Pilihan Hidup dan Idealisme

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Pak Arief yang baik,

Nama saya Desy. Saya karyawan salah satu perusahaan konsultasi asing di Jakarta. Sebelumnya mohon maaf apabila pertanyaan saya tidak berkaitan dengan memimpin orang, namun lebih berkaitan dengan pilihan hidup dan idealisme.

Sebenarnya, saya cukup nyaman dengan tempat kerja dan posisi saya yang sekarang (perusahaan ini adalah tempat saya bekerja sejak lulus kuliah sekitar 5 tahun yang lalu). Banyak hal yang saya peroleh di sini, mulai dari ilmu, materi, maupun jaringan. Namun, satu hal selalu mengganggu saya: sebaik-baiknya performance saya, saya bekerja untuk kepentingan partner dan profit perusahaan. Padahal, saat kuliah, saya memiliki idealisme yang tinggi untuk mengerjakan sesuatu yang berguna untuk orang banyak, dengan tujuan yang lebih luas. Saat lulus kuliah, saya sempat magang di sebuah LSM, namun kultur kerja yang tidak profesional, dan terlalu banyaknya waktu luang membuat saya mengurungkan hal tersebut sebagai pilihan hidup saya.

Yang ingin saya tanyakan: apa yang harus dilakukan orang–orang seperti saya (eksekutif yang ingin berbuat lebih dari sekedar menghasilkan profit perusahaan)?

Terima kasih banyak Pak.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Mbak Desy yang dimuliakan Allah SWT, alhamdulillah Anda masih punya kegelisahan seperti yang tergambar dalam pertanyaan Anda: kegelisahan untuk berbuat lebih banyak bagi orang lain dan lingkungan. Nabi mengajarkan bahwa yang terbaik di antara manusia adalah yang terbanyak memberikan manfaat bagi orang lain. Kegelisahan itu juga menyangkut inti paradigma pemimpin: people dan contribution.

Ada banyak kisah tentang orang–orang yang tidak puas dengan sekedar mendulang uang dan meniti tangga karir untuk diri dan keluarga mereka. Dalam kesempatan ini saya cuplik tiga di antaranya. Pertama, Nurul Fikri (NF), yang mungkin lebih banyak dikenal publik sebagai salah satu lembaga bimbingan dan konsultasi belajar terbesar di Indonesia. Lembaga ini sebenarnya sudah berkiprah sangat luas di bidang pendidikan dan kesehatan dengan membangun sekolah dari tingkat taman kanak–kanak hingga SMA, pesantren kepemimpinan mahasiswa, hingga klinik, pendidikan nonformal, dan penerbitan. Tahun 80an, tokoh–tokoh yang merintis lembaga ini meluangkan waktu di tengah kesibukan mereka meniti karir di berbagai instansi untuk menjawab kegelisahan mereka: meningkatkan kualitas pendidikan umat. Ketika itu, mendirikan lembaga nonformal berupa lembaga bimbingan dan konsultasi belajar menjadi pilihan karena mereka sadar bahwa mendirikan sekolah formal membutuhkan sumberdaya yang belum mereka miliki. Pilihan tersebut menjadi short cut untuk meningkatkan daya saing siswa–siswi muslim dalam memperebutkan tempat yang terbatas di bangku PTN–PTN terkemuka.

Debut pertama NF diawali dengan menyewa sebuah ruangan dengan langit–langit yang hampir runtuh di sebuah sekolah swasta yang kumuh di Gang Kenari, kawasan Salemba Jakarta Pusat. Muridnya hanya beberapa gelintir, para aktivis Rohis dari beberapa SMA yang direkomendasikan teman–teman mereka. Hari ini NF sudah bermetamorfosis menjadi lembaga swadaya masyarakat yang punya kiprah sangat luas secara nasional.

Kedua, Yayasan Karya Salemba 4, atau KS4. Kiprah lembaga nirlaba ini dalam menyalurkan beasiswa bagi ribuan mahasiswa di berbagai PTN terkemuka di Indonesia sudah tak diragukan lagi. Lagi–lagi ini adalah lembaga besar yang lahir dari kegelisahan: segelintir mahasiswa UI yang gelisah melihat adik–adik kelas mereka banyak yang tak bisa kuliah dengan tenang karena tekanan masalah keuangan. Lalu kegelisahan itu mulai mereka tuangkan dengan menyisihkan sejumlah uang yang awalnya tak seberapa untuk membantu adik–adik kelas yang kurang beruntung itu. Bola salju itu terus bergulir kian besar. Bersamaan dengan meningkatnya karir dan jaringan yang mereka miliki, KS4 pun bertambah besar dan ditata semakin baik. Kalau sebelumnya sumber dana yang disalurkan sebagai beasiswa murni bersumber dari kantong para founders–nya, kini KS4 sudah mampu mengandeng banyak institusi lain yang punya perhatian yang sama untuk bermitra.

Kalau dua cerita sebelumnya menyangkut dua lembaga yang hari ini sudah besar dan dikenal luas, kisah ketiga ini tentang aktifitas yang relatif belum lama dirintis, bahkan belum dianungi oleh institusi formal apapun. Penggagasnya, dua orang alumni Fakultas Ekonomi UI yang kost di tempat yang sama dan juga sama–sama rutin mengaji, menamainya kiprah mereka NefO, alias “Newspaper for Ojek.” Ya, apa yang mereka lakukan adalah merogoh kocek sendiri untuk menyediakan sepuluh koran gratis untuk 8 pangkalan ojek di lingkungan kampus mereka, UI. Mungkin terkesan remeh dan banyak orang melihatnya dengan sebelah mata. Tapi langkah ini juga buah dari kegelisahan: para tukang ojek punya waktu tunggu yang relatif lama di pangkalan mereka dan mengisi waktu dengan hal–hal yang kurang bermanfaat. Dengan sengaja dua sahabat itu memilihkan sebuah surat kabar yang dikenal cukup sarat dengan pesan–pesan Islami, sehingga misi dakwah pun terwadahi dalam aktifitas mereka yang sederhana. Program NefO ini punya target mampu menyuplai koran gratis untuk 100 pangkalah ojek di Depok pada akhir tahun ini.

Mbak Desy, tiga kisah di atas punya satu benang merah: kegelisahan yang dijawab dengan langkah nyata dan konsisten. Langkah kecil di awal tak mengapa, yang penting jelas dan istiqamah. Sekarang tiba saatnya bagi Anda untuk merenung sejenak, merumuskan kegelisahan Anda dan menuangkan ke atas kertas sehingga menjadi lebih konkrit. Lalu, action! Jangan terlampau lama menimbang, mengingat, lalu kembali menimbang, mengingat, dan terus menimbang, mengingat, karena akhirnya kegelisahan itu tidak menjadi apa–apa.

Singkatnya, ajaklah beberapa teman yang seide untuk merintis sebuah lembaga nirlaba. Tentunya jangan tinggalkan karir Anda sekarang. Kerjakan aktivitas baru itu di waktu–waktu luang, namun dengan komitmen dan disiplin. Dengan merintis lembaga sendiri, kesan negatif yang Anda peroleh dari pengalaman dulu tentang LSM yang tidak dikelola dengan profesional bisa dihindari sejak awal. Sementara itu, tetap titilah karir Anda dengan maksimal untuk terus mengakumulasikan ilmu, jaringan, dan materi, yang tentunya akan mengimbas pada penguatan LSM yang Anda rintis. Kelak jika Anda sudah merasa siap, bisa dipertimbangkan untuk mundur dari pekerjaan Anda saat ini dan berkonsentrasi di LSM bentukan Anda. Wallahu’alam.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.