Zakat Penghasilan / Gaji

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Pak Ustadz yang terhormat,

Saya mendapatkan nasehat dari saudara sepupu bahwa sebaiknya semua rizki / pendapatan baik dari gaji maupun yang lain disishkan 2,5% untuk zakat atau sedekah.

Alhamdulillah hal itu sudah bisa saya jalani dengan meniyisihkan 2,5% dari gaji kotor saya untuk membantu anak yatim yang dikoordinir oleh ibu-ibu pengajian tempat tinggal saya.

Yang masih mengganjal dan ingin saya tanyakan adalah :

Bolehkah (menurut agama Islam) bila 2,5% dari gaji saya tersebut saya berikan kepada orang tua saya atau mertua saya (mereka memang sudah tidak bekerja dan sekarang hanya berjualan dirumah), dan itu dianggap sebagai sedekah/zakat ?

Mohon petunjuk bapak agar tidak ada lagi ganjalan dihati saya

Terima kasih sebelumnya

Wassalam,

Bambang

Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Bambang yang baik.

Selamat Pak Bambang karena sudah mengeluarkan zakatnya.  Semoga Allah mengkategorikan orang yang sukses bagi yang menyucikan hartanya dengan berzakat "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu". (QS. Asy-Syams: 9)

Membersihkan dalam ayat diatas memberi makna bahwa zakat dapat membersihkan hati orang-orang yang berzakat dari kekikiran dan cinta berlebihan terhadap harta benda. Karena cinta terhadap harta dan diri sendiri dapat bisa mengakibatkan seorang muslim jatuh ke jurang kehancuran. Mumpung masih ada waktu dan kesempatan untuk berzakat agar harta dan jiwa kita suci dari noda/kotoran.

Allah Swt menjelaskan pemberian/pendistribusian zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf (kelompok) yaitu:“ Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Taubah(9):60).

Berdasarkan ayat tersebut jelas tidak ada pemberian zakat untuk orang tua sendiri atau mertua. Hal inilah yang dijelaskan oleh Ibnu Mundzir dalam kitabnya “Al-Bahr az-Zahrar” bahwa Islam mengajarkan kepada setiap anak/menantu hendaknya berlaku baik (ihsan) dan adil kepada kedua orang tua sendiri termasuk mertua. “ … dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Isra (17): 23)

Jumhur ulama menjelaskan ada kategori siapa saja orang-orang yang tidak boleh menerima zakat di antaranya adalah bapak, ibu atau kakek, nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawab kita sebagai anak/menantu. Mazhab Imam Malik dan Syafi’i melarang pemberian zakat mal kepada kerabat yang menjadi tanggung jawabnya dalam mencukupi rezkinya (kelompok orang yang tidak berhak menerima zakat tersebut misalnya anak, istri, dan orangtua/mertua). Rasulullah Saw bersabda: “Kamu dan hartamu itu untuk ayahmu” (HR. Ahmad dari Anas bin Syu’aib) Islam memerintahkan untuk membantu sesama manusia terutama yang terdekat. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS. At-Tahrim (66): 6)

Menurut ulama, zakat tidak boleh diberikan kepada bapak, kakek, ibu, nenek anak laki-laki atau perempuan dan cucu orang yang membayar zakat. Apabila bapak memberikan ke orang tua dan mertua maka niatkan saja sebagai amalan sedekah/nafkah yang tentunya besar sekali pahalanya disisi Allah. Menurut Prof Dr. M. Amin Suma pemberian rutin harta kepada orang tua tidak boleh dianggap zakat, karena orang tua merupakan tanggung jawab anak (yang menjadi muzakki). Pemberian anak kepada orang tua adalah dianggap infaq. Menurut Imam Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya “Al Islami Aqidah dan Syari’ah“, Islam telah mewajibkan atas seseorang yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada keluarganya yang membutuhkan, sebagai bentuk silaturrahim dan pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan." (Al Isra’: 26) "Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (QS. Saba’: 39) "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati " (QS. Al Baqarah: 274)

Menurut Fikhussunnah jilid I : "Para ulama sepakat tidak boleh memberikan zakat kepada bapak,kakek, ibu, nenek, anak laki-laki dan cucu dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu dari anak perempuan, karena si pemberi zakat berkewajiban memberi nafkah kepada bapaknya dan selanjutnya ke atas, anak laki-lakinya dan selanjutnya ke bawah, ibunya dan selanjutnya ke atas dan anak perempuannya dan selanjutnya ke bawah. Mereka itu (terutama orang tua bapak sendiri dan mertua) meskipun fakir, maka tidak boleh berzakat kepada mereka. Sebab, mereka adalah tanggung jawab bapak sebagai anak kandung dan menantu. Dr. Yusuf Al-Qardhawi menegaskan orang tua/mertua adalah menjadi tanggung jawab muzakki dengan wajib memberikan nafkah kepada mereka sehingga tidak boleh berzakat kepada mereka.

Sehingga, zakat tidak boleh disalurkan untuk anak, istri, ataupun orang tua walaupun dengan alasan bahwa anak, istri atau orang tua kita atau mertua kita miskin dan tidak mampu, karena selama kita masih ada dan mampu, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi nafkah kepada mereka dan bukan membantu mereka dari zakat yang harus kita keluarkan. Zakat tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita.

Al-hasil, zakat tidak bisa diberikan untuk orang tua dan mertua. Zakat hanya diberikan kepada mereka yang berhak (mustahik zakat). Berikanlah sedekah/nafkah kepada keluarga yang terdekat (orang tua dan mertua ) terlebih dulu bukan zakat yang diberikan kepada meraka: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." …[ QS. Al Baqarah (2):215] Bahkan ia menyedekahkan/menafkahkan hartanya keluarganya Nabi saw bersabda, "Dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah." [HR Bukhari] Adanya sabda Rasul yang merangsang untuk memberi sedekah kepada kerabat, “Sedekah bagi orang miskin adalah sedekah saja, sedangkan sedekah pada kerabat mengandung dua hal, yaitu sedekah dan mempererat tali persaudaraan” (HR. Bukhori, Muslim, An-Nasai, At-Tirmizi, dan Ibnu Majah) dan Nabi saw. Beliau juga berkata kepada Abu Thalhah ra tentang sedekah yang akan ia berikan, “Berikanlah kepada kerabat dekat!” (HR al-Bukhari).

Pada dasarnya menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Namun meskipun begitu, penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah pengelola ataupun lembaga yang khusus menangani zakat, karena hal ini sudah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah. Dahulu, dalam menangani zakat Rasulullah membentuk tim yang merupakan petugas zakat yang terdiri dari para sahabat untuk memungut zakat, dan hal ini diteruskan oleh generasi sahabat sesudahnya yang memiliki manfaat yang lebih besar dan lebih merata.

Demikian semoga dapat dipahami. Amin. Waallahu A’lam.

Muhammad Zen, MA