Berbeda ? Untuk Saling Mengenal (1)

Ketika saya masih sekolah di Bandung, waktu itu saya berada di angkot bersama teman saya. Saya katakan pada teman saya bahwa sopir angkot ini adalah sopir favorit saya. Teman saya itu malah heran kok bisa-bisanya saya menghafal sang sopir. Saya tentu punya alasan tetapi waktu itu tidak saya utarakan alasan saya kepada teman saya ini, saya hanya mengatakan bahwa ia memang sering mengemudikan angkot dari tempat kos saya. Sebenarnya ada tiga alasan kenapa saya begitu mengingat sang sopir.

Sopir Bis (3)

Di dalam bis amat ramai dengan suara para penumpang, bercampur antara nyanyian, obrolan, teriakan, dan tawa. Saya bisa melihat wajah sopir bis yang terganggu dengan kebisingan penumpang ini. Awalnya sang sopir masih bisa bersabar dengan tingkah para penumpang ini. Tetapi suatu saat terdengar suara kaca pecah. Ya, salah satu jendela bis dipecahkan oleh penumpang. Sang sopir tentu ingin tahu apa yang terjadi. Maka ia melihat dari kaca spionnya ke arah penumpang untuk mencoba sedikit mendapatkan jawaban.

Sopir Bis (2)

Kadang Karim menjelaskan suatu ayat dan Abdul Majid ikut berkomentar mengenai ayat tersebut. Saya sendiri hanya sedikit memahami penjelasan mereka karena mereka berbicara dalam bahasa arab. Karim ini bagi saya adalah salah satu jamaah yang paling paham dalam hal agama dan hafalan serta bacaan Al Qurannya pun paling bagus, tetapi ia senantiasa menolak untuk menjadi imam. Ia terlalu pemalu. Tetapi suatu saat ia tidak dapat menolak untuk mengimami shalat kami karena seluruh jamaah bersepakat menyuruhnya menjadi imam.

Sopir Bis (1)

Awalnya saya hendak memasukkan cerita mengenai sopir bis ini ke dalam bab Jerman dalam Pandangan Saya. Tetapi kemudian saya merasa butuh bab tersendiri untuk menceritakan pengalaman saya dengan sopir bis ini. Kalau ditanyakan kepada saya, profesi apa yang paling saya kagumi dari berbagai profesi yang dilakoni orang di Jerman ini, maka jawaban saya adalah sopir bis. Berikut adalah alasannya.

Pendidikan Jerman (4)

Jadi bila ada orang Jerman yang memiliki Haus, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang secara keuangan amat tercukupi. Dan itulah yang dialami guru di sini. Saya heran bagaimana kita masih saja menggaungkan slogan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa kepada setiap guru hanya untuk memaafkan diri kita bahwa memang kita belum bisa menghargai jasa sang guru. Di mana-mana pahlawan itu berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Mereka berjuang karena memang kesadaran mereka bahwa kalau bukan mereka yang berjuang, siapa lagi yang akan berjuang.

Pendidikan Jerman (3)

Waktu itu hanya ada saya dan seorang peneliti. Jadi pintu yang tidak bisa dibuka adalah pintu masuk ke toilet ini yang ruangannya adalah tempat westafel, baru kemudian ada pintu lain untuk kloset berdiri dan duduk. Kami yang di dalam tentu bingung. Teman saya yang terkunci ini hanya diam. Masalahnya adalah gagang pintu bisa digerakkan tetapi pintu tidak bisa dibuka. Waktu itu saya mengeluarkan kartu dari dompet dan kemudian mencoba pada pintu lain dalam toilet ini yang jenis gagangnya sama dengan yang menempel pada pintu yang terkunci itu.

Pendidikan Jerman (2)

Betapa tawadhunya Raba, ketika ia berujar, „Kepala dua orang memang selalu lebih baik ya.“ Ia tidak mengatakan bahwa dirinya lah yang menjadi solusi atas masalah kami, tetapi malah memasukkan saya padahal saya sendiri lah sang pembawa masalah. Saudaraku, sepanjang saya kerja di insititut ini, tidak banyak senyum tulus yang terlihat dari orang-orang yang bekerja di sini. Wajah yang lebih banyak terlihat adalah wajah penuh tekanan pekerjaan. Hanya tiga orang bagi saya yang senyumnya masih bisa lepas, yaitu Dr. Steinberger, Yong seorang mahasiswa PhD dari Cina yang sedang mengerjakan bagaimana mengatasi masalah sulfur pada fuel cell, dan Raba ini.

Pendidikan Jerman (1)

Inilah yang disebut dengan pendidikan yang melayani keragaman manusia, bukan pendidikan yang malah menyeragamkan manusia. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan layaknya di Jerman ini juga sudah ada di Indonesia. Ada SMK yang bermacam-macam bidangnya, dahulu ada STM yang khusus mendidik keterampilan teknik praktis lapangan, saya tidak tahu apakah sekarang masih ada juga sekolah pendidikan guru. Untuk pendidikan tinggi, ada program D1, D2, D3, D4 yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik.

Jerman Dalam Pandangan Saya (2)

Tutor ini tentu tidak siap dengan tugas mendadak ini. Diktat kami saja belum dibacanya, dan ketika praktikum dia bukanlah tutor yang khusus mengawasi bidang praktikum yang sedang kami lakukan. Maka ketika dihadapkan pada masalah kalibrasi pengukuran, saya berdebat dengan tutor kami ini. Saya merasa ada yang aneh dengan cara dia melakukan kalibrasi. Bila mengikut caranya, maka sangatlah tidak praktis dan rasanya tidak mungkin alat peraga praktikum ini didesain untuk menyulitkan sang pengguna. Saya bersikeras dengan pendapat kalibrasi saya. Ketika sang koordinator praktikum ini kembali dan mendapati saya masih bertanya pada sang tutor walaupun praktikum sudah selesai untuk hari itu, maka sang koordinator praktikum ini hanya tersenyum berkata pada tutor tersebut, "He doesn’t trust you?“

Jerman Dalam Pandangan Saya (1)

Saya sendiri tidak tahu darimana kebiasaan bangsa saya untuk begitu mudah membungkuk ketika bertemu orang lain yang dianggap lebih terhormat dari mereka. Rasanya Islam tidaklah mengajarkan hal ini. Sampai sekarang kesimpulan saya sementara untuk ini adalah karena dahulu kita begitu lama dijajah. Penjajahan yang lama ini telah mengikis nilai-nilai asli yang sebenarnya dimiliki bangsa ini yang dari dulu sebenarnya adalah bangsa pejuang. Bagaimana tidak, ketika dijajah, jangankan mendongakkan kepala, menjawab kata-kata penjajah saja rasanya bisa membuat rakyat kita yang dijajah tidak bisa lagi menggerakkan kepala untuk mendongak. Sebenarnya membungkuk adalah sikap yang ragu-ragu.