Kisah Kusni Kasdut, Perampok Legend yang Pernah Ikut Pertempuran 10 November Surabaya

Brigade Teratai didirikan pemimpin revolusi Surabaya Dr Moestopo yang telah menjabat Penasehat Presiden bidang kemiliteran, dan berkantor di ibu kota Yogyakarta. Moestopo yang selalu berapi-api tetap meyakini kekuatan revolusi tidak terletak pada kelengkapan peralatan. Tapi lebih pada kekuatan rakyat.

Di Brigade Teratai Kusni Kasdut berada di bawah komando seorang perempuan berpangkat Letkol. Kusni menjalankan tugasnya dengan merampok harta orang-orang kaya untuk kemudian dipakai dana perjuangan. Di Gorang Gareng, Plaosan, Magetan (Saat itu Madiun), Kusni Kasdut menggasak perhiasan serta intan berlian milik pedagang Tionghoa kaya.

Perang gerilya terhadap Belanda tidak berhenti dilakukan. Saat melakukan penyamaran, Kusni yang di Brigade Teratai dijuluki “Bung Kancil”, tertangkap dan disiksa. Bersama para pejuang lain ia dijebloskan ke dalam tahanan yang berlokasi di Pabrik Gula, Kebonagung, Malang. Kusni berhasil kabur dengan merusak engsel terali besi.

Para pejuang yang juga ditahan di Pabrik Gula Kebon Agung, ia bebaskan. Namun kakinya tertembak yang membuatnya untuk sementara waktu sembunyi. Bersarangnya timah panas di kaki bukan pertama kali. Kelak saat saling tembak dengan aparat kepolisian Semarang, kaki Kusni juga tertembak.

Begitu juga saat berusaha kabur dari penjara di Surabaya, kakinya juga kembali tertembak . “Dia bertempur untuk terakhir kalinya di Blitar, Jawa Timur, kira-kira pada pertengahan 1949, sedikit sebelum gencatan senjata menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,” tulis Daniel Dhakidae dalam “Menerjang Badai Kekuasaan”.

Nasib baik tidak berpihak. Begitu perang selesai, Kabinet Hatta mengeluarkan kebijakan ReRa. Reorganisasi dan Rasionalisasi di tubuh militer Indonesia. Tentara yang ada di TNI ditata ulang. Mereka yang sebelumnya tergabung dalam laskar-laskar, diseleksi. Brigade Teratai tempat Kusni Kasdut bernaung dalam perjuangan kemerdekaan, tidak masuk daftar.

Setelah setahun menunggu, hari itupun tiba. Di Rampal Malang. Kusni mendapat selembar surat pernyataan bekas pejuang dari Rampal. Negara hanya mengakuinya sebagai bekas pejuang. Ia juga mendapat sedikit uang pemulihan. Namun ia dinyatakan bukan tentara. Kusni merasa menjadi korban kebijakan demobilisasi. Hatinya panas. Ia mengutuk dirinya sendiri.

“Namun, dia tidak berhenti di sana. Dia memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang ‘menghianati’ dirinya dan memilih tempat ‘berseberangan’,” tulis Daniel Dhakiade. Faktanya, selembar surat pernyataan bekas pejuang itu, tidak banyak membantu.

Surat tersebut tidak berguna saat Kusni Kasdut mondar-mandir mencari lowongan kerja. Malang, Surabaya, dan Jakarta, ia datangi untuk mendapat pekerjaan yang pantas. Termasuk orang orang yang dikenalnya di masa revolusi fisik ia temui. Semua tidak memberikan kesempatan untuknya.

Di sisi lain Kusni melihat negara yang kemerdekaanya pernah ia perjuangkan dikuasai orang orang yang tidak ia kenal. Orang-orang kaya. Para politisi yang keluar masuk hotel mewah. Sementara di jalan-jalan pemandangan kemiskinan rakyat semakin terlihat jelas.

Kusni memutuskan mengambil tempat yang “berseberangan” dengan negara. Ia butuh hidup dan menghidupi keluarganya. Di kelompoknya Kusni memakai nama Kasdut. Usai merampok Museum Gajah dengan menggasak perhiasan kuno, Kusni Kasdut ditangkap di Semarang.

Sebelumnya di Surabaya, ia menculik seorang dokter Tionghoa kaya dengan meminta uang tebusan. Saat diinterogasi di kantor polisi Semarang, Kusni mencoba kabur. Dalam baku tembak, salah seorang polisi tewas tertembus pelurunya. Ia tertangkap dan dipenjara. Namun berhasil meloloskan diri dengan merusak tembok penjara.

Dengan kelompoknya beraksi lagi. Di dalam roda empat. Saat hendak menculik seorang pengusaha miliader keturunan Arab di Jakarta, sang korban yang melawan tanpa sengaja tertembak dan mati. Kusni yang bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di Yogyakarta, diringkus di depan istri dan anaknya.