Untold History of Pangeran Diponegoro (15)

Bab 8

Kantor Residen Surakarta, 19 Juli 1825

DENGAN WAJAH YANG SANGAT SERIUS, Residen Surakarta Mac Gillavry terlihat marah-marah sendiri di kantornya. Sekretarisnya hanya berdiam diri mendengar atasannya mengomel tak menentu. Sebabnya, tak lain dan tak bukan, karena surat peringatan akan bahaya Diponegoro yang ditulisnya-yang ditujukan bagi Residen Yogyakarta Smissaert-mendapat tanggapan yang dingin. Bahkan Smissaert menganggap Mac Gillavry terlalu berlebihan dan sedikit paranoid menghadapi Pangeran Diponegoro dan pasukannya.

“Keparat Residen Yogyakarta itu! Sudah saya bantu tapi dia tidak perduli! Dasar orang tak tahu berterimakasih! Kalau Yogya kacau, kita juga yang nanti kena getahnya. Maunya apa Smissaert itu! Pesta dan pesta! Perempuan dan whisky melulu! Dia terlalu menyepelekan Diponegoro…”

“Anthonie!” jerit Gillavry. Suaranya mengguntur menyakitkan gendang telinga.

Sekretaris Residen Surakarta yang sedari tadi berdiri di dekat pintu yang tertutup dengan agak takut menjawab, “Ya, Tuan.”

“Saya akan menulis surat lagi yang isinya lebih kurang sama. Tapi kali ini langsung ditujukan untuk Chevallier!”

“Asisten Sekretaris Residen Yogya itu, Tuan?”

“Ya, siapa lagi jika bukan dia! Cepat kau siapkan kertas dan pena. Saya akan diktekan!”

Anthonie van Huyn segera mengambil alat tulis dan menarik beberapa lembar kertas kosong. “Siap, Tuan.”

Mac Gillavry duduk di atas kursinya yang memiliki sandaran tinggi. Dengan mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil di samping kursi dia mulai mendiktekan suratnya yang kali ini ditujukan langsung bagi bawahan Smissaert. Dia akan potong kompas, sekaligus merendahkan rekannya itu.

 

“Amice,” ujarnya, “… De demang der desa Grojogan (de voornamste van boven bedoelde hoofden) is op last van den Pangeran Dipanegara met 100 man zjin gevolg naar Yogya vertrokken. Eenigen mijner spionnen zijn terug. Zij brengen de tijding, dat het plan bestaat om eerst Patjitan een te vallen en met die bevolking Yogya te vermeesteren. Zorg intusschen maar, dat hij, noch Dipanegara er iets van merken, dat wij hen bespionneeren”

 

Mac Gillavry mengambil nafas. Kemudian dia mulai mendiktekan kembali kelanjutan suratnya:

 

“…Een bijwijf van den demang heeft zich uitgelaten, dat hij naar Yogya was om nadere orders te ontvangen, meldt mij per extra-post wanner hij weer van Yogya vertrekt en laat dan door een knappen vent, slechts in de verte, nagaan of hij ook een anderen koerst neemt. Op de pasars alhier loopt het gerucht, dat er op Yogya prang (Oorlog) zak jineb eb dat het kleine volk reeds al zijn goederen geborgen heeft; dat de Rijksbestierder van Yogya de Merapi heeft beklommen om een gelofte te doen voor dien prang enz., deze merae nugae (loutere beuzeipraat) allen tot Uwe informatie. Vaarwel, H.C. Gillavry…”[1]

“Ya selesai. Coba aku baca dulu.”

Anthoine menyerahkan surat yang barusan ditulisnya. Mac Gillavry melihatnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya kini sudah mulai mengembang.

“Hmm… bagus. Ya, seperti ini. Tulisanmu lama-lama bagus juga, Anthoine…,” ujarnya sambil melirik sekretarisnya itu.

“Terima kasih, Tuan,” jawab Anthoine tersipu-sipu. Selama delapan bulan bekerja dengan Gilavry, baru kali ini dia menerima pujian dari si gendut dengan kumis melintang itu.

“Sekarang tolong kamu kirimkan surat itu langsung kepada Chevallier. Secepatnya!” ujar Gillavry kembali berdiri dan menenggak segelas gula asam lagi, minuman tradisonal kesukaannya.

Anthoine menerima surat itu kembali, melipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop yang kemudian disegel dengan lilin panas yang dicap simbol kerajaan Belanda. Lalu dia bergegas keluar ruangan menemui petugas jaga dan menyuruhnya untuk segera memanggil kurir khusus ke Yogyakarta. Tak lama kemudian, kurir yang dipanggil pun menghadap Anthoine dengan sikap badan yang terbungkuk-bungkuk.

“Serahkan surat ini kepada Residen Yogyakarta Smissaert sekarang juga.”

“Inggih, Tuan,” ujar kurir itu sambil berkali-kali membungkukkan badannya. Dia kemudian bergegas menuju kudanya yang ditambatkan di sayap kanan gedung karesidenan Surakarta. Dengan beberapa kali gebrakan kaki pada badan kuda, dia pun melesat meninggalkan Surakarta melewati jalan utama menuju Vredeburg Castle yang berada di utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. []

] “Sahabatku, atas perintah Diponegoro, Demang Desa Grojogan (yang dituakan di antara para kepala desa yang disebut di atas) berangkat ke Yogyakarta bersama 100 orang anak buahnya. Beberapa mata-mata saya telah kembali. Mereka membawa berita bahwa ada rencana untuk menyerang Pacitan terlebih dahulu, lalu dengan kelompok itu mereka akan menguasai Yogyakarta. Sementara itu, usahakan agar Demang maupun Diponegoro jangan menyadari bahwa kami memata-matai mereka. Selir sang Demang memberitahukan bahwa dia pergi ke Yogya untuk menunggu perintah selanjutnya. Tolong beritahu saya melalui pos kapan dia berangkat dari Yogya dan suruh seseorang mengawasi dari kejauhan apakah Demang juga mengambil arah lain. Di pasar-pasar sudah tersebar kabar bahwa di Yogya akan terjadi perang dan bahwa rakyat kecil telah menyimpan harta benda mereka; pepatih Dalem Yogyakarta telah naik ke Gunung Merapi untuk melakukan kaul bagi perang ini dsb, merae nugae (omong kosong) ini hanya sebagai informasi buat Anda. Sampai jumpa, H. Mac Gillavry.” (Het Legioen van Mangkoe Nagoro, Let Col H.F. Aukes, page 62, 1935, A.C. Nix & Co, Bdg/ ditulis kembali dari Santosa, Irwan; Legiun Mangkunegara 1808-1842; Kompas; hal.144-145; Sept, 2011)