Sejak Menikah, Suami Tidak Menafkahi

Assalamualaikum wr. wb.

Saya berumah tangga sudah hampir 10 tahun. Dari awal pernikahanpun saya tahu suami saya tidak bekerja dan selama ini pun saya selalu menganggap hal itu biasa karena saya selalu berpikir selama saya masih bekerja tidak apa-apa kalau suami saya tidak bekerja. Tapi setelah kami mempunyai putera yang sekarang berusia 7 tahun, penghasilan yang saya dapat kalau untuk putra saya mungkin cukup tapi untuk hal lain terus terang kurang. Hampir semua kebutuhan rumah tangga saya yang handle, hampir setiap bulan saya harus cari tambahan untuk tutupi kebutuhan rumah tangga saya.

Dari tahun ke tahun saya melihat tidak ada sama sekali usaha dari suami saya untuk membuat kami bahagia yaitu dengan bekerja dan menafkahi kami. Setiap hari yang saya lihat suami saya hanya diam, nonton TV, berkebun dan hal lain. Mungkin sekarang ada kesibukan lain antar jemput sekolah. Setiap saya tanyakan masalah ini (kenapa suami saya tidak menafkahi) selalu jadi masalah yang besar dan selalu akhirnya saya yang disalahkan dengan mengatakan kalau saya tidak sabar, kalau saya menyesal menikah dengan suami saya.

Selama ini saya berusaha untuk bersabar dengan keadaan suami saya dan keadaan rumah tangga saya. Yang saya pikirkan sekarang hanyalah apa yang saya lakukan semuanya untuk putra saya tercinta.

Jadi pertanyaan saya, wajarkah jika saya menuntut hak saya untuk minta dinafkahi apalagi sekarang kami sudah punya putra? Apa yang harus saya lakukan dengan keadaan ini, terus-terang kadang sayapun suka merasa tidak sabar dengan keadaan ini. Alhamdulillah masih banyak keluarga yang selalu men-support saya dan teman-teman yang selalu baik kepada saya. Saya sangat menunggu jawabannya. Terima kasih.

Asslammu’alaikum wr. wb.

Ibu MH yang penyabar,

Bertahun-bertahun bersabar atas sikap suami yang tidak berkenan di hati memang melelahkan, ya bu. kekecewaan yang terus berlanjut tanpa perubahan memang bisa menghabiskan kesabaran dan menimbulkan rasa putus asa. Alhamdulillah banyak orang yang mendukung ibu untuk terus memperpanjang kesabaran tersebut. Namun memang kesabaran juga perlu diiringi dengan usaha yang maksimal sehingga menghadirkan perubahan atas hal yang kita inginkan.

Menafkahi keluarga memang menjadi kewajiban suami, oleh karenanya jika suami tidak melakukannya tanpa alasan yang syar’i maka ia berdosa. Ketika ibu sebagai isteri menjadi tulang punggung keluarga selama ini maka itu menjadi amal ibu kepada suami, namun ibu tidak salah jika menuntut suami untuk memberikan nafkah, jika ia mampu, karena selamanya itu adalah hak ibu.

Namun kemampuan seseorang untuk bekerja memang dipengaruhi oleh kepribadiannya, jika ia orang yang mudah putus asa dan memiliki kompetensi terbatas maka bisa jadi sulit baginya mendapatkan pekerjaan tanpa dukungan orang lain. Selama ini mungkin ibu sudah berupaya untuk menyuruh suami untuk mendapatkan pekerjaan, namun nampaknya tak digubrisnya, mungkin perlu usaha lain bagi ibu untuk mendorongnya bekerja.

Mungkin suami ibu membutuhkan hal yang lebih dari sekedar saran untuk bekerja. Coba pahami jalan berpikir suami ibu dengan berdiskusi dengan suami alternatif untuk mendapatkan pemasukan lain untuk keluarga selain bergantung dari gaji ibu. Membicarakan masa depan keluarga dengan cara halus bisa menjadi pendorong yang membuatnya berpikir, selain itu ibu bisa tahu apa yang sebenarnya diinginkan suami dalam bekerja.

Dalam diskusi ibupun dapat memberikan banyak alternatif yang mungkin dapat dilakukan untuk menambah pemasukan keluarga dan suami dapat memilih usaha yang paling sesuai dengannya. Selanjutnya bantuan lainpun dapat diberikan ibu dengan memberikan modal atau sekedar pengetahuan yang bermanfaat dalam bidang yang akan digeluti oleh suami.

Artinya dalam menuntut hak ibu maka jadilah partner yang bukan sekedar menyuruhnya bekerja tapi juga ikut mendampinginya sehingga berhasil. Selebihnya berdoalah kepada Allah agar suami senantiasa mendapat hidayah-Nya untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dalam keluarga. Wallahu’alambishshawab.

Wassalammu’alaikum wr. wb.

Rr. Anita W.