Benci Kepada Orang Tua Kandung dan Orang Tua Angkat

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Saya pria, berumur 33 tahun, single, masalahnya saya memiliki rasa benci atau dendam pada ibu kandung dan alm. ayah kandung saya, dan juga saya tidak memiliki rasa sayang kepada bapak/ibu angkat saya (mereka adalah om dan tante saya).

Ceritanya begini, sejak umur 7 tahun, kelas 3 SD, saya dipelihara oleh om dan tante saya di Jakarta, orang tua saya di luar pulau di Indonesia Timur. Yang saya ingat saya akan disekolahkan, orang tua saya miskin dan banyak anak, mereka tinggal di desa.
Saya panggil om&tante saya dengan sebutan mama dan papa.

Sampai dgn tamat SD kehidupan saya mulus dan menyenangkan, saya di sekolah selalu berprestasi, selalu rangking 3 besar. Ketika SMP, muncul hal hal yang tidak menyenangkan hati saya. Saya mulai bisa membaca papa adalah orang yang keras, dan otoriter, salah sedikit saya dimaki-maki, cacian kebun binatang, bodoh/tolol, hal yang biasa buat saya, saya mulai diwajibkan untuk melakukan pekerjaan rumah, menyapu, dll, mencuci pakaian sendiri, hati saya sebenarnya tidak terima, karena saya liat anak kandungnya tidak melakukan hal-hal tersebut, di rumah juga banyak pembantu. Hari-hari libur saya hanya diam di rumah, teman-teman saya ngajak bermain, tapi saya tidak punya uang jajan untuk transport, jadi saya selalu memilih diam di rumah.

Papa juga pelit, saya ingat saya pernah minta sepatu baru, karena bagian depan sepatu saya sudah menganga setengah, dan saya sudah ditegur guru di sekolah, tapi dia bilang sebaiknya sepatu saya disol supaya irit, akhirnya saya sol sendiri dengan uang jajan saya, saya terima perlakuan ini karena saya memang orang desa yang cuma dititipkan untuk disekolahkan. Papa saya orang berada dan salah satu pejabat negara, anak-anak kandungnya masing-masing dibelikan mobil untuk kuliah atau sekolah.

Saya suka iri ngeliat orang lain kalo ulang tahun di selamatin, atau dapat hadiah dari orang tuanya, sedangkan saya ,…tidak ada seorang pun orang tua saya yang tahu ulang tahun saya, apa kah itu orang tua angkat ataupun orangtua kandung., tak ada seorangpun yang memberi selamat,

Kelas 3 SD sampai dengan kelas 5 SD, saya tinggal bersama anak-anak kandungnya di Jakarta, Papa dinas diluar kota, mungkin sekitar 2-3 bulan sekali dia balik ke Jakarta.
Kelas 6 SD, dia sudah kembali berdinas di Jakarta, waktu saya SMP kelas 3 s/d SMA kelas 3, saya ditiipkan dan tinggal bersama sepupu saya yang paling tua, sebetulnya saya kecewa kenapa saya tidak ikut papa-mama, saya musti tinggal bersama kakak sepupu saya dan istrinya yang saya tidak kenal.

Waktu SMA kelas 2, saya melakukan kenakalan, salah pergaulan, hingga saya kena narkoba, dan ketahuan oleh mereka, saya mendapatkan pukulan dari papa saya, saya menerimanya karena kesalahan saya.. Sejak itu dia tidak pernah sepatah katapun mengajak saya bicara. Kalo saya sapa dia, dia juga tidak pernah menoleh, saya sadar mungkin karena kesalahan saya kena narkoba, tapi seharusnya saya rasa tidak perlu sekeras begitu.

Saya ingat, setelah tamat SMA, dengan nilai yang biasa-biasa aja, saya beberapa kali tes di universitas swasta ternama, lalu mama saya memberitahu saya bahwa papa kamu tidak akan membiayai kamu di universitas swasta, kecuali, kalo kamu masuk negeri, kalo tidak masuk negeri kamu akan dipulangkan ke kampung. Saya merasa sakit mendengar ucapan ini, kenapa? Padahal dia sedang dalam puncak kejayaannnya, anak-anaknya disekolahkan ke luar negeri.

Untungnya saya diterima di universitas negeri di luar kota.. Kuliah keluar kota, saya hanya balik sebulan sekali kalo minta uang jajan.

Kuliah diluar kota, saya malah mengalami kemunduran, saya salah bergaul lagi, tapi kali ini bukan narkoba,… saya bergaul dengan anak orang kaya, dan anak-anak yang senang main, akibatnya saya tidak pernah belajar, nilai saya pas-pasan, lulus kuliah IPK hanya 2.7.

Setelah wisuda saya disuruh pulang kampung sebentar untuk menjenguk orang tua kandung saya. Untuk pertama kalinya setelah 15 tahun saya menjenguk ibu-bapak kandung saya, sebelumnya waktu SD kelas V, bapak saya pernah ke Jakarta, Cuma sekali itu saja, pernah juga saya sekali menerima surat dari ibu saya agar saya rajin belajar. Praktis saya tidak pernah komunikasi dengan mereka.

Pertemuan dengan orang tua kandung saya sangat hambar, saya sama sekali tidak memiliki rasa, kalo mereka itu orang tua kandung saya, bahkan sepertinya mereka orang lain, tidak ada rasa kalo kalo mereka itu sedarah dengan saya, dan saya berasal dari mereka.

Saya menanyakan ke mereka kenapa saya diperlihara oleh Om saya. Bapak saya bilang, dulu kamu di ajak oleh mereka ke Jakarta dan kamu mau. Ibu saya bilang, kami tidak bisa meyekolahkan kamu nak, kami miskin, dan ibu saya bilang untuk membeli sepatu adik saya, dia tidak mampu, dia cerita dia membeli sepatu murah untuk adik saya, dan baru 2 bulan sepatunya robek, adik saya malu pergi sekolah karena sepatunya robek, saya langsung teringat waktu SMP saya beberapa kali menjahit sepatu saya sendiri, karena sepatu saya robek dan saya tidak mengeluh (dalam hati saya tersenyum pahit).

Jawaban mereka membuat hati saya sakit, saya tidak puas dengan jawaban mereka. Gara-gara mereka ingin saya sekolah tinggi, saya menempuh jalan hidup yang aneh-aneh, mendapat kekerasan, caci maki, dan saya menjalani hidup yang menyimpang.

Saya anak ke 2 dari 6 bersaudara, waktu itu umur bapak saya sudah 70an tahun, ibu saya 45an, ibu saya adalah istri kedua, Isteri pertama bapak saya, punya anak 6 atau 7 orang, saya tidak kenal dengan mereka.

Dalam hati saya sebenernnya ingin bertanya, kenapa saya tidak tinggal di kampung saja, dan kalo om saya yang membiayai saya, kenapa mereka tidak mengirimkan uang saja ke kampung, kenapa saya musti tingal dengan om saya.Tapi saya tidak menanyakan, takut mereka sakit hati.

Saya juga melihat beberapa temen saya yang miskin, orangtuanya dengan susah payah berjuang mati-matian untuk menyekolahkan anaknya, bahkan dulu ibu temen saya bilang, ada saudaranya yang ingin mengambil dan menyekolahkan anaknya tapi, si ibu tidak mau, karena dia tidak ingin berpisah dari anaknya, semiskin apapun dia ingin selalu bersama anaknya.

Saya lihat keluarga kandung saya tidak miskin-miskin amat, kakak saya pernah kuliah, dibiayai ayah kandung saya, seharusnya saya juga bisa kuliah, andaikan orang tua saya tidak mampu, saya bisa lewat jalur beasisiswa, saya punya intelegensi, dulu waktu smp-sma, nilai matematika dan bhs inggris saya, di rapor hampir selalu dapat 9, saya yakin punya intelegensi, sayangnya waktu kuliah saya sia-siakan.

Paling hanya seminggu di kampung saya kembali ke Jakarta dgn hati yang hampa dan kecewa.Setelah lulus kuliah saya susah mendapat pekerjaan, akhirnya saya ikut kerja dengan abang angkat saya, anak kandung papa saya yang paling kecil, saya selisih 7 tahun dengan dia, rupanya dia mewarisi sifat keras papa saya, kesalahan-kesalahan kecil yang saya lakukan, selalu dimaki-maki, setiap hari saya dimarahi, dan dimaki-maki, apalagi kalo melakukan kesalahan besar. Saya kembali merasakan kekerasan yang mungkin terakhir saya dapatkan waktu saya SMP-SMA.

1 tahun kemudian, tahun 2001, ayah saya meninggal, saya pulang kampung sebentar,
saya melihat kuburannya seperti saya melihat kuburan orang lain yang biasa saya liat di pekuburan karet, saya tidak punya rasa bahwa yang ada di bawah sana adalah orang tua kandung saya, saya sama sekali tidak sedih, saya sama sekali tidak merasa kehilangan.

Saya ingat ucapan ibu saya waktu itu, “kirim-kirim uangmu ke kampung nak, supaya adik mu bisa sekolah”, dalam hati ini, ”kenapa yah ibu saya selalu membicarakan materi melulu kepada saya.”

Sudah hampir 10 tahun, saya bekerja dengan abang saya, sekian lama saya bertahan dengan dia, meskipun saya sakit hati, karena dulu Papa saya menjanjikan akan memberi modal untuk usaha, dan saya kerja dengan abang saya untuk mendapat pengalaman, tapi terakhir ucapannya berubah, dia bilang saya tidak punya bakat untuk jadi pengusaha, dan juga perekonomiannya kurang baik, padahal saya tahu tabungannya masih milyar-an, dia tidak bisa memberi saya modal untuk usaha, dia malah menyarankan saya untuk bekerja di tempat lain untuk mengembangkan diri. Coba dia bilang dari dulu, saya akan mencoba untuk cari kerja di tempat lain dari dulu, bukan di saat usia saya yang mulai tua.

Terkakhir dia secara halus mengusir saya untuk tidak tinggal di rumahnya, dia menyuruh saya untuk kos, agar saya mandiri, Sekarang ini di Jakarta saya nge-kos tinggal seorang diri.

Sekarang sudah hampir setahun saya mencoba untuk mencari kerja di tempat lain, tapi munkin belum rezekinya, dan Tuhan belum memberikan kesempatan.

Saya menjalani kehidupan yang menyimpang, sejak mulai puber, saya merasa mempunyai hasrat yang menyimpang, saya hanya tertarik dengan sesama jenis, waktu itu saya rasakan dimulai kelas 1 SMP.

Saya tidak tahu apa karena saya tidak dekat dengan figure ayah, saya merasakan saya begitu membutuhkan pria, dan saya selalu memikirkan ini, setiap hari, hingga saya tidak memikirkan pelajaran di sekolah.Ini terus berlanjut dari SMP, SMA, Kuliah. Maaf yah bu, setiap hari saya berfantasi seksual dengan laki laki, dan anehnya saya tertarik dengan lelaki yang mempunyai karakter fisik seperti papa angkat saya.Setelah selesai kuliah, dan kembali ke Jakarta, saya terjerumus masuk ke pergaulan sejenis.

Saya jadi petualang seks, berganti-ganti pria adalah hobi saya, saya mencari pria yang dapat menjadi pasangan hidup saya, cuman saya tidak pernah cocok, dan saya selalu mencari pria untuk kepuasan, keluar masuk hotel adalah hobi saya, sehingga banyak hutang kartu kredit yang menunggak, semata mata demi memuaskan nafsu sesat saya.

Waktu saya umur 28 atau 29, saya merasa Allah mengucurkan setetes air hidayah pada saya, saya merasa gerah dan bosan dengan kehidupan menyimpang saya, hati kecil saya dari dulu sebenarnya merasa salah, tapi nafsu saya tidak bisa dilawan.

Mungkin juga karena beberapa kali sakit hati, saya merasa kotor dan hampa, selama ini saya tidak pernah puasa, shalat apalagi zakat, shalat jumat saja hampir tidak pernah.
Suatu ketika saya melihat Al-Quran dan buku Asmaul Husna yang dijual di pinggi jalaan, Sepertinya Tuhan menggerakkan hati saya untuk membelinya. Saya pelajari Quran itu, saya pelajari seluruh arti bacannya, saya tidak membaca arabnya, setelah 2–3 kali khatam membaca arti seluruh ayat-ayat Al-Quran, saya niatkan dalam hati saya untuk tobat dan berhenti dari sesama jenis. Saya sadar sepenuhnya ini salah, dan hampir seluruh hidup, saya lewati untuk penghambaan kepada syetan.

Sekarang umur saya 33 tahun, sendiri, dan bahkan hidup sendiri, sebatang kara, saya tidak mempermasalahkan hidup saya yang sendiri, bahkan hingga akhir hidup saya sendiri, tidak masalah untuk saya, dan saya tidak mengeluh, masa lalu hidup saya mengajarkan untuk bertahan hidup seorang diri.

1. Sekarang ini yang saya permasalahkan, saya masih memiliki rasa benci kepada orang tua kandung saya, beberapa tahun lalu waktu saya pulang kampung, saya tetap melihat ibu saya seperti melihat orang lain, saya mencium tangannya dengan perasaan terpaksa, ketika dia mencium pipi saya, saya merasa geli dan jijik (maaf), saya merasa dicium oleh orang yang bukan muhrim saya, dan sepertinya harus saya hindari.

Saya merasa seperti korban keegoisan mereka, mereka ingin saya menjadi orang kaya, supaya dapat mengangkat derajat perekonomian keluarga kandung saya, saya merasa mereka tidak menyayangi saya dengan sepenuh hati. Seorang ibu yang memperjuangkan nyawa untuk kelahiran anaknya, seharusnya tidak membiarkan anaknya dipelihara orang lain, dan dia selalu berbicara tentang “materi” kepada saya.

Selama ini saya tidak pernah komunikasi kepada ibu, paling saya tiap lebaran kirim SMS saat lebaran melalui hp kakak kandung saya. Itu juga sepertinya terpaksa saya lakukan demi kewajiban saya sebagai seorang anak.

2. Terhadap orang tua angkat saya, saya juga tidak memiliki perasaan apa-apa, sekarang mereka sudah berumur 63-64 tahun, beberapkali mama papa saya masuk rumah sakit, menjalani operasi, saya sama sekali tidak merasakan kesedihan, Saya lihat anak kandung laki-lakinya meneteskan air mata. Bahkan yang bukan keluarga kandung pun meneteskan airmata, dan juga yang keluarga jauh, sedangkan saya tidak menangis. Sepertinya saya sudah mati rasa karena masa lalu saya. Bahkan kalau mereka meninggal, saya mungkin tidak akan merasa sedih. Dalam hati saya mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena menyekolahkan saya sampai sarjana. Rasa sayang saya kepada mereka semata-mata karena mereka telah menyekolahkan dan memberi makan saya. Andaikan dulu mereka tidak menyuruh saya untuk memanggil mereka papa mama, andaikan saya panggil mereka om tante, mungkin perasaan hati saya lain, sepertinya dulu saya sedikit berharap diperlakukan sedikit sama dengan anak kandungnya.

Setiap shalat, saya selalu mendoakan mereka, semua orang tua saya, tapi kenapa rasa benci ini selalu ada, apakah saya durhaka kepada mereka karena saya memiliki rasa benci ini, saya tidak tahu bagaimana cara menghilangkan rasa benci ini.

Kadang hati ini selalu sedih kalau melihat ada ibu dekat pada anaknya, bapak dekat pada anaknya, apalagi kalo melihat bayi yang digendong ibunya, sepertinya saya tidak pernah merasakan kasih sayang seperti itu. Saya heran melihat orang-orang begitu senang kalau ada seorang ibu yang baru melahirkan anaknya. Saya tidak tahu bagaimana menghilangkan rasa sedih ini. Dulu saya suka menangis, sekarang tidak bisa, rasanya air mata ini tidak bisa keluar lagi, kadang saya merasa saya menjadi antipati, anti sosial, dengar kabar orang meninggal buat saya adalah bukan suatu hal untuk ditangisi, mendengar kabar istri staf di kantor melahirkan, buat saya bukan suat hal yang membuat gembira atau tidak patut diberi selamat. Apakah saya sudah gila atau menjadi psikopat, semoga saya masih waras.

Demikian Bu, tulisan saya yang panjang ini, mohon saya dapat dibantu, mohon maaf jika kata-kata saya vulgar dan kasar, terima kasih.

Wassalam.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu

Sdr Arief yang dimuliakan Allah, Ibu bisa mengerti beratnya masalah yang anda rasakan. Tetapi sadarilah, masalah anda itu akan meningkatkan derajat keimanan anda bila anda ikhlas dan sabar menerimanya, lalu berusaha mencari solusinya dengan kacamata keimanan yang akan mendatangkan keimanan dan keridaan-Nya.

Sdr Arief, Allah memiliki sifat Ar Rahman Ar Rahim, Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Sifat Allah itu menunjukkan bahwa Allah selalu memberi nikmat yang tak berhingga kepada hamba-Nya. Bahkan nikmat-Nya pun sampai tak dapat dihitung saking banyaknya.

Renungkan salah satu ayat berikut:

“dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14] : 34)

Bahkan di lain ayat, Allah sudah menegaskan betapa banyaknya manusia yang mendustakan nikmat Allah. Di surat Ar-Rahman, Allah sampai mengulangnya berulang-ulang kali :

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman)

Nikmat itu, karena seringnya kita terima, kita menjadi lupa dan tidak mensyukurinya. Cobalah anda hitung, berapa nikmat yang telah anda terima beberapa menit yang lalu. Anda diberi tubuh yang lengkap, sementara ada orang lain yang mesti kehilangan anggota badannya karena berbagai sebab. Sampai saat ini, anda masih diberi alat pernafasan yang baik, udara yang tidak sekotor mereka yang terkena debu merapi. Anda juga masih bisa bernaung, meski di rumah kos, dengan nyaman. Bandingkanlah dengan saudara-saudara kita yang mesti mengungsi karena tak punya rumah lagi.

Bahkan termasuk pula mengingkari dan membuat kita protes kepada Allah karena kehendak dan keinginan kita tidak sama seperti yang dikehendaki Allah. Kita juga merasa nikmat yang diterima lebih sedikit dibanding nikmat yang diterima hamba lainnya dan semakin banyak membanding-bandingkan itu membuat kita makin jauh dari rasa syukur

Dari Abu Yahya, yaitu Shuhaib bin Sinan r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda, "Amat mengherankan sekali keadaan orang mu’min itu, sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seseorangpun melainkan hanya untuk orang mu’min itu belaka, yaitu apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, iapun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikanbaginya,sedang apabila ia ditimpa oleh kesukaran -yakni yang merupakan bencana– iapun bersabar dan hal inipun adalah merupakan kebaikan baginya." (HR. Muslim)

Saudara Arief, hadis ini menunjukkan bahwa untuk orang beriman, hanya ada dua alternatif, syukur dan sabar. Terapi melalui sabar dan syukur akan menghilangkan rasa sakit hati yang anda alami yang merupakan ulah syaithan yang selalu menggoda. Jika seseorang berkurang rasa syukurnya, ia akan mencaci dirinya sendiri, lalu menyalahkan orang lain yang dianggapnya menjadi penyebab tidak turunnya nikmat seperti yang ia kehendaki, ia juga menyesali masa lalunya karena tidak yakin bahwa takdir Allah adalah takdir terbaik. Bila ia mampu menjadi hamba yang bersyukur, maka ia akan berlatih sabar dan menjadi lebih baik disebabkan oleh kesabarannya itu.

Rasa syukur terhadap nikmat akan membuat Allah mendatangkan nikmat yang lain yang jumlahnya tidak terkira. Cobalah anda berlatih untuk bersyukur, tak mengapa anda disuruh bekerja keras, toh itu untuk kebaikan anda sendiri, tak apa pula anda dididik dengan keras, ambil hikmahnya agar anda kuat secara mental dan tak mudah menyerah. Syukurilah bahwa meski anda tertempa dengan keras, anda bisa kuliah tanpa harus mengeluarkan biaya pribadi. Anda tak perlu banting tulang untuk kuliah anda. Betapa banyak orang lain di luar sana yang tak bisa kuliah karena harus bekerja sejak mereka masih kecil.

Sdr Arief, Allah memberi manusia akal fikiran agar ia mampu memilih alternatif terbaik untuk dirinya.Setiap pribadi berhak memilih getaran, suasana hati, perasaan, baik yang positif atau negatif untuk dirinya. Contoh perasaan negatif misalnya : kekecewaan, kesendirian, kekurangan, kemiskinan, kesedihan, kebingungan, dendam, amarah, sakit hati. Ada pula perasaan positif, misalnya : kegembiraan, cinta, kasih sayang, kesenangan, kemakmuran, kekayaan, kebanggaan, keyakinan, kasih sayang.

Suasana hati itu selalu ada selama anda hidup dan sadar. Anda selalu memancarkan getaran tertentu, entah positif atau negatif. Anda sendiri yang sekarang berperan untuk menyejahterakan hidup anda dengan cara memperbanyak getaran positif dan mengurangi getaran negatif. Karena getaran positif akan mengundang getaran positif yang lain, sedang getaran negatif juga akan menghasilkan hal yang sama.

Selama anda masih memandang orang tua anda, baik angkat maupun kandung, dengan pandangan negatif, maka anda sedang menjauhkan diri anda dari rasa syukur dan membuat anda kehilangan peluang untuk mendatangkan nikmat yang lain karena hati anda dipenuhi dendam dan kebencian kepada mereka.

Cobalah anda empati terhadap apa yang mereka rasakan, bayangkanlah bila anda menjadi mereka dan syukurilah bila anda merasa anda akan menjadi lebih baik. Cobalah memaafkan mereka, fokuslah pada kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan kepada anda, lupakan pula kejelekan yang pernah anda terima. Bila anda ikhlas melakukan semua ini karena Allah, insya Allah, anda akan mendapat kemudahan. Gali potensi anda, semakin anda lebih sering bersyukur dan tersenyum, orang-orang baik akan berada bersama anda, sehingga peluang untuk mendapat rezeki pun akan mudah anda terima. Berbagilah, agar anda tahu nikmatnya berbagi, meski itu untuk ibu kandung anda sendiri, tak usahlah berfikir bagaimana ia hanya terfokus pada materi, rasakanlah kebanggaan bila anda dapat memberinya, karena itu akan mengurangi getaran negatif yang anda miliki dan anda akan menjadi lebih baik karenanya.

Perbaikilah hubungan anda dengan ibu kandung anda. Kalau memang anda merasa ia bersalah, maafkanlah kesalahannya. Anda seorang yang terdidik, mestinya anda lebih bisa berempati kepadanya. Penderitaannya ketika melahirkan anda jauh lebih sakit dan tak tergantikan oleh apapun juga. Juga saat dia mengandung, menyusui, menyelimuti dan memberi kehangatan saat anda masih kecil.

Sdr Arif yang dirahmati Allah,

Renungkanlah kisah ini, Sdr Arif… Suatu saat di tengah jamaah haji yang sedang sibuk bertawaf di Masjidil Haram,…. saat sinar matahari bersinar sangat panas, …. kerumunanmanusia yang begitu padat dan orang-orang berdiri di depan Ka’bah sambil berdoa kepada Allah swt. Ada seorang lelaki dari negeri Yaman sedang menggendong ibunya. Keringat mengucur deras dari tubuhnya dan nafasnya terngah-engah…. Dia tawaf sambil menggendong ibunya yang lumpuh. Dia merasa bahwa salah satu kewajibannya adalah membalas segala kebaikannya. Dulu dirinya juga dikandung oleh ibunya kemudian lahir menjadi bayi yang disapihnya.

Pemuda itu teringat bahwa Sang ibu rela begadang agar sang anak dapat tidur nyenyak. Ibunya menahan rasa laparnya agar anaknya bisa makan dengan kenyang.Dia tahan rasa haus dan dahaganya agar anaknya tak kehausan. Pemuda itu, dengan menggendong ibunya sambil bertawaf, dia mengira bahwa dia benar-benar telah membalas segala pengorbanan itu.

Anak laki-laki itu bertemu dengan shahabat Rasulullah SAW yang bernama Ibnu Umar ra. Pada saat Ibnu Umar ra berdiri di makam Ibrahim pemuda itu menyapanya. ”Wahai Ibnu Umar, ini adalah ibuku. Apakah menurut anda aku telah berbakti kepadanya?”Ibnu Umar ra menjawab,”Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, belum…..walau hanya satu penderitaan saja….” Jawab Ibnu Umar, ”Semua usaha, derita dan keletihan yang kamu rasakan, sama sekali tidak sebanding dengan pengorbanan dan rasa sakit yang diderita oleh sang ibu ketika melahirkanmu….”

Nah sdr Arif, tempatkanlah diri anda sebagai wadah yang aman ketika ibu anda ingin berkeluh kesah, dengarkanlah kata-katanya dengan baik dan tak perlu anda sanggah meski menurut anda, anda berada dalam kebenaran, semoga dengan cara ini ibu anda tak perlu selalu mengeluarkan jurus otoriter dalam mendidik anda.

Berlatihlah mengendalikan rasa iri, baik kepada sepupu-sepupu anda atau orang lain di luar anda, karena tidak boleh iri atau hasud kecuali pada dua keadaan yaitu:

Dari Ibnu Mas’ud r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:"Tiada kehasudan (iri) yang dibolehkan melainkan dalam dua macam perkara, yaitu:seseorang yang dikarunia oleh Allah akan harta, kemudian ia mempergunakan gunamenafkahkannya itu untuk apa-apa yang hak -kebenaran- dan seseorang yang dikaruniaioleh Allah akan ilmu pengetahuan, kemudian ia memberikan keputusan dengan ilmunyaitu -antara dua orang atau dua golongan yang berselisih- serta mengajarkannya pula."(HR. Muttafaq ‘alaih)

Dekatkan terus diri anda dengan Allah, agar perilaku maksiat tak menjadi kebiasaan anda. Perbuatan buruk jangan dibalas dengan keburukan yang lain. Carilah ilmu agama, dan lingkungan yang baik, renungkan nasihat para ulama, pahami dan amalkan. Semoga Allah senantiasa membimbing anda, Sdr Arif… salam dan do’a dari saya.

Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Bu Urba