Hidup Terpisah

Saya seorang PNS di sebuah kabupaten di Jawa Barat, umur baru 27 th, sudah menikah dengan soeorang perawat di sebuah RSUD di kabupaten sebelah. memiliki sorang anak perempuan umur baru 18 bulan. Selama ini keluarga hidup secara terpisah di mana saya bekerja di kabupaten A sedangkan isteri dan anak hidup bersama mertua saya berada di kabupaten B yang jaraknya terpisah 50 km (1 jam perjalanan ).

Sebelum menikah saya sudah kredit KPR BTN rumah tipe 36 dengan angsuran Rp389.000/ bln selama 15 tahun dan sekarang sudah tahun yang ke -4. sesudah menikah saya meminjam uang di Bank BRI sebanyak 20 Jt diangsur Rp760.000/bl selama 36 x dan ini angsuran yang ke 17. utang BRI tersebut tadinya untuk uang kuliah saya dan usaha namun ketika isteri melahirkan uang tersebut habis untuk biaya operasi secar. Kuliahpun keluar
Setelah melahirkan saya memberanikan diri untuk meminjam uang kepada saudara orang tua saya sebesar 10 jt untuk sebuah usaha dagang, namun sayang usaha tersebut bangkrut dan uang habis tidak menyisakan untung malah saya masih harus mengangsur 200 ribu/ bl selama 4 tahun ke depan lagi.

Gaji kotor saya 2, 6 Jt/ bl karena terpotong utang BRI, kredit KPR, angsuran pinjaman seluruhnya 1, 34 Juta, maka tiap bulan hanya menerima 1, 2 juta, itu belum termasuk beaya hidup anak. sedangkan isteri yang baru tenaga kontrak di RSU Daerah baru menerima gaji Rp600 ribu/ bulan Meski hanya menerima gaji 600 ribu/ bl tetapi kami bertekad akan mempertahankan pekerjaan isteri saya, atas dasar pemikiran Isteri sudah tedaftar masuk ke database kepegawaian tinggal menunggu janji pemerintah untuk mengangkat habis para pegawai kontrak pemerintah menjadi PNS.

Oleh karena itu yang ingin saya tayakan untuk memperbaiki kondisi keluarga saya, baik dari segi kuangan maupun kehidupan sosial keluarga, apa yang mesti kami lakukan?

1. Isteri keluar dari pekerjaan dan ikut dengan saya dikota A meski dengan beban hidup serta berkurangnya penghasilan? Kapan?

2. saya bisa pindah ke kota B tapi bagaimana dengan rumah yang sudah saya beli atau rumah yang akan ditempati nantinya? Kontrak? Beli lagi, dengan apa?

3. hidup terpisah seperti semula? Sampai kapan? Bagaimana dengan pendidikan anak? Peran suami isteri yang sehat yang bebas dari intervensi mertua?

4. menambah penghasilan dengan usaha apa lagi? Modal tidak punya? Yang saya miliki hanya waktu luang serta hanya sedikit tahu mengenai komputer.

5. Kata mas Safir Senduk utang cicilan mestinya tidak lebih 30% dari penghasilan tapi itu sudah terlambat. Kadang terpikir dibenak kami bagaimana jika kami saat ini mengambil utang lagi di BRI sebesar 70 Jt yang diangsur selama 7 tahun dengan tiap bulan Rp 1, 5 Jt digunakan untuk menutup KPR sekitar 22, 5 Jt, menutup sisa utang BRI 10 Jt, menutup pinjaman 8 jt. jadi nanti gaji tinggal sisa 900 ribu ditambah 600 dari isteri. sedangkan sisa pinjaman 30 Jt bisa modal usaha atau ditabung.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Subhanallah, saya memahami Anda berada dalam suatu konflik antara beberapa kepentingan dan Anda sedang ingin memilih langkah yang paling tepat. Banyak keluarga baru mengalami masalah ini jadi Anda tak sendiri, Pak. Usia Anda maupun usia perkawinan Anda masih dini. Saya melihat ada beberapa point penting yang menjadi pencetus masalah, seperti banyaknya kredit yang bersifat konsumtif sehingga mengganggu stabilitas ekonomi keluarga dan penghasilan tergerogoti dengan signifikan, untuk kasus ini Anda bisa mengkonsultasikan di rubrik konsultasi bisnis.

Saya melihat Anda punya peluang mengoptimalkan potensi Anda yang lain, misalnya di bidang komputer. Masalah lain adalah Anda sudah punya rumah di kota A namun isteri tinggal dengan mertua di kota B, jadi terpisahnya Anda dengan keluarga membuat energi Anda dan pemikiran Anda terpecah.
Di satu sisi, hidup Bapak ini harus disyukuri. Cobalah Bapak lihat apa yang sudah diucapkan Rasulullah saw. Rasulullah menyukai rumah yang luas dan memasukkannya dalam salah satu unsur kebahagian duniawi. Rasulullah saw bersabda;

“Empat hal yang membawa kebahagiaan, yaitu perempuan shalihah, rumah yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang enak.”(HR Ibnu Hibban).
Termasuk doa yang sering diucapkan Rasulullah:

”Ya Allah, ampunilah dosaku, luaskanlah rumahku, berilah barakah dalam rezekiku.” Kemudian beliau ditanya: Mengapa doa itu yang banyak engkau baca, ya Rasulullah?

Maka jawab Nabi: Apa ada sesuatu yang lain yang kamu cintai? (Hadits riwayat Nasai dan Ibnu Sunni)

Bapak, syukur itu mendatangkan nikmat. Memang tampaknya problem yang Bapak utarakan itu banyak ya, tapi yakinilah Pak, semakin banyak bersyukur, semakin banyak bersedekah, semakin banyak beramal shalih, maka kenikmatan itu akan semakin terlihat dan semakin banyak.

Cobalah Bapak perhatikan, Bapak mempunyai gaji tetap, tak semua orang seberuntung Bapak lho, Pak. Bapak juga punya isteri yang insya Allah baik dan shalihah bahkan mampu sedikit bersedekah dengan penghasilannya. Saat ini Bapak juga punya mertua yang mendukung Bapak, lihat saja, mereka tak mengeluh, kan… meski Bapak menitipkan isteri kepadanya? Bapak juga punya rumah, meskipun masih cicilan, padahal berapa banyak saudara kita yang terpaksa tinggal dikolong tol.

Untuk masalah terpisahnya Anda dengan isteri, menurut saya masih bisa dikompromikan karena jarak yang relatif dekat (hanya 50 km atau 1 jam perjalanan). Pikirkan jika Anda bisa pertimbangkan tinggal bersama mertua sementara, namun jangan sampai mengganggu kemandirian Anda. Jika isteri dan mertua menyetujui, maka rumah Anda dapat dikontrakkan sehingga menambah penghasilan keluarga. Alternatif lain, jika isteri ridlo, dia juga dapat tinggal bersama Anda dengan konsekuensi mempertimbangkan kembali pekerjaannya, misalnya mencari pekerjaan di kota Anda, seperti di RS Swasta atau di tempat lain yang tidak terlalu menyita waktu karena anak yang masih kecil. Pertimbangkan fisik isteri kalau tetap bekerja karena harus menempuh perjalanan 1 jam untuk sampai ke kantornya. Pertimbangkan dengan menghitung-hitung maslahat dan madharat masing-masing.

Kalau Bapak merasa mertua intervensi dengan pendidikan anak Bapak, ini bisa dijembatani dengan penyamaan visi dan kepahaman dalam mendidik anak. Yakinilah, mereka pasti bermaksud baik. Jadi tinggal Bapak perbaiki saja komunikasi agar jelas apa keinginan Bapak, apa yang Bapak senangi dan apa yang Bapak tak senangi dan apa tujuan mertua. Sehingga Bapak dan mertua sama-sama ikhlas dan menerima.

Sekali lagi musyawarahlah dengan isteri, timbang manfaat madharatnya, iringi dengan shalat istikharah. Kalau kita mendekat pada-Nya, maka akan kita rasakan ketenangan hati, sehingga ujian seberat apapun bertambah ringan. Selamat berjuang, Pak, perjalanan Anda masih panjang, kembangkan sikap optimis!

Wallahu a’lam bish-shawab

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Bu Urba