Kepercayaan kepada Isteri

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Ibu Siti yang baik…

Saya laki-laki muslim umur 35 tahun dan isteri saya muslim juga dan berjilbab, usianya 37 tahun. Kami menikah sudah 8 tahun dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama perempuan usianya 7 tahun dan anak kedua laki-laki berusia 5 tahun. Kehidupan keluarga kami saat ini baik-baik saja meski kadang timbul sedikit ketegangan saat isteri banyak kegiatan di luar rumah.

Latar belakang masalah: Menurut saya, saya akan jadi suami yang berhasil bila isteri merasa bahwa dia mendapat perhatian lebih, kebebasannya tidak terganggu, merasa lebih aman, merasa lebih bersemangat setelah bersuamikan saya. Untuk mewujudkan harapan saya itu kadang terasa berat karena beberapa hal.

  1. Saya punya pengalaman buruk dengan kesetiaan seorang isteri di mana saat saya berusia 13 tahun, ibu saya tertangkap selingkuh dengan laki-laki lain. Saya memiliki latarbelakang pengertian kesetiaan seorang isteri yang buruk.
  2. Isteri saya punya karakter pribadi yang agak atrktif, dia suka bila mendapat perhatian di depan orang banyak dan saya kira dia suka akan tantangan. Tetapi sejauh ini dia perempuan yang jujur dan patuh dengan perintah suami (meski kadang dia kelihatan terpaksa).
  3. Saya sering dihinggapi rasa cemas dan cemburu bila dia berada di luar rumah sampai malam dan bertingkah terlalu menarik perhatian di depan orang banyak.

Pertanyaan saya Ibu:

  1. Bisakah ibu terangkan perspektif kesetiaan seorang isteri? Karena bila diragukan kesetiannya saya kira kesetiannya malah benar-benar akan hilang. Dan "seorang isteri setia" bagi saya seperti menggambarkan "kehidupan di planet Uranus-asing", mungkin karena latar belakang saya tentang hal itu yang buruk. Tolong Ibu diterangakan.
  2. Adakah dari sisi kebiasaan isteri saya yang mesti diperbaiki? Tolong dijelaskan Ibu.

Demikian permohonan saya, atas pencerahan Ibu saya haturkan terimakasih.

Wassalamu’alikum. Wr. Wb.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Bapak Ikhwanuddin yang dirahmati Allah, Sesungguhnya rasa syukur kita kepada Allah, adalah kebutuhan mutlak yang mesti kita lakukan dalam setiap jenak kehidupan kita. Rasa syukur inilah yang akan mendatangkan nikmat lanjutan yang biasanya selalu lebih besar. Rasa syukur juga akan membuat kita tenang, tentram dan mantap melangkahkan kaki. Dalam khasanah psikologi positif ditemukan manfaat gratefullness/ bersyukur ini sebagai bentuk terapi, seperti halnya juga forgineness/ memaafkan.

Maka Pak, bersyukur karena memiliki keluarga yang sehat lahir batin, anak –anak yang sempurna dan isteri yang shalihah, adalah bagian dari terapi kecemasan, was-was dan trauma masa lalu yang sulit dihilangkan.

Setiap orang memiliki takdirnya sendiri. Dan ini menjadi rukun iman buat kita. Oleh sebab itu, di Islam tidak dikenal adanya hukum karma atau dosa turunan. Masing-masing orang bertanggung jawab atas amal baik dan buruknya sendiri-sendiri. Jadi apa yang sudah dilakukan oleh ibu Anda adalah kesalahan masa lalunya. Anda tak perlu mengait-ngaitkan diri Anda dengannya. Apalagi menghubungkan kesalahan itu dengan isteri Anda. Anda harus berlatih dan menepis trauma itu. Bayangan masa lalu yang terpendam di bawah sadar dan belum diterima sebagai sebuah kenyataan hidup, suatu waktu kembali mengapung dalam alam sadar dan justru mengganggu Anda. Munculkan bayangan itu dan sekarang ubahlah persepsi Anda menjadi positif, bahwa saat itu Ibu sedang khilaf, dan setiap manusia berpeluang khilaf, karena ada nafsu dan syaithan yang selalu menguntit untuk menjerumuskan. Kemudian maafkanlah Ibu Anda, dengan cara menginkhlaskan kejadian itu, dan menyerahkan urusan ini pada AllahYang Maha Pengasih. Terkait dengan pertanyaan Anda:

  1. Imam Ibnu Hazm berkata mengenai kedudukan sikap setia: Sikap setia itu adalah salah satu naluri yang terpuji, pekerti yang mulia dan akhlak yang luhur, baik dalam masalah cinta atau lainnya. Kesetiaan adalah petunjuk terkuat, bukti yang paling jelas, sumber yang baik dan unsur yang mulia”. —-Kesetiaan sebanding dengan pengorbanan. Jika seorang pasangan menunjukkan sikap setia demi pasangannya, maka pasangannya pun diharapkan akan hal yang sama demi dirinya. Ada pertukaran kesetiaan antara mereka berdua, hingga masing-masing fihak dari pasangan tersebut berhasil melewati ujian kesetiaan pasangannya. Akan sangat indah jika suami isteri berlomba berkorban lebih banyak dari pasangannya.

    Anda saat ini jangan terobsesi oleh ketidaksetiaan isteri bapak. Kenapa tidak diubah sebaliknya? Bukankah selama ini dia menunjukkan itikad yang baik sebagai seorang isteri? Keragu-raguan itu juga akan menimbulkan penyakit dalam rumah tangga Bapak.

    Bersabda Rasulullah saw: ”Cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenciNya. Cemburu yang disukai Allah adalah cemburu di dalam keraguan dan cemburu yang dibenci Allah adalah cemburu yang tidak dalam keraguan.”(HR Abu daud)

    Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa di antara simbol kepercayaan dan prasangka baik kepada pasangan ialah membatasi kecemburuan pada hal yang meragukan saja. Adapun jika cemburu itu tidak disertai keraguan (yakni sudah menyangka dengan sungguh-sungguh) maka ini berarti sudah hilang kepercayaan dan sudah dikuasai oleh suuzhan (prasangka buruk). Padahal rasa percaya antara suam-iistri akan menambah kejujuran dan memelihara kesetian terhadap pihak lain.

  2. Kebiasaan isteri dan keinginan bapak akan perubahan sikap isteri, sesungguhnya bukan dua hal yang berbenturan, Pak. Bapak bisa mengkomunikasikan isi hati bapak kepadanya. Bapak pun mestinya menerima dia sepenuh hati dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki agar tak ada yang merasa tertekan satu dengan lainnya. Selama kebiasaannya itu tidak dekat dengan ma’siyat, sesungguhnya akan memperkaya kehidupan bapak. Tetapi tak ada salahnya bapak lebih terbuka dengannya mengungkapkan isi hati bapak.
    Wallahu a’lam bissshawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ibu Urba