Cara Yang Baik Untuk Berbicara Dengan Suami

Assalamu’alaikum wr. wb.

Bunda Urba yang di rahmati Allah.

Saya wanita berumur 25 tahun, baru sekitar 3 bulan ini saya menikah. Sebelum nya saya memang pendiam, karena saya merasa mempunyai banyak kekurangan, termasuk karena saya berasal dari keluarga yang broken home.
Semenjak bertemu suami, saya menjadi periang, pada akhir nya kami pun menikah.
Sebelumnya kami sering bercanda & tertawa. Tapi akhir2 ini saya merasa berubah, jarang berbicara dengan suami apalagi bercanda. Bukan karena sudah tidak ada cinta di hati ini. Sungguh saya mencintainya sampai kapan pun. Bunda, saya hanya tak ingin membuat nya marah & tersinggung, karena kadang di tengah kami bercanda dia mengeluarakan kata2 yang tidak enak di dengar, apabila ada kata kata yang tidak di sukai nya saya ucapkan. Bikin sesak dada, bebal, gak seperti yang di bayangin, kayak ga pernah sekolah. Saya merasa sudah kenyang dengan kata kata itu. Memang sebelum menikah ibu mertua menyuruh saya untuk bersabar menghadapi sifat nya yang keras, karena itu saya lebih memilih diam daripada masalah nya nanti akan menjadi panjang.

Saya tahu, mungkin dia bermaksud untuk menasehati saya, tapi apakah tak ada kata kata lain yang lebih enak di dengar untuk menasehati. Karena saya juga hanya manusia biasa, sama seperti nya bisa sesak dada juga.

Bunda, di saat saat seperti ini, dalam hati saya merasa bersalah, berdosa karena membuat nya marah. Tak bisa memberikan support, tak bisa menjadi yang terbaik di sisi nya.

Saya bingung, apa yang harus saya lakukan Bunda ? Saya hanya ingin tak membuat nya marah lagi. Tapi dia juga tidak terima kalau saya bersikap seperti sekarang, lebih banyak diam daripada ngomong.

Bunda, atas nasehat nya saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu

Sdr Anna yang dirahmati Allah swt.,
Saya dapat memahami tentunya di usia pernikahan yg masih dini ini masih banyak hal yang harus diadaptasikan. Anda berada dalam ketidaknyamanan karena terhambatnya komunikasi Anda dan suami. Di sisi lain saya bersyukur bahwa Anda tetap mencintai suami betapapun kondisi yang terjadi antara Anda berdua. Semoga cinta tersebut akan abadi karena dilandasi ketulusan.
Sdr Anna yang dirahmati Allah swt.,
Perbedaan karakter adalah suatu keniscayaan yang sering terjadi dalam perkawinan. Kadang perbedaan yg terjadi dapat menjadi suatu irama merdu nan lengkap ketika dipadukan, meskipun tak jarang dapat membuat air mata sang istri jatuh berderai berhari-hari atau berminggu-minggu seperti hujan di penghujung tahun…wah..perkawinan memang penuh surprise, ya….! Inilah yang sering tak terbayangkan sebelumnya terutama bagi yang tidak pernah ada persiapan atau yang salah persepsi terhadap ma’na hubungan dalam perkawinan. Yang saya maksud adalah bahwa persiapan mental, fisik, ilmu terutama basis keimanan yang kuat adalah hal yang mutlak sebelum sesorang memasuki gerbang pernikahan, antara lain persiapan bahwa pasangannya adalah berasal dari individu dengan kepribadian unik yang dibentuk melalui proses panjang yang membentuk narasi kehidupan khas untuk setiap orang. Proses panjang itu dipahami para ahli sebagai interkasi antara faktor bawaan dan faktor lingkungan. Faktor bawaan adalah hal yang juga dipengaruhi oleh narasi panjang Bundanya ketika hamil maupun pasca kelahiran. Faktor lingkungan antara lain adalah pengaruh faktor pengasuhan orangtua maupun kondisi keluarga maupun lingkungan di luar keluarga dan budaya. Ketika sesorang menikah maka dia akan bertemu dengan pribadi yang berbeda, boleh jadi pribadi ini sangat kontras dengan kepribadiannya, mungkin bahkan berdekatan dalam sifat dan mungkin pula perbedaan yang ada dapat bersifat komplementer.
Sdr Anna yang dirahmati Allah swt.,
Salah persepsi terhadap ma’na hubungan dalam perkawinan adalah ketika perkawinan dipahami sebagai sebuah taman nan indah yang penuh bunga dan kepuasan penghuninya di setiap prosesnya , ini adalah hal yang tidak rasional karena sebenarnya yang realistis ketika seseorang memasuki jenjang rumah tangga adalah suatu perjuangan untuk menyelesaikan masalah. Bukankah nilai pernikahan adalah separoh dari agama itu sendiri? Jadi siapkanlah berbagai kemampuan untuk bertemu dengan yang bernama masalah atau jangan bilang telah siap untuk menikah, Sdrku.
Sdr Anna yang dirahmati Allah swt.,
Saya melihat bahwa masalah yang Anda rasakan karena adanya suatu kesenjangan harapan yang belum tersampaikan pada kedua belah pihak. Anda dan suami mempunyai harapan yang boleh jadi sama, namun masing-masing tertutup dalam persepsi subyektif. Akhirnya terjadilah masing-masing pihak kecewa karena tak mendapatkan harapannya. Apa yang Anda sampaikan, ”saya hanya tak ingin membuat nya marah & tersinggung, karena kadang di tengah kami bercanda dia mengeluarakan kata2 yang tidak enak di dengar”, mencerminkan dua hal, yang pertama adalah ketulusan Anda sebagai istri untuk membahagiakan suami, subhanallah, semoga ini tercacat sebagai pahala. Yang kedua tercermin masih adanya sumbatan komunikasi antara Anda dengan pasangan, kenapa? Mungkin Anda atau suami sama-sama mengharap terpenuhinya harapan tapi belum berusaha memenuhi harapan pasangan. Cobalah memulai langkah awal dengan mengalah, orang bijak mengatakan bahwa mengalah bukan berarti kalah, tapi sebagai strategi untuk menang secara bersama-sama. Sifat suami yang keras adalah peluang pahala bagi Anda dan ini adalah ujian Anda apakah mampu mempraktikkan sikap lembut dan sabar. Sdr Ana, janganlah lari dari masalah, tapi hadapi dengan yakin bahwa dengan saling diam maka problem justru akan berlarut-larut. Dekati suami, mintalah ma’af kalau ada yang salah, dan jangan malas berubah. Jangan surut dalam berikhtiar, inilah waktunya untuk saling menyesuaiakan diri; Insya Allah ini adalah cara Allah swt. membuat kepribadian Anda tumbuh (personal growth) ke arah yang lebih baik. Semoga.

Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Bu Urba