Mengendalikan Emosi

Assalamu’alaikum

Ustad ana mau nanya, bagaimana cara mengendalikan emosi yang sedang memuncak. Selama ini setiap ana ada masalah dengan isteri jika emosi telah memuncak apa yang didekat ana sering menjadi lampiasan. Seperti piring, barang-barang dari plastik bahkan pernah ana membanting kompor gas yang belum dipasang. Oh iya umur ana 34 th sedangkan isteri ana 24 tahun. Isteri cepat tersinggung dan dikit² ngambek, ana dah berusaha untuk mengimanginya tapi pada akhirnya tetep berantem juga. Mohon sarannya.

Jazakallah

Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudaraku Harton Alan yang dirahmati Allah SWT, saya turut prihatin dengan kebiasaan marah Anda yang sudah berlebihan sampai merusak barang-barang di sekitar Anda. Memang marah adalah sesuatu yang manusiawi. Namun melampiaskan marah tanpa manajemen (manajemen marah) tentu bisa merugikan Anda dan orang-orang di sekitar Anda. Banyak kejadian dimana orang marah berakhir dengan penyesalan karena akibat kemarahannya menghancurkan dan menyakiti orang-orang yang dicintainya.
Dalam Islam, sebenarnya Allah SWT sudah mengatur bagaimana sebaiknya kita marah. Marah seharusnya dimibing oleh iman, bukan hanya sekedar melampiaskan emosi belaka. Rasulullah saw sendiri sebagai teladan kita juga pernah marah. Namun kemarahan beliau dibimbing oleh iman, sehingga beliau selalu proporsional dalam marah. Misalnya, beliau pernah marah ketika mengetahui ada seorang sahabat yang mendapatkan gratifikasi ketika memungut pajak. Namun pada prinsipnya, Islam menganjurkan agar kita tidak marah dan menjadi pemaaf. Allah SWT berfirman : “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf” (QS. 42 : 37). Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwasanya seseorang berkata kepada Nabi saw : “ Berilah aku wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah engkau marah. Orang tersebut mengulangi permintaannya hingga beberapa kali, sedang Nabi saw bersabda: Janganlah engkau marah” (HR. Bukhari).
Jadi bukan berarti kita tidak boleh marah. Silakan marah, asalkan proporsional dan dibimbing oleh iman, bukan oleh hawa nafsu. Sebagian ulama mengatakan beberapa kategori yang membolehkan kita marah, yaitu :
– Ketika agama dan simbol-simbol agama dihina atau dilecehkan
– Ketika membela diri karena fitnah
– Ketika harga diri dan kehormatan keluarga diinjak-injak
– Ketika mempertahankan harta benda dari perampokan/pencurian
– Ketika kebenaran diputarbalikkan menjadi kesalahan/kedustaan
Ada pun kemarahan yang tidak berdasar dan di luar kategori di atas, maka sebaiknya kita perlu mengendalikannya dengan cara :
1. Menurut sebuah hadist Nabi, jika kita marah dalam keadaan berdiri, maka untuk meredam kemarahan sebaiknya kita duduk. Kalau marah dalam keadaan duduk, maka untuk meredam kemarahan sebaiknya kita berbaring. Jika tetap marah dalam keadaan berbaring, maka sebaiknya kita segera berwudhu (lalu sholat sunnah).
2. Jangan langsung merespon kemarahan orang lain. Buat jeda sebentar untuk berpikir apakah kita layak balik marah atau tidak. Jika masalahnya sepele, sebaiknya tidak perlu kita marah. Jeda tersebut juga berguna untuk membuat strategi marah kita. Misalnya, sejauh mana tingkat intensitas marah kita, argumentasi atau kata-kata yang akan dipilih, kapan waktu berhenti marah, dan lain sebagainya. Hal ini akan membuat marah kita tertata dengan rapi dan tidak hanya sekedar mengumbar emosi.
3. Latih kesabaran dengan memperbanyak syukur dan merenung (muhasabah) tentang banyaknya nikmat Allah kepada kita. Orang yang pemarah seringkali menunjukkan kepribadian yang kurang bersyukur.
4. Lembutkan hati dengan banyak beribadah. Ibadah akan membuat hati lembut dan sabar, sehingga intensitas kemarahan juga akan menurun.
5. Bergaullah dengan orang-orang yang hatinya lembut dan tidak pemarah sebagai tandingan dari lingkungan keras dan pemarah di sekeliling kita. Hal ini akan membuat kebiasaan suka marah kita akan berkurang.
Demikian jawaban saya, semoga kita semua dapat mengendalikan kemarahan. Sebab kemarahan yang tak terkontrol cenderung membuat diri kita stres dan hanya menambah dosa.
Salam Berkah!

(Satria Hadi Lubis)
Mentor Kehidupan