Studi di Oldenburg (2)

Pelajaran penting lainnya dari studi saya di jerman, adalah nikmatnya kerja sama. Maksud saya nikmat di sini bukan berarti senang, tetapi merasakan betul manis pahitnya kerja sama. Tetapi walaupun penuh suka-duka, beda pendapat, tetapi tidaklah menambah kepada saya dan teman-teman kuliah saya melainkan kami merasa makin layaknya saudara saja.

Semester pertama adalah masa-masa paling stress dalam perkuliahan kami. Senyum dan wajah cerah di masa-masa awal kuliah menjadi sulit untuk ditemui lagi karena sibuknya kami oleh praktikum. Program master ini hanya 3 semester, jadi dipadatkan. Semester 3 hanya dipakai untuk tesis, sehingga semester 1 dan 2 betul-betul dipakai untuk menjejali para mahasiwa dengan setiap materi yang selayaknya kami terima agar kami dapat meraih predikat master.

Kuliah beriringan dengan praktikum. Praktikum ini hanya dilakukan satu kali dalam sepekan tetapi memakan waktu seharian. Laporannya dikumpul seminggu kemudian, dan pada saat yang bersamaan juga dilakukan wawancara untuk menguji kesiapan mahasiswa melakukan praktikum berikutnya.

Entahlah, menurut saya inilah yang paling tidak saya sukai dari program ini. Laporan praktikum ini akan diperiksa, dan bila banyak kekurangan akan dikembalikan untuk diperbaiki. Begitu pula bila kami tidak lulus wawancara, akan diberi tugas dan wawancara susulan. Jadi, saudaraku, bisa dibayangkan betapa berantainya efek yang harus dihadapi jika gagal pada salah satu dari dua tahapan ini, padahal praktikum yang harus kami lakukan tidak hanya satu, tetapi beberapa modul. Dan, sayangnya saya termasuk yang harus mengalami efek bak reaksi fisi atom ini.

Kelompok praktikum saya adalah kelompok yang unik. Kami adalah satu-satunya kelompok yang terdiri dari 3 orang, kelompok lainnya hanya terdiri dari 2 orang. Sebenarnya pembagi kelompok praktikum sudah mengingatkan bahwa berdasarkan pengalaman, kelompok dengan 3 orang tidak akan berjalan baik. Menurutnya lebih baik ada satu orang yang bekerja sendiri, dan yang lainnya membentuk kelompok dari 2 orang.

Entah bagaimana ceritanya, saya, Anwar, dan Simeon bergabung dalam satu kelompok. Simeon yang saya lihat sudah tahu risiko yang disampaikan oleh sang pembagi kelompok, terlihat sedang mempertimbangkan untuk bekerja sendiri saja, tetapi mungkin merasa tidak enak dengan kami, ia akhirnya memilih biarlah kelompok ini tetap 3 orang beserta segala risiko yang dihadapi. Ketika pertama kali kami kumpul setelah selesai pembagian kelompok, maka saya katakan pada mereka, “Kita sudah dengar kan, risiko yang tadi dibilang, maka mari kita lakukan yang terbaik, mari kita jadi kelompok yang terbaik, buktikan pendapatnya salah.” Ternyata pelaksanaannya tidak semudah kata-kata yang diucapkan.

Kami sering merencanakan untuk bertemu, tetapi ketika sudah bertemu, tidak ada yang kami lakukan kecuali mengobrol. Ketika waktu sudah beranjak malam, barulah kami mulai membicarakan laporan kami, dan tentu saja, karena waktu sudah malam, maka kami sepakat untuk esok hari saja mengerjakannya. Pernah kami membagi tugas. Anwar mengerjakan pendahuluan, saya mengerjakan perhitungan, dan Simeon yang akan membuat analisis.

Tetapi pada saat itu kami bekerja hanya dengan satu komputer, yaitu laptop Anwar. Karena pendahuluan tergolong mudah, maka kami mulai dengan perhitungan, dan ini adalah tugas saya. Melihat saya bekerja, Simeon mengatakan bahwa ia hendak ke kamar, dan kemudian akan kembali lagi. Tanpa komputer, Anwar tidak punya kegiatan apa-apa, dan waktu itu kami tetapkan kami menginap di tempat Anwar. Kasur untuk saya sudah disiapkan. Kemudian Simeon datang, dan bilang bahwa analisis kan baru bisa dikerjakan jika hitungannya sudah selesai.

Jadi, saya diminta menyelesaikan perhitungannya malam itu, dan esoknya memberikan hasilnya padanya. Anwar sudah tidur, maka kerjalah saya sendiri di kamar Anwar yang lampunya sudah dimatikan, hanya cahaya komputer dan lampu kecil di meja yang menemani saya bekerja. Tetapi dasar saya, ketika saya menampilkan grafik perhitungan tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka saya habiskan malam itu untuk mencari alasannya dan tidak melanjutkan perhitungan untuk kasus-kasus lain, walau kasus-kasus lain sebenarnya independen dari kasus yang sedang saya kerjakan.

Akhirnya, ketika sudah berusaha tetapi tidak dapat juga penjelasan dari permasalahan itu, maka melihat jam yang sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan besok kami juga ada kuliah pagi, maka melihat Anwar tidur, saya pun beranjak ke peraduan. Dan bisa ditebak, esoknya Simeon kecewa dan sedikit marah, karena saya tidak memenuhi kewajiban saya. Saya jelaskan alasannya, tetapi ia menyalahkan saya yang kenapa tidak berusaha sampai selesai tetapi malah tidur. Saya yang sudah terjaga sampai lewat tengah malam tentu membela diri saya, tetapi ya tidak ada hasil apa-apa kecuali kami bersepakat untuk bertemu kembali dan bekerja lagi malamnya.

Ini sering terjadi dan anehnya walau begitu berat beban yang menghimpit kami, kami masih bisa bercanda satu sama lain, pergi ke supermarket sama-sama, atau saling bercerita mengenai rencana sesudah kuliah. Pernah suatu saat ketika cara kami bekerja ini membuat kami harus menanggung beban puncak, di mana harus mengumpulkan tiga laporan sekaligus, maka tidak ada jalan lain, kami bagi tiga laporan ini kepada masing-masing kami.

Dan anehnya masing-masing kami mampu mengerjakannya dan selesai pada waktunya. Sampai sekarang saya tidak mengerti bagaimana bisa terjadi ketika kami berpisah, hasilnya jadi, tetapi ketika bertemu malah tidak jadi-jadi. (bersambung)