Studi di Oldenburg (3)

Semester berikutnya saya sekelompok dengan Chandra. Entahlah, Chandra ini dari awal sudah mengincar saya untuk menjadi partnernya. Rupanya ketika ia ceritakan alasannya, ia tidak mau lagi seperti pada semester pertama ketika semua laporan ia yang kerjakan, padahal ia punya partner lain, yaitu Stanley. Ia bilang Stanley belum begitu mahir menggunakan aplikasi worksheet, dan sebenarnya Stanley ini ingin mengerjakan tetapi terlebih dahulu minta diajarkan menggunakan aplikasinya.

Chandra tentu orang yang tidak sabar dan lebih memilih lebih baik ia kerjakan sendiri, dan langsung selesai, daripada berlama-lama mengajarkan tetapi laporan menjadi lama selesainya. Mendengar penuturan Chandra, masih terlihat oleh saya sisa-sisa beban beratnya di balik senyumnya yang dipaksa ketika menanti saya mengatakan ya atau tidak menerima tawarannya. Ternyata bebannya lebih berat dari yang pernah saya hadapi.

Bekerja dengan Chandra amat praktis. Laporan pekan pertama ia yang selesaikan, laporan berikutnya saya yang selesaikan, begitulah seterusnya bergantian. Awal-awalnya tidak ada masalah. Chandra selalu mengumpulkan laporan tepat waktu. Masalah mulai datang ketika laporan saya terlambat, dan ia cemas. Masalah saya saat itu adalah praktikum kami adalah bidang yang amat saya sukai, dan saya ingin menyajikannya dalam bentuk yang terbaik yang mampu saya sajikan.

Maka saya pergunakan document processor alternatif ketimbang yang sudah lazim, yang dapat menghasilkan output layaknya sebuah paper. Nah, karena saya masih mencoba-coba dengan aplikasi baru ini, maka tentu pengerjaan laporan menjadi tambah lama. Akhirnya laporan saya pun selesai dan saya merasa puas dengan hasil pekerjaan saya, walau sudah terlambat hampir dua pekan. Chandra sebenarnya tidak senang dengan cara kerja saya seperti ini, baginya yang penting mengumpulkan, terus selesai.

Tapi alangkah bertambah senangnya saya ketika sang tutor laporan kami menilai laporan kami yang berformat layaknya paper itu sebagai laporan yang terbaik yang pernah ia lihat, walau ada sedikit catatan dan koreksi darinya. Chandra sempat bertanya pada saya bagaimana menghasilkan laporan seperti itu, tetapi tetap saja ketika untuk laporan berikutnya, ia meminta saya untuk bekerja dengan cara ‘normal’ saja. Ya, Chandra sebenarnya benar, on time is the best, but please..again..it’s only my weakness.

Hubungan saya, Chandra, Simeon, dan Anwar adalah hubungan yang istimewa. Kami selalu menyapa diri kami dengan “brother.” Sampai sekarang pun ketika berinteraksi dengan e-mail kami masih menyapa dengan sebutan itu. Pokoknya kalau kami sudah bertemu maka pasti suasana menjadi ramai. Chandra biasanya memancing-mancing dengan menggoda Simeon, dan kami pun ikut menggoda Simeon.

Simeon ini unik, karena orangnya terlalu baik maka ia selalu menjadi bahan godaan kami. Mauricio, salah satu tutor istimewa kami selalu tidak dapat menahan tawanya jika ketika kami praktikum bersamanya, kami memperkenalkan Simeon ini sebagai Prof. Simeon. Lalu, Simeon pun mengelak dan beralih mengatakan, “No, they are the professors.” Sebenarnya yang membuat kami memanggil Simeon dengan panggilan seperti itu karena biasanya ketika wawancara, Simeon ini berusaha menjawab pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu jawabannya, akibatnya adalah mutar-mutar.

Saya yang melihatnya dan melihat wajah tutor kami yang menahan sabar, tentu tidak bisa menyembunyikan wajah yang ingin ketawa. Maka kadang-kadang saya atau Anwar menghindari tawa yang tumpah dengan memotong Simeon dan menjawab pertanyaan tutor kami.

Tetapi masa-masa bersama mereka adalah masa yang amat mengesankan bagi saya. Bahkan ketika sekarang Anwar sudah kembali ke Bangladesh, dan saya belum bertemu lagi dengan Chandra dan Simeon, maka mereka saya rindukan layaknya saudara. Bahkan dalam e-mail terakhir saya kepada Simeon, saya bilang, “whatever happens, you will always be my brother, Prof. Engr. Simeon Nwaogaidu.”