Bingung Pada Waktu Akad Nikah

Assalamualaikum Ibu Siti,

Saya baru saja melangsungkan akad nikah tapi tidak dihadiri oleh petugas KUA, karena akad nikah dilakukan mendadak karena ibu calon istri meninggal dunia. Kemudian akad nikah dilakukan dengan kehadiran ayah calon istri sebagai wali, paman calon istri sebagai saksi,  mertua dari kakak calon istri saya sebagai wali laki-laki (katakan C) kemudian ada kyai sepuh sebagai penghulu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:

1. Bolehkah akad nikah tersebut dilakukan pada saat akan dimakamkannya ibu calon istri saya ?

2. Ketika akad nikah dilangsungkan, penghulu menanyakan kepada pihak ayah sebagai wali perempuan, apakah mau sendiri atau diwakilkan, kemudian beliau menjawab diwakilkan, kemudian penghulu bersalaman dengan C untuk serah terima perwakilan wali. Kemudian penghulu bersalaman dengan saya dan melakukan ijab kabul. Sahkah akad nikah yang dilakukan tersebut ?

3. Sebenarnya tugas penghulu dalam akad nikah itu seperti apa ? Kemudian apakah boleh wali perempuan mewakilkan perannya kepada penghulu ? Karena saya pernah diberitau kalau wali perempuan mewakilkan perannya kepada penghulu, kemudian penghulu bersalaman dengan pihak laki-laki. Bolehkah itu ?

4. Lalu bagaimanakah status saya saat ini ?

Mohon penjelasannya karena saya masih awam mengenai hal ini. Terima kasih atas perhatiannya.

Wassalamualaikum wr. wb.

AR

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh,
Sdr. AR yang dirahmati Allah,
Mohon maaf sebelumnya, saya ingin sampaikan kepada semuanya jika pertanyaan tentang hukum syariat sebaiknya ditujukan di rubrik ustadz menjawab dan bukan di rubrik konsultasi keluarga karena di sana akan berkomunikasi langsung dengan pakarnya. Oleh karena itu jawaban saya lebih ke permasalahan dan solusi psikososial dari pada kepada masalah hukum syar’inya. Mohon dapat dimaklumi.
Sdr. AR, pernikahan adalah peristiwa yang harus dilakukan dengan penuh kesadaran, niat yang tulus -ikhlas, visi yang jelas dan mestinya juga telah dipersiapkan sebelumnya, karena menyangkut tanggungjawab yang besar setelah menjadi suami atau istri. Saya berharap bahwa dalam kasus Anda yang spesial/ khusus ini, semua yang Anda lakukan sudah mempertimbangkan hal-hal di atas. Yah..saya memahami kadang kita berhadapan dengan kehendak orang-orang tua di sekitar yang sulit dibantah. Sepertinya ada salah satu adat bahwa pernikahan dipercepat bahkan bersamaan dengan upacara pemakaman jenazah dari orangtua mempelai…entah apakah mereka menganggap bahwa restu jenazah sangat diperlukan dalam hal ini? Apakah jenazah yang notabene sudah meninggal kehadirannya akan dapat disamakan dengan ketika masih hidup…? Barangkali nilai sugestifnya lebih menonjol dalam kasus ini, karena mempelai dibersamai secara fisik oleh orangtuanya, meskipun sudah menjadi jenazah. Namun hal ini tak boleh menafikan adanya keikhlasan dari pihak-pihak yang terlibat langsung, yakni calon suami-istri tersebut, apakah pernikahannya ini tidak dilandasi oleh keterpaksaan… Nah Sdr. AR, Andalah yang dapat menjawabnya. Bukankah Anda yang dapat menilai kemantapan Anda sendiri dan juga wanita yang menjadi istri Anda. Lebih lanjut tentang kegundahan Anda apakah sah atau tidaknya pernikahan tersebut silakan dikonsultasikan di rubrik ustadz menjawab ya, agar Anda lebih mantap dalam melangkah.
Sekali lagi, saya berharap Anda dapat bertanggungjawab karena status Anda yang kini telah berubah. Kewajiban untuk memberi nafkah, mendidik keluarga, menjadi nakhoda yang akan mengarahkan biduk rumah tangga ke depan. Semoga Anda dapat bergandengan tangan bersama istri melewati hari-hari perjuangan. Perimbangkan untuk mencatatkan secara resmi pernikahan Anda karena ini menyangkut kemaslahatan ummat islam dan perlindungan terhadap hak-hak wanita yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam.
Sekian apa yang dapat saya sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat. amin.

Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Bu Urba