab itu. Ketika kami di luar, kami sempat tertawa mengingat kembali peristiwa di masjid tadi. Saya katakan pada Anwar bahwa itu dikarenakan dia memakai cincin emas di jarinya, dan saudara dari arab itu mengingatkan bahwa itu haram. Anwar malah balik bertanya kepada saya bahwa benarkah cincin emas haram?

Saya hanya menjawab bahwa berdasarkan yang saya pahami memakai perhiasan emas memang haram bagi laki-laki muslim namun halal bagi wanita muslim. Ia agak sulit menerima ini karena baginya cincin itu punya makna penting. “Kahfi, this is symbol of love”, begitulah ia beralasan. Suatu saat, pernah juga ketika kami di masjid, Yusuf mengulang kembali pada Anwar bahwa cincin emas itu haram. Apa daya Anwar pun melepasnya, tetapi ketika kami sudah di luar dan menunggu bis, ia kemudian memakainya kembali. Dasar Anwar..(bersambung)

Catatan :

1 Dach = atap, Geschoss = lantai

2 Surat Al Kahfi, surat 18 dalam Al Quran

3 Saudara dan teman kuliah saya yang istimewa dari Bangladesh