Studi di Oldenburg (1)

Pelajaran paling penting yang saya dapatkan ketika kuliah di Jerman adalah betapa amat pentingnya ide dasar. Ya, ide dasar atas segala pengetahuan. Saya awalnya terheran-heran staf pengajar di sini memulai kuliahnya dengan menyampaikan teori-teori dasar yang dari SMA pun saya sudah kenal. Saya berpikir untuk apa mengalokasikan waktu untuk hal-hal seperti ini bagi mahasiswa yang sekarang sedang menempuh pendidikan master.

Tetapi ketika teori-teori dasar itu dikembangkan pelan-pelan oleh staf pengajar kami maka kami sampai pada titik di mana kami tidak memahami mengapa kami bisa menggunakan prinsip ini untuk suatu kasus. Ya itulah ide dasar. Sesungguhnya yang kebanyakan kita pahami saat ini adalah solusi yang hanya pas atau cocok untuk satu atau beberapa kasus saja, dan ketika kita dihadapkan pada kasus lain maka solusi itu tidak lagi berlaku. Di sinilah pentingnya memahami ide dasar dari sebuah pengetahuan.

Selama ini kita hanya tahu solusi atau hasil akhir dari sebuah perjalanan panjang pemikiran para ilmuwan. Mereka telah menempuh jalan yang berliku-liku hingga sampai pada kesimpulan yang selama ini kita dapati. Kita tidak mengikuti perjalanan pemikiran sang ilmuwan. Kita tidak tahu mengapa ia mencoba suatu hal dan tidak mencoba yang lain. Kita tidak tahu apa sikap dia ketika mengalami kegagalan, dan apa reaksinya, pilihan apa yang selanjutnya ditempuh untuk menghindari kegagalan yang sama.

Sebenarnya inilah inti dari menuntut ilmu. Masalah yang saya hadapi adalah saya tahu sebuah solusi atau teori tetapi ketika saya terapkan pada dunia nyata, hasil penerapannya tidaklah sesuai dengan kenyataan yang diharapkan. Sebuah teori telah mengalami berbagai penyederhanaan untuk menyesuaikan diri dengan kasus yang dihadapi, sehingga jika kita tidak tahu kapan penyederhanaan perlu kita lakukan dan kapan tidak, maka yang kita dapati hanyalah teori tanpa terapan.

Hal ini termasuk pesan Prof. Peinke, salah satu supervisor untuk tesis saya saat ini. Saya hadapkan padanya paper, dan menunjukkan deretan formula-formula yang saya katakan hendak saya terapkan dan kembangkan, ia malah hanya sekilas melihat formula-formula itu kemudian berkata pada saya, “Kamu cari tahu dulu kapan kamu bisa menggunakan formula-formula ini dan kapan tidak. Jika kamu sudah yakin, coba lakukan eksperimen sederhana untuk kemudian dijadikan ukuran apakah formula-formula itu juga menunjukkan persetujuan dengan eksperimen sederhana kamu.”

Hanya itulah pesan yang saya ingat sampai sekarang ketika terakhir bertemu dengannya. Masalah ide dasar ini juga yang menjadi penyebab, saya merasa agak lamanya tesis saya. Saya memiliki kelemahan di mana saya tidak bisa mengerjakan sesuatu bila saya sendiri tidak merasakan makna dari pekerjaan tersebut. Saya paling malas bila disuruh membuat karya tulis tentang suatu tema, dan harus dikumpul tanggal sekian, deadline.

Seolah yang paling penting dari setiap tugas adalah deadline. Rasa malas saya disebabkan saya tahu bila saya hanya sekadar membuatnya, maka prediksi saya, kelanjutan dari karya tulis saya itu adalah masuk folder sang pengajar, dinilai olehnya menurut penilaian standar, dan suatu saat ketika sang pengajar hendak merapikan folder-foldernya, maka karena ketidakbermaknaan file-file dalam harddisk-nya, maka karya tulis saya pun ikut terhapus. Inilah yang belum sempat dimengerti oleh Dr. Blum, ketika ia pernah memberi nasihat pada saya.

Waktu itu saya menghadapnya karena saya belum mengumpulkan tugas, sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang lain sudah lengkap tugas-tugas mereka dikumpulkan. Ia berujar, “Saya menemukan banyak mahasiswa yang ambisinya sangat besar tetapi tidak disertai dengan kemampuan yang ada pada diri mahasiswa itu”. Saya hanya menjawab, “Ya, It’s me.” Kemudian dia hanya berpesan, “Collect what you have, and just write it!” Sampai saat ini nasihatnya sudah ada yang saya penuhi dan masih ada yang belum. Saya tidak tahu apakah ‘hutang’ saya masih diingatnya.”Please, it’s only my weakness.”

Ketika saya dan saudara saya, Ihsan, sedang dalam perjalanan kereta ketika kami selesai dari suatu acara, kami sempat berdiskusi mengenai masalah ini. Kami membicarakan hadiah Nobel. Saya melihat saudara saya ini punya niat untuk menggapai pencapaian ilmu pengetahuan selayaknya hadiah Nobel ini.

Maka saya katakan padanya, “San, Antum pilih satu topik yang saat ini belum terpecahkan dan amat penting untuk dipecahkan, dan fokuslah mengerjakannya selama 20 tahun, insyaALLAH Antum akan mendapatkan hasilnya.”

Ya, bagi saya meraih hadiah Nobel bukan perkara karena orang itu cerdas atau tidak, jenius atau tidak, tetapi hanya masalah pilihan. Adakah orang yang mengambil pilihan hanya untuk betul-betul menekuni suatu masalah selama berpuluh-puluh tahun? Inilah yang dikatakan Terence Tao, sang peraih Fields Medal[1] termuda, ketika ia mengatakan alasan di balik keberhasilan Perelman memecahkan Poincare Conjencture.

Terry mengatakan bahwa, walau ia mengenal Perelman adalah seorang matematikawan istimewa, tetapi tidaklah ia mendapatkan hasil itu kecuali ketika ia tekun dan tahan berpuluh tahun menekuni permasalahan itu. Perelman sendiri menolak hadiah uang dan menghadiri penyerahan medali penghargaan, karena ia menganggap dunia ilmuwan, khususnya matematika, saat ini sudah banyak yang tidak jujur. Sempat saya cari tahu cerita di balik kata-kata dia ini, tetapi sampai sekarang saya belum mendapatkan apa sebenarnya alasan dia mengatakan seperti itu. (bersambung)

========

Catatan :

[1] Penghargaan tertinggi di dunia matematika