Persiapan Psikologis Ibu dan Anak Tentang Pendidikan di Pesantren

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya adalah seorang ibu pekerja dengan 3 anak, di mana anak pertama saya sekarang baru berusia 5 tahun, dengan banyak pertimbangan dan harapan kami [saya dan suami} merencanakan akan memasukkan anak saya ke pesantren Tahfidzul Qur’an yang ada di Kudus yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal kami, akan tetapi sebagai seorang ibu ada sedikit kekhawatiran untuk bisa melepas anak yang masih kecil apalagi lokasinya jauh dari tempat tinggal.

Dan apabila anak saya tersebut ditanya apakah siap bila disekolahkan pesantren? Pasti akan menjawab tidak, dan dengan bahasanya yang polos ia mengatakan ‘Aku tidak mau jauh dari Umi" yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Bisakah ibu memberikan informasi tentang pesantren yang saya maksud tersebut.

2. Bagaimana mempersiapkan kondisi psikologis saya, menepis kekhawatiran-kekhawatiran yang ada apabila anak saya dengan izin Allah SWT dapat sekolah di pesantren tersebut.

3. Bagaimana memberikan pemahaman yang "pas"kepada anak saya sesuai dengan daya pikirnya tentang pesantren, agar ia bisa menerima dan mau tanpa paksaan, dan apabila ternyata tetap ia tidak mau lalu kami paksakan apakah baik untuk pendidikan ia ke depannya.

Kami sebagai orangtua pada umumnya ingin menjadikan anak-anak kami anak yang sholeh dan berkwalitas. Trimakasih atas kesediaan ibu Anita menjawab pertanyaan saya yang sedang bimbang ini dan maaf cukup panjang.

Wasssalamu’alaikum Wr. Wb.

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Sebenarnya pesantren tahfizul Quran untuk level SD itu punya konsep dasar yang bagus. Dan memang telah terbukti sejak dahulu bahwa pesantren seperti ini telah menghasilkan lulusan yang mampu menghafal Al-Quran 30 juz di luar kepala. Padahal begitu banyak orang dewasa yang tidak mampu menghafalnya.

Pasti semua orang tua tertarik untuk memasukkan anaknya di sana. Orang tua mana yang tidak bangga bila anaknya sudah hafal Al-Quran luar kepala ketika berusia 12 tahun? Tentunya anda termasuk salah seorang di antaranya, bukan? Keinginan ini tentu tidak tercela.

Tinggal masalah bagaimana memberi motivasi yang ideal kepada anak. Sebab anak-anak masih belum mampu berpikir tentang masa depan. Mereka hanya tahu apa yang sekarang dianggap enak dan menyenangkan. Bahwa dirinya akan menjadi hafidz Quran 6 tahun lagi, barangkali bukan iming-iming yang menarik buat anak-anak. Jadi boleh dibilang, menjadi hafitdz Quran lebih merupakan obsesi orang tua ketimbang anak.

Kesalahan yang sering terjadi adalah ketika obsesi orang tua itu kemudian dipaksakan kepada anak, lewat beragam cara yang mengandung ‘ancaman’. Sehingga anak merasa kalah dan tidak punya pilihan lain. Dan kalau sudah terjadi hal seperti ini, sulit untuk mengharapkan mereka akan berprestasi di pesantrennya. Yang akan muncul hanya satu, bagaimana caranya untuk ‘lari’ dari ‘penjara suci’ itu.

Jadi sekali lagi, perlu diperhatikan lebih mendalam masalah penanaman motivasi yang alami. Sejak masih kecil seharusnya sudah ditanamkan cita-cita untuk menjadi seorang hafidz quran. Buktikan bahwa para penghafal Al-Quran itu adalah sosok yang disukai, dicintai dan didambakan oleh anak-anak. Dan tentunya menjadi dambaan anak anda juga. Bukan sekedar jadi dokter, pilot atau insinyur, seperti umumnya cita-cita anak SD.

Umumnya anak-anak punya tokoh pujaan seperti Superman, Batman, Power Ranger dan seterusnya. Dan jangan kaget kalau mereka bilang ingin jadi Batman dan Superman. Karena buat mereka, tokoh fiktif itu begitu hebat. Sementara, tokoh penghafal quran? Boleh jadi belum pernah mereka dengar sebelumnya. Lalu bagaimana tiba-tiba mereka ‘dipaksa’ untuk menjadi tokoh yang belum pernah dikenalnya? Hal ini tentu akan membuat anak mengalami kehilangan motivasi.

Mereka akan mengerjakan semua perintah, bukan karena mereka suka, melainkan karena terpaksa, tidak ada pilihan lain dan seterusnya. Sejak awal, pastikan bahwa anda menghindari kesan bahwa anak itu merasa diasingkan dan diusir dari rumah. Jangan sampai anak merasa bahwa orang tuanya telah tidak sayang lagi kepadanya. Kondisi seperti inilah yang harus dihindari oleh kita sebagai orang tua.

Kalau ternyata anda tetap bersikeras untuk memasukkan anak di pesantren, yang otomatis hubungan komunikasi antara orang tua dan anak akan terputus, upayakan anda bisa mendapatkan sosok pengganti diri anda bagi anak anda di lingkungan pesantren itu. Entah kakak kelas seniornya, atau pun para pengasuh pondok. Sebab bagi seorang anak seusia SD, keberadaan sosok yang bisa menjadi orang tua yang mengayomi dan memenuhi kebutuhan emosional sang anak.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Rr. Anita Widayanti, SPsi