Antara Bekerja atau Tinggal di Rumah?

Ibu, saya seorang isteri dari seorang suami dan 2 anak laki laki yang baru berusia 5 dan 1 tahun. Sejak belum menikah saya sudah bekerja di balikpapan dan kebetulan bertemu dan menikah dengan suami yang bekerja di perusahaan yang sama. Pada saat mengandung anak kedua saya memutuskan berhenti kerja karena sekeluarga akan pindah ke Jakarta. Alasan yang utama karena kondisi jakarta yang keras dan rumah yang jauh dari kantor, sehingga kami khawatir anak jadi terbengkalai, berbeda dengan kehidupan di balikpapan yang sangat santai dan reachable.

Meski kami sudah merencanakan kegiatan dan goal yang harus saya raih pada waktu saya dirumah (lebih banyak kegiatan untuk anak anak), tetapi saya merasa "berbeda" dan kehilangan energi. Setelah hampir 2 tahun berhenti kerja, satu bulan yang lalu saya memutuskan kembali berkerja meskipun dengan sistem kontrak, banyak yang bilang terutama keluarga dan teman dekat, saya kelihatan lebih cerah, powerful dan bahagia, namun pada saat bekerja pikiran saya jadi bercabang kembali, apakah tidak lebih baik sebagai seorang ibu harus lebih mementingkan keluarga dan anak? Tapi disatu pihak sepertinya saya kurang bahagia jika tinggal dirumah. Mohon advice, saya ingin melakukan hal yang benar, t idak mau anak anak terbengkalai tapi bahagia lahir dan batin. Apa yang harus saya lakukan jika perusahaan tempat saya bekerja menawarkan posisi permanen?

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Ibu Fatrianti yang shalihah,

Ibu sedang ingin menentukan pilihan karena ada konflik antara dua kepentingan, apakah Ibu akan tetap bekerja atau tinggal di rumah. Ibu mempunyai suami yang bekerja di perusahaan yang sama, secara ekonomi Ibu tidak menjelaskan motivasi bekerja Ibu adalah disebabkan kemendesakan ekonomi keluarga, bukan? Tetapi semata karena perasaan ’tidak bahagia’ yang Ibu rasakan ketika tinggal di rumah saja. Ibu mengatakan penampilan Ibu bahkan dilihat teman nampak lebih bahagia ketika bekerja di luar. Persepsi dan penerimaan diri seringkali mempengaruhi dan mensugesti aspek emosional seseorang. Mungkin Ibu lebih tersugesti positif pada aspek ‘bekerja’ di luar daripada ‘bekerja’ mendidik anak. Mengapa demikian? Ibu sendiri yang dapat menjawabnya.

Kalau ada konflik, langkah awal adalah melihat tipologi dua pilihan penyebab konflik. Pilihan yang pertama adalah tinggal di rumah merawat anak-anak dan piliha yang kedua adalah bekerja di luar rumah. Tentunya perlu dikaji ulang apa pandangan Islam tentang peran wanita dalam rumah tangga maupun pandangan Islam tentang bekerjanya wanita?Apakah bekerja dipandang sebagai sebagai sebuah trend, semata-mata untuk persamaan hak (emansipasi) atau karena suatu hal yang dibutuhkan untuk keluarga atau dengan kata lain wanita tersebut hendak memenuhi salah satu hajat hidup keluarganya?

Bekerjanya wanita ada yang bahkan dibutuhkan misalnya pada kasus janda yang tidak punya sumber pemasukan ekonomi kecuali harus bekerja sendiri, wanita yang menghidupi keluarganya misalnya ayahnya sudah tua renta, wanita yang mempunyai keahlian untuk kemaslahatan ummat dan tidak mengganggu tugas utamanya sebagai pendidik atau pengatur dalam rumah tangganya.
Ibu yang shalihat,

Melihat Ibu mempunyai dua putra yang masih kecil memang perlu diambil skala prioritas. Jika Ibu mengambil jam kerja full maka putra terkecil yang masih berusia 1 tahun akan kehilangan kesempatan minum ASI secara sempurna. Mengapa Ibu merasa tidak bahagia dengan tugas yang begitu mulia? Apakah Ibu merasa tugas ini begitu membosankan dan tidak bernilai di hadapan Allah? Ingatlah satu hadits berikut:

Asma binti Yazid Al-Anshariyah pernah mendatangi Rasulullah saw dan berkata: ”Aku adalah utusan wanita pada Tuan, sesungguhnya Allah telah mengutus Tuan kepada pria dan wanita seluruhnya. Kami beriman kepada Tuan, kepadaAllah, dan inilah kami, segenap wanita yang dibatasi dan tidak bebas, penjaga rumah pria, yang mengandung anak-anak, sedangkan kalian wahai para pria dilebihkan atas kami wanita dengan (dapat mengerjakan) shalat jum’at dan jama’ah, mengunjungi orang sakit, menghadiri janazah, mengerjakan haji setelah haji (sebelumnya), dan lebih dari semua itu, kaum pria dapat mengerjakan jihad (fi sabilillah). Jika salah seorang di antara kalian (kaum pria) pergi haji dan umrah, kami menjaga hartamu, kami menjahit pakaianmu, kami mengurus anak-anakmu, apakah kami (kaum wanita) dapat ikut serta bersamamu dalam (mendapatkan) pahala?”; maka Rasulullah saw menengok pada para sahabat dan berkata, ” Apakah kalian benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh seorang wanita yang permintaannya lebih baik dari wanita ini? Mereka menjawab, ”Wahai Rasul, kami tidak mengira bahwa wanita dapat diberi petunjuk seperti ini”; maka Rasulullah saw bersabda, ” Ketahuilah wahai wanita dan beritahukan kepadapara wanita di belakangmu bahwa sikap taat/ bakti wanita pada suaminya, usahanya untuk mencari ridlo suaminya, dan bahwa ketaatannya pada perintahnya dapat menyamai pahala semua itu!”.

Masa emas anak adalah pada dua atau empat tahun sampai delapan tahun usia anak; meski tak dapat diabaikan masa sesudah itu. Pada masa dua tahun awal otak anak tengah berkembang dengan pesat dan butuh stimulasi yang cukup; jika ada kelalaian pada usia dini maka akan berakibat gangguan proses perkembangan berikutnya, yang kadang memperbaiki yang sudah terlanjur tak dapat kembali seratus persen seperti semula. Perkembangan emosi, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, kreatifitas, nilai-nilai akan dimulai sejak usia-usia ini. Begitu banyak yang dapat Ibu lakukan sembari mendampingi anak tumbuh, membaca teori-teori perkembangan anak salah satunya. Ibu bisa tukar pengalaman dengan Ibu lain via internet misalnya, sehingga tidak jenuh. Jika anak Ibu sudah besar-besar Ibu dapat mempertimbangkan lagi utnuk bekerja dengan manajemen waktu yang seimbang antara anak, suami dan pekerjaan.

Memang pada masa Rasulullah saw.juga ada wanita yang bekerja, misalnya Zainab binti Jahsy dalam kerajinan menyamak kulit dan hasilnya untuk bersedekah di jalan Allah. Demikian juga Zainab isteri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri bekerja untuk menafkahi suami dan anak-anak yatim. Terlihat bagaimana visi mereka ketika bekerja adalah kemaslahatan pihak lain, bukan sekedar kepentingan pribadi. Setelah pertimbangan dari segala aspek ada baiknya Ibu berdiskusi dengan suami dalam masalah ini agar Ibu dapat mencari keputusan yang terbaik. Nah Ibu, Semoga Allah swt memberi kemudahan dan petunjuk pada ibu dan keluarga dalam urusan ini. Amin..

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Ibu Urba