Kisah Dzulqarnain, Pemimpin Hebat yang Mampu Jinakkan Yakjuj dan Makjuj

“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah, ‘Aku akan bacakan kepadamu kisah tentangnya.’ Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka dia pun menempuh suatu jalan.

Ketika dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata, ‘Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.’

Dzulqarnain berkata, ‘Adapun orang yang aniaya, kami akan mengazabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami’.” (Al-Kahfi: 83-88)

“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain). Hingga ketika dia sampai di tempat terbit matahari (sebelah timur) di dapatinya (matahari) bersinar di atas suatu kaum yang tidak Kami buatkan suatu pelindung bagi mereka dari (cahaya matahari) itu, demikianlah, dan sesungguhnya Kami mengetahui segala sesuatu yang ada padanya (Dzulqarnain). Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, didapatinya di belakang (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan. Mereka berkata, “Wahai Zulkarnain! Sungguh, Yakjuj dan Makjuj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?” (Al-Kahfi: 89-94)

Dia ( Dzulqarnain ) berkata, “Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan, agar aku dapat membuatkan dinding penghalang antara kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga ketika (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Zulkarnain) berkata, “Tiuplah (api itu)!” Ketika (besi) itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).” Maka mereka (Yakjuj dan Makjuj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.

Dia (Dzulqarnain) berkata, “(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menghancur-luluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar.” Dan pada hari itu Kami biarkan mereka (Yakjuj dan Makjuj) berbaur antara satu dengan yang lain, dan (apabila) sangkakala ditiup (lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya. Dan Kami perlihatkan (neraka) Jahanam dengan jelas pada hari itu kepada orang kafir, (yaitu) orang yang mata (hati)nya dalam keadaan tertutup (tidak mampu) dari memperhatikan tanda-tanda (kebesaran)-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar. (Al-Kahfi; 95-101)

Bertanduk Dua?
Sebagian pihak berpendapat gelar Dzulqarnain “Bertanduk Dua” secara tersirat merujuk kepada Iskandar Agung maupun ukiran dinding Cyrus Agung. Ahli tafsir Qur’an abad ke-14 memberikan sebab yang berbeda. Dalam Tafsir Ibn Katsir menyatakan, “Sebagian mereka memanggilnya Dzulqarnain kerana dapat mencapai dua “tanduk” (batas) matahari, Timur dan Barat, tempat ia terbit dan terbenam.”

Kemudian, nama Dzulqarnain juga diterjemahkan menjadi “Dia yang Berketurunan Dua”, “Dia yang hidup hingga dua kurun”, “Dia yang memiliki dua kerajaan” ataupun “Pemerintah Dua Kerajaan”. Banyak yang menafsirkan perkataan itu dengan maksud yang berbeda. Ada pendapat yang mengatakan “Bertanduk Dua” artinya menggabungkan dua negeri.

Antara Iskandar Agung dan Dzulqarnain
Sejarawan Islam seperti Sayyid Ahmad Khan (penafsir Qur’an), Molana Abolkalam Azad, Baha’eddin Khomrashahi dan Dr Muhammad Ebrahim Bastabi Parizi menyangkal bahwa Dzulqarnain adalah Iskandar Agung. Mereka lebih menghendaki Dzulqarnain adalah Cyrus Agung yaitu Raja Parsi Arkaemenia. Mereka memberikan bukti-bukti termasuk artefak tulisan dan ukiran pada batu istana dan kuburan. Berikut beberapa bukti yang disebutkan: