Masih tentang Zakat penghasilan/Gaji

Assalamualaikum Wr Wb.

Pak Ustadz  yang terhormat,

Masih mengenai pemberian zakat penghasilan, apakah boleh saya memberikan kepada anak dari paman suami saya yang sudah yatim (Ibunya meninggal) tetapi masih sekolah dan saya lihat sangat membutuhkan karena paman dari suami saya itu tidak mempunya pekerjaan tetap/sebagai buruh.

Dan apakah harus diucapkan secara lisan atau apakah boleh saya niatkan di dalam hati saja pada waktu memberikan nya.

Satu lagi seandainya saya ingin memberikan kepada anak yang masih mempunyai orang tua tetapi orang tua nya kurang mampu dalam hal ini si ayah tidak memberikan nafkah / tidak mengurus kepada keluarga sementara si ibu bekerja dan penghasilan nya tidak mencukupi.

Mohon maaf sebelumnya, saya minta di jawab segera .

Wassalamualaikum Wr Wb.

Ana

Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Ibu Ana yang baik.

Rasulullah bersabda: " Bila engkau membayar zakat kekayaan maka berarti engkau telah membuang yang tidak baik darinya". (H.R. Hakiem)

1. Mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Taubah/9:60).

Dari penjelasan ayat di atas, jelaslah bahwa zakat hanya boleh didistribusikan kepada delapan asnâf (kelompok), yaitu : pertama; fakir, kedua; miskin, ketiga; Amil, keempat; muallaf, kelima; ar-riqâb (budak), keenam; al-ghârimin (orang yang berhutang), ketujuh; fi sabilillah, kedelapan; ibnu sabil.

Menurut ulama fikih bahwa anak dari paman suami mereka dikategorikan bukan berada dibawah tangggungan Ibu Ana dan suami langsung. Jika mereka memenuhi syarat fakir atau miskin berdasarkan ayat tersebut, maka mereka berhak mendapatkan zakat dari harta Ibu. Oleh karenanya, ulama menjelaskan bahwa sebab dengan kefakiran dan kemiskinanlah mereka bisa dikategorikan sebagai orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat). Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan dalam kitabnya “Fiqhu az-Zakat” pemberian zakat kepada orang yang tidak wajib bagi orang yang berzakat memberi nafkah kepadanya (termasuk anak dari paman suami), maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat. Nabi saw. Beliau berkata kepada Abu Thalhah ra tentang sedekah yang akan ia berikan, “Berikanlah kepada kerabat dekat!” (HR al-Bukhari). Kewajiban kitalah untuk membantu saudara sendiri yang mereka sedang menghadapi kekurangan ekonomi. Islam sangat memerintahkan untuk membantu sesama manusia terutama yang terdekat.

Adapun keluarga yang tidak boleh menerima zakat yaitu mereka yang berada dalam tanggungan Ibu Ana. Jumhur ulama menjelaskan ada kategori siapa saja orang-orang yang tidak boleh menerima zakat di antaranya bapak, ibu atau kakek, nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawab kita sebagai anak/menantu. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu dan hartamu itu untuk ayahmu” (HR. Ahmad dari Anas bin Syu’aib) Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan dalam kitabnya “Fiqhu az-Zakat” pemberian zakat kepada kerabat yang tidak wajib bagi orang yang berzakat memberi nafkah kepadanya, maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat.

Jadi, diperbolehkan menyalurkan zakat kepada anak dari paman suami yang bukan tanggungan langsung dari Ibu Ana dengan syarat mereka dalam keadaan membutuhkan (fakir atau miskin). Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam menyalurkan zakatnya dan berusaha sesuai dengan anjuran syari’at Islam agar zakatnya sampai pada yang berhak.

2. Mayoritas mazhab fuqaha berpendapat, bahwa niat itu merupakan syarat dalam mengeluarkan zakat, karena zakat itu adalah ibadah, sedang ibadah tidak sah kecuali dengan niat. Allah berfirman QS. Al-bayyinah (98):5 dan Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya sahya perbuatan itu hanyalah dengan niat”. (HR. Muslim)

Menurut ulama fiqih pemberian harta kepada anak dari paman suami tersebut tergantung pada niatnya. Jika diniatkan zakat bisa dikatakan sebagai zakat. Tetapi jika diniatkan infaq/sedekah, statusnya sebagai infaq/sedekah. Pemberian harta kepada anak dari paman suami ibu Ana yang sedang membutuhkan bantuan harus dengan niat berzakat boleh berniat secara jahron/terang-terangan (dengan dikasih tahu bahwa bantuan tersebut adalah zakat ibu yang ditunaikan) atau boleh juga dengan sirron/sembunyi-sembunyi (tidak diinformasikan bahwa bantuan tersebut adalah zakat ibu, cukup dalam hati saja). Tetapi jika harta yang dikeluarkan tersebut diniatkan infaq/sedekah, statusnya juga akan berubah menjadi infaq/sedekah.

3. Sama dengan jawaban pertama, bahwa berdasarkan firman Allah Swt QS At-taubah (9): 60 Allah menjelaskan tentang orang yang berhak mendapatkan zakat diantaranya karena ada alasan fakir dan miskin. Maka mereka sangat berhak mendapatkan zakat. Zakat adalah sebuah kewajiban yang bersifat sosial pemberdayaan. Pandangan ini didasarkan atas argumen: urutan pertama asnaf zakat (fakir) adalah kelompok ekonomi lemah, tidak mampu memenuhi sebagian kebutuhan dasar hidupnya dan tanggungannya. Ini menegaskan peran krusial sosial dari zakat. Orang fakir yaitu orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi keperluannya seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya maupun untuk menjadi tanggungannya. Dengan kata lain fakir bisa diartikan orang-orang yang sehat atau jujur, tetapi tidak mempunyai pekerjaan sehingga tidak mempunyai penghasilan. Ada sebagian ulama yang menjelaskan juga tentang kategori fakir mereka adalah orang-orang jompo, termasuk anak yatim piatu bahkan orang-orang cacat yang tidak mempunyai penghasilan.

Alhasil, zakat yang diberikan kepada anak yang keluarganya tidak mampu/ penghasilan orang tuanya tidak mencukupi dan kondisi perekonomiannya sulit (fakir) maka sangat dianjurkan/ diperbolehkan. Sebab, mereka dikategorikan sebagai kelompok orang-orang fakir (mustahik zakat). Zakat memang harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan zakat boleh dilakukan sendiri langsung namun lebih afdhal (utama) adalah melalui badan amil zakat, lembaga amil zakat atau melalui unit pungutan zakat (upz) agar lebih adil dan amanah tersalurkannya.

Oleh karena itu, tidak diperkenankan memberikan zakat seluruhnya. Sebab, yang perlu diingat masih banyak mustahik/orang yang berhak mendapatkan dana dari zakat tersebut. Umumnya ulama menyarankan lebih utama kita menyalurkan zakat kepada lembaga yang amanah agar lebih adil dan tidak menumpuk pada satu orang/mustahik. Justru dengan penyaluran melalui lembaga tersebut akan banyak lagi masyarakat miskin (para mustahik) yang dapat terberdayakan.

Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.

Muhammad Zen, MA