Upah Amil Zakat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz saya mau bertanya apa sih definisi Amil itu? Soalnya, di kampung saya Amil itu dipahami masyarakat kami mereka yang bekerja mengurus jenazah, para asatidz, tokoh ulama dan KUA. Apakah dibenarkan memberikan zakat kepada mereka sebagai Amil, Mohon penjelesannya? Apakah boleh sebagai amil zakat mengambil upah dari zakat yang dikelolanya?

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. 

 Wa’alaikum salam wr. Wb.

Terima kasih Bu Nisa atas pertanyaannya yang bagus. Amil adalah berasal dari kata bahasa Arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil adalah orang yang bekerja. Dalam konteks zakat, amil dipahami sebagai pihak yang bekerja dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat. Jika yang mengelola adalah lembaga, maka semua pihak yang terkait dengannya adalah amil, baik itu direkturnya, para pegawai di bidang manajemen, keuangan, pendistribisian, pengumpulan, keamanan dan lain-lain. Mereka ini mendapatkan gaji dari bagian amil zakat.

Lebih lanjut, dalam memahami pengertian Amil dapat dicermati surat At taubah ayat 60 maka sesungguhnya merupakan petunjuk yang kuat tentang adanya petugas yang memungut zakat dan membagikan zakat dan mereka itulah yang ditugaskan oleh pemerintah, serta menjadi profesinya yang mereka mendapat gaji dari pekerjaan tersebut, tidak seperti yang terjadi pemahaman banyak orang sekarang tentang keriteria Amil. Sebab para Amil yang ada sekarang ini sifatnya panitia yang bergerak dalam bidang sosial dan bertugas membantu keberlangsungan zakat, dan tugas itu sendiri sifatnya insidental bukan menjadi pekerjaan rutinitas, kecuali jika diantara anggota badan sosial tersebut (panitia) ada yang termasuk bagian dari delapan asnaf (golongan) maka ia berhak atas bagian zakat, disisi lain mengingatkan akan suatu kebenaran adalah tugas seluruh umat islam, inilah yang menjadi pembeda definisi Amil zakat yang sebenarnya. Lihat Fiqhus Sunnah karya Dr As Sayyid Sabiq I hal 327.

Hal senada juga diperjelas oleh imam Al Qurthubi “Bahwasanya Amil adalah petugas yang diangkat oleh pemerintah (imam atau kholifah) untuk mengambil dan mengumpulkan zakat seijin dari imam tersebut “Al Qurthubi 177 Imam Nawawi berkata “Wajib bagi seorang imam menugaskan seorang petugas untuk mengambil zakat sebab nabi dan para kholifah sesudah beliaupun selalu mengutus petugas zakat ini hal tersebut dilakukan karena diantara manusia ada yang memiliki harta tetapi tidak tahu (tidak bisa menghitung) apa yang wajib dikeluarkan baginya, selain itu adapula orang-orang yang kikir sehingga wajib bagi penguasa mengutus seseorang untuk mengambilnya”. ( Majmu’ syarah Muhadzab VI hal 167) Pendapat inilah yang diminati dan diikuti oleh para madzhab ahli Hadits, berbeda dengan madzhab ahli Fiqih

Jadi, melihat pengertian tersebut, jelas amil itu tidak dipahami sebagai mereka yang mengurus jenazah, para asatidz, tokoh ulama dan KUA. Yang sering terjadi bahwa tampak terjadi kesalah-pahaman di tengah-tengah masyarakat kita bahwa mereka adalah di antara kategori dari delapan (8) asnaf. Kecuali; jika mereka yang telah disebutkan tersebut memang betul-betul sebagai pengelola zakat.

Adapun kadar upah atau gaji yang diberikan kepada mereka adalah disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Ukuran kelayakan itu sendiri sangat relatif, tergantung pada waktu dan tempat. Ini adalah pendapat mazhab Mâliki dan jumhur ulama, hanya saja, Abû Hanîfah membatasi pemberian upah amil tersebut jangan sampai melebihi setengah dari dana yang terkumpul. Sementara itu Imam Syafi’ie membolehkan pengambilan upah sebesar seperdelapan dari total dana zakat yang terkumpul. Bahkan ada juga pendapat ulama sebagai bentuk hati-hati upah amil bisa diambil 10% dari total zakat yang terkumpul.

Penulis sendiri lebih cenderung ke pendapat jumhur ulama, di mana gaji para amil diambil dari dana zakat. Besarnya gaji disesuaikan dengan standar kehidupan masyarakat yang berlaku, jenis tugas serta posisi jabatan yang diemban dengan tidak mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan Islam dalam rangka peningkatan kesejahteraan para pegawai, seperti yang disebutkan dalam Hadits Nabi Saw. yang berbunyi: “Barang siapa yang bekerja (melakukan pekerjaan) untuk kami, jika ia belum memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapatkannya, atau jika ia belum memiliki isteri, maka ia berhak untuk kawin, atau jika ia belum mempunyai pembantu maka ia berhak mempunyainya, atau ia belum mempunyai binatang kendaraan, maka ia berhak memilikinya, dan barangsiapa yang memperoleh (mengambil) sesuatu selain itu maka ia adalah seorang pengkhianat."(HR Ahmad)

Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang pekerja/pegawai berhak memperoleh fasilitas dari tempat ia bekerja, yang disesuaikan dengan kebutuhannya dan tanpa melebihi batasan-batasan yang diperbolehkan. Namun apabila ia mengambil lebih dari yang dibutuhkannya maka ia adalah seorang pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pemberian fasilitas kepada para pegawai/pekerja ini dimaksudkan agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan sungguh-sungguh tanpa terbebani oleh problema ekonomi. Wa’allahu ‘alam