Mahabharata, Film Epik yang Tak Apik

mahabrataMuqodimah

Adalah Bharatayudha, perang besar di padang Kurusetra yang merupakan titik klimaks dalam cerita legenda karya Mpu Wiyasa. Diadopsi menjadi kisah pewayangan Jawa, membuat Bharatayudha tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Sudah mendarah daging, seolah tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat pribumi. Lebih masif, para sesepuh Jawa pun mengamininya dengan mengajarkan anak cucunya nilai-nilai filosofis yang kiranya dapat diteladani dari kisah tersebut.

Bagi para siswa bersuku Jawa khususnya, rangkaian adegan hingga perang itu terjadi, telah menjadi bagian kurikulum pendidikan yang dikemas dalam mata pelajaran Bahasa Jawa, atau Bahasa Daerah. Hafalan nama-nama tokoh wayang yang terlibat di dalamnya sudah dimulai sejak anak-anak duduk di bangku kelas satu SD. Jelas, sangat potensial menggeser kisah heroik pahlawan Islam se-level Khalid bin Walid ra dalam pembebasan wilayah Syam.

Bagi pemirsa televisi, ini menjadi rasa penasaran yang tak karuan. Dari hari ke hari, mereka setia menantikan kelanjutannya. Tak pelak, popularitas namanya menanjak seiring naik daunnya film yang menggubah kisahnya. Ya, Mahabharata, film Bollywood ber-genre epos India itu kini tengah menjadi perbincangan. Kerinduan penonton yang pernah menyaksikan versi lama film ini sekitar awal tahun 1990-an, nyatanya sangat terobati ketika film yang sama diproduksi ulang dengan pembaharuan aktor dan aktris pemeran tokoh-tokohnya. Tanpa meninggalkan pakem aslinya, film ini terbukti lebih hidup. Dan tentunya makin banyak penggemar.

Bagaimana tidak? Lewat media sosial dan televisi, para penggemar Mahabharata mulai bermunculan. Bahkan, tak sedikit yang membuat fans club, baik secara global atau bagi mereka yang mengidolakan karakter tertentu (liputan6.com, 19/9).

Mahabharata Show

Mahabharata Show pun digelar akbar. Para pemeran Pandawa dan Kurawa siap bertempur di Jakarta, demikian slogan yang disajikan stasiun televisi sang pemilik hak siar di Indonesia. Yang jelas dari balik layar, si pemilik stasiun televisi yang bersangkutan tengah bersiap meraup keuntungan dalam nominal fantastis. Terlebih, film tersebut telah mengudara setiap hari. Dari Senin hingga ketemu Senin lagi.

ANTV pun mengumumkan harga tiket Mahabharata Show. Ada beberapa kelas yang dijual di situs online. Masing-masing berbeda harga. Sesi pertama, jelas lebih mahal daripada sesi kedua. Karena di sesi pertama, para pemain akan tampil di adegan perang secara live. Sementara di sesi kedua, para pemain hanya akan berbincang dengan santai dan memakai baju santai. ANTV menjadwalkan hadir, diantaranya Shaheer Sheikh (pemeran Arjuna), Vin Rana dkk, juga ada Indra Bekti, Julia Perez, Jessica Iskandar, dan beberapa selebriti lainnya.

Penjualan tiket sudah dimulai sejak 20 September. Harga tiket Sesi I (pukul 18.15 wib, LIVE), kelas Regular Rp. 250.000, sedangkan kelas Festival Rp. 150.000. Harga tiket Sesi II (pukul 22.00 wib, Taping Lebih Dekat Dengan Pemain Mahabharata), kelas Regular Rp. 150.000, sedangkan kelas Festival Rp. 50.000. Karena itulah harga tiket sesi kedua lebih murah daripada sesi yang pertama. Sementara itu, kelas regular artinya peserta mendapat tempat duduk. Kelas festival artinya peserta berdiri (kapanlagi.com, 22/9).

Pusing dengan Rating

Barangkali demikian jika sebuah program minim penonton. Namun nampaknya tidak bagi Mahabharata. Tak hanya laris manis di negeri asalnya, Mahabharata berhasil membius pemirsa Indonesia untuk duduk manis tiap malam pukul 21.00 wib.

Serial ini justru telah menjadi salah satu tayangan pilihan masyarakat Indonesia. Dan memang diakui, mendongkrak rating stasiun televisi ANTV yang menayangkannya. Rating Program Televisi Indonesia dalam akun jejaring sosialnya menayangkan Daily Rating Acara TV pada Jumat (8/8), dimana tayangan serial Mahabharata ANTV menduduki posisi kedua dengan 4.4/20.6 (sebanyak 4.4 dari 20.6 penonton acara tersebut) setelah tayangan sinetron Ganteng-Ganteng Serigala SCTV 5/20.6. Sedangkan serial kolosal India lainnya yang juga tayang di ANTV menempati posisi kelima dengan 3.7/18.1.
Corporate Secretary Intermedia Capital (IMC) ANTV, David Pardede mengakui penayangan serial Mahabharata meningkatkan daya saing stasiun televisi di bawah naungannya tersebut. ”Peningkatannya signifikan, artinya tayangan itu (serial Mahabharata) meningkatkan jumlah penonton. Salah satu andalan kita itu Mahabharata,“ kata David kepada merdeka.com, Kamis (14/8).

David mengaku, sejak penayangan serial India, utamanya Mahabharata, rating pendapatan iklan juga ikut meningkat. Namun, David tidak dapat mengungkapkan angka pasti peningkatan jumlah iklan yang masuk. “Dari sisi iklan jelas ada peningkatan karena rating naik, iklan otomatis naik, tapi saya gak hafal angkanya, itu ada di bagian riset,” imbuh David.

Beberapa stasiun televisi kini mulai membuat dan menayangkan program serupa. Meski demikian, David mengaku hal tersebut tidak membuat stasiun televisi milik Aburizal Bakrie (Ical) ini gentar. David mengklaim bahwa ANTV selalu berusaha mencari inovasi tayangan yang unik dan menjadi pilihan bagi penonton Tanah Air.

David mengaku, selain serial asal tanah Hindustan, ANTV sudah memiliki tayangan lain yang juga sudah menjadi unggulan. “Selain Mahabharata yang menjadi program unggulan kita masih Facebookers dan kartun anak-anak, itu masih menjadi unggulan kita,” jelas David. Diakui, pihaknya masih akan menayangkan beberapa program serupa dan sudah menyiapkan program lain untuk menjadi unggulan (merdeka.com, 16/8).

Mahabharata dkk, Menggerus Aqidah Sejak Dini

Rating dan kepentingan finansial, begitulah sistem demokrasi menjamin kelangsungan hidup ide liberal. Kebebasan telah menjadi komoditi yang mendatangkan uang. Akhirnya, apa pun bisa jadi jalan. Jauh sebelum Mahabharata, ANTV sudah intensif menayangkan film kartun bernafas Hindu. Sebutlah film kartun bertokoh utama Krishna dan Bima yang ditampilkan sebagai sosok anak kecil pembela kebenaran.

Terang sudah, ini memuluskan jalan penggerusan jati diri anak-anak muslim dari aqidah Islamnya. Tayangan visual semacam ini sangat mudah dikonsumsi karena mata adalah alat indera yang mereka gunakan untuk menyaksikannya. Bentuk visual sajian televisi yang diterima oleh panca indera, akan diolah oleh akal hingga menjadi sebuah pemahaman dan perilaku. Mulai dari mata, makin teracuni saja pemikiran mereka dengan hal-hal dari luar Islam. Lebih parahnya, tingkah laku mereka juga ikut tercemar karena menjadikan tokoh-tokoh fiktif dari luar Islam tersebut sebagai panutan, yang biasanya dianggap sebagai standar.

Anak-anak muslim akan lebih kenal kisah dan tokoh bukan muslim dibandingkan tokoh-tokoh muslim seperti Rasulullah saw dan para shahabat. Jika demikian adanya, bagaimana mungkin mereka tergugah dengan kerinduan kepada Rasul saw? Pun kerinduan pada tegaknya Khilafah, jika keyakinan terhadap bisyarah Rasul saw tak menjadi ghoyatul ghoyah (tujuan dari segala tujuan) dalam melanjutkan kehidupan Islam. Firman Allah Swt: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (TQS Al-Ahzab [33]: 21).

Mengkritisi hal ini, tepatlah kiranya konsep hadlarah dan madaniyah yang disajikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhomul Islam. Hadlarah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan, sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadlarah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia.

Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadlarah, seperti patung, termasuk madaniyah yang bersifat khas, sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi/industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini bukan milik umat tertentu, akan tetapi bersifat universal seperti halnya sains dan teknologi/industri.

Dari penjelasan ini, Mahabharata dkk terkategori hadlarah dari luar Islam, karena kental dengan visualisasi ritual dan budaya Hindu. Umat Islam haram mengambilnya, termasuk meniru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Firman Allah Swt berikut ini hendaknya menjadi pengingat: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (TQS Al-Hasyr [59]: 7).

Titik klimaks Mahabharata ternyata bukan Perang Bharatayudha, tapi pada penggerusan aqidah anak-anak muslim. Karena mereka merindukan penayangan filmnya setiap hari. Namun jika ayat-ayat Allah di atas dikesampingkan, jelaslah generasi muslim takkan lagi bangga sebagai kaum muslimin. Padahal, jati diri bangsa Indonesia adalah muslim. Buktinya, negeri ini memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Mahabharata, benarkah film epik yang tak apik? Sudah tak perlu diragukan lagi.

Televisi, Penyaji Kebebasan Berekspresi, Merusak Generasi

Kini, media televisi telah menjadi alat bagi sistem demokrasi untuk menghasilkan keuntungan materi dan menyebarkan ide-ide rusaknya. Maka perlu counter attack oleh Islam. Karena bagaimanapun, peran penting media massa di dalam masyarakat, khususnya Daulah Khilafah, tidak boleh dipandang rendah. Hal ini karena tugas media massa adalah untuk melaksanakan kewajiban menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar, yang juga merupakan tugas dari semua warga negara. Rasulullah SAW bersabda:  “Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalian wajib menyeru pada kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau (kalau hal itu tidak dilakukan) Allah akan menimpakan siksa-Nya atasmu dan jika engkau memohon pada-Nya, maka Dia tidak akan menjawab doamu.”

Lebih lanjut, media dan informasi erat kaitannya dengan perjalanan pembentukan sebuah generasi bangsa. Maka, media informasi selayaknya berperan untuk menggambarkan Islam dengan benar dan membina kepribadian generasi sehingga terdorong untuk hidup dengan cara yang Islami dan menjadikan syariah Islam sebagai tolok ukur dalam segala kegiatan hidupnya.

Faktanya, semua film dalam rangkaian program berjuluk ANTV Kingdom padat makna perusakan aqidah Islam karena memuat hadlarah bukan Islam, melainkan Hindu. Selain Mahabharata, sebutlah The Adventure of Hatim, Jodha Akbar, Ramayana, dan Mahadewa. Atas nama kebebasan berekspresi plus capaian rating dan nominal laba, sistem demokrasi nan segera mati di negeri ini telah menghalalkan semuanya untuk disiarkan. Maka, bukankah ini penyebaran kemaksiatan yang efektif dan efisien?

Televisi sebagai media informasi hendaknya berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, dan ideologi serta aturan-aturan sekuler. Dengan cara itu, generasi bangsa akan menjadi paham tentang mana yang benar dan mana yang salah, serta terhindar dari pemikiran, pemahaman, dan gaya hidup yang tidak Islami. Bila generasi  memiliki pemahaman Islam yang tinggi, maka mudah bagi negara untuk mandiri dengan menyingkirkan nilai-nilai sekularisme dan mengokohkan nilai-nilai Islam yang agung itu di tengah masyarakat.
Informasi yang sehat merupakan perkara penting bagi negara, yaitu untuk menyatukan negeri-negeri Muslim dan mengemban dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Adanya strategi informasi yang spesifik untuk memaparkan Islam dengan pemaparan yang kuat dan membekas akan mampu menggerakkan akal manusia agar mengarahkan pandangannya pada Islam serta mempelajari dan memikirkan muatan-muatan Islam. Hal ini dilakukan dengan dikeluarkannya undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah. Semua dalam rangka membangun masyarakat Islami yang kuat, selalu berpegang teguh dan terikat dengan tali agama Allah Swt, serta menyebarluaskan kebaikan dari dan di dalam masyarakat Islami tersebut.

Tak bisa disangkal, peran media massa cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat. Opini atau keputusan kita selaku warga negara atau sekedar penyimak media berkorelasi dengan pola kita mengkonsumsi media. Maka sungguh, televisi memang potensial menjadi salah satu sarana propaganda, bahkan dijamin mampu mencuci otak dan menipu pola pikir.

Dalam Islam, televisi sebagai sebuah alat dan juga media informasi, merupakan hasil perkembangan teknologi, sehingga termasuk ke dalam madaniyah umum. Sejatinya, televisi boleh (mubah) digunakan seluas-luasnya oleh manusia, siapapun dia. Aktivitas menonton televisi juga mubah selama tayangannya tidak memuat hadlarah selain Islam. Ini sebagaimana kaidah syara’ terkait dengan hukum benda dan hukum perbuatan. Bahwa “Setiap benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya”, dan “Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara” (Kitab Ushul Fiqih).

Sebagai sesuatu yang bersifat mubah (boleh), jika tidak menonton televisi sejatinya tidak menyebabkan dosa sebagaimana meninggalkan sholat fardhu ataupun aktivitas dakwah. Definisi mubah adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat pilihan, antara melakukan atau meninggalkannya (Kitab Nizhomul Islam). Namun dengan status tayangan ANTV Kingdom sebagai hadlarah yang bukan berasal dari Islam, jangan ragu untuk meninggalkannya.

Khatimah

Penggunaan televisi sebagai salah satu jenis madaniyah, hendaknya berperan menampilkan kemampuan dan kekuatan Islam dalam mewujudkan rahmatan lil alamin, bukan menampilkan akses yang diharamkan. Mengingat media televisi saat ini masih menjadi bagian produk andalan media massa kapitalistik-sekuler yang berstandar kebahagiaan duniawi yang semu. Walhasil, berdasarkan uraian di atas, sah-sah saja menonton televisi. Akan tetapi, harus proporsional, tidak kebablasan, dan sesuai aturan Islam. Wallaahu a’lam bish showab []

BIODATA PENULIS:
Nama : Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si