Bagaimana Seharusnya Kostum Pemain Negara Islam yang Ikut Piala Dunia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang dirohmati Alloh, saat ini demam piala dunia mulai terasa lagi, dan setiap tahun ada saja negara-negara Arab yang ikut serta dalam olah raga yang katanya "bergengsi" tersebut. Namun sangat saya sayangkan mereka tidak menjaga "mutu" ke-Islaman sehingga mereka berkostum dengan mengumbar aurat. Bukankah lebih baik berolah raga sambil berda’wah? Bagaimana pak Ustadz melihat kondisi ini?

Terimakasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Heri – Surabaya

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ikutnya negara-negara Arab dan berpenduduk mayoritas muslim di ajang sepak bola dunia ini, menurut hemat kami tidak ada kaitannya secara langsung dengan dakwah, kemajuan dan kualitas umat Islam. Mungkin banyak yang menghubung-hubungkannya, tetapi logika sehat kita mengatakan bahwa kemajuan dan kualitas umat tidak diukur hanya dengan urusan piala dunia.

Derajat umat Islam tidak akan terangkat meski juara dunia jatuh ke negara Islam, sebagaimana juga tidak akan terhina bila negeri Islam kalah. Pertarungan sesungguhnya bukan di arena piala dunia, melainkan pada kehidupan nyata sehari-hari. Yaitu ketika umat Islam di suatu negeri bertambah imannya, mendalam pemahaman syariahnya, menerapkan agamanya secara sadar dan ikhlas.

Kalau mereka tidak menjaga mutu keIslaman lantaran main bola dengan paha terbuka, anda tidak perlu risau. Toh mereka bukan barisan juru dakwah yang diberi beban untuk menyiarkan agama Islam. Mereka hanyalah atlet yang tujuannya main bola, tidak lebih. Hanya kebetulan saja mereka muslim. Dan ketika mereka tidak menjalankan syariat Islam dengan membuka aurat, kita tidak bisa berharap terlalu banyak.

Seandainya mereka punya kesadaran dakwah, mungkin malah bukan jadi pemain bola. Tetapi mengerjakan hal-hal yang lebih serius untuk dakwah. Bahkan mungkin jadi ustadz atau penceramah sekalian. Seperti Yusuf Islam yang dulunya bernama Cat Steven, begitu masuk Islam dan komitmen pada dakwah, beliau menjalani hari-hari sebagai juru dakwah yang serius. Bukan sekedar dakwah lewat celana bola.

Memang benar bahwa lebih baik main bola sambil dakwah. Tapi harapan anda itu juga jangan terlalu mengada-ada. Sebab menutup aurat sambil main bola dan tampil di TV dunia, belum tentu bisa banyak berarti. Apalagi kalau kalah, malah akan semakin memojokkan posisi umat Islam.

Jadi sebaiknya jangan dikait-kaitkan antara ajang sepak bola dunia dengan dakwah. Percayalah, bahwa tujuan mereka memang hanya main bola saja, tidak ada kepedulian dengan urusan dakwah, apalagi penerapan syariah.

Tapi kalau anda seorang pelatih bola profesional dan punya posisi, bolehlah dicoba berdakwah, mulai dari mewajibkan anak asuhan anda menutup aurat ketika main bola.

Sesungguhnya ajang sepak bola hanya permainan belaka. Meski banyak umat Islam yang suka bola, maksudnya suka nonton sepak bola, bukan berarti nonton bola itu tidak bermasalah. Bahkan dalam beberapa hal, nonton bola cenderung kurang bermanfaat, lantaran banyak orang begadang malamnya lalu siangnya bolos kerja, bolos kuliah dan bolos sekolah. Dan kalau siarannya siang, aktivitas menontonnya akan mengurangi jam-jam produktif.

Di mana-mana orang hanya bicara bola dan bola saja. Seolah tidak punya masalah hidup lain yang lebih penting dari bola. Namun sikap ini bukan berarti kita harus membenci sepak bola. Sebagai sebuah cabang olah raga, sepak bola pasti bermanfaat. Paling tidak, biar badan jadi sehat dan kuat. Tapi selama seseorang betul-betul main bola, bukan hanya begadang nonton bola. Kalau cuma nonton, tentu tidak membuat sehat.

Mungkin ada baiknya bila demam bola itu berdampak semakin banyaknya umat Islam yang berolahraga, sehingga jasmani mereka jadi sehat. Tetapi menonton bola bukan olah raga, sehingga tidak menambah sehat jasmani. Harusnya, kita main bola biar berolahraga dan sehat, bukan sekedar nonton bola, lalu sibuk dengan oborlan-obrolan bola yang tidak memberi nilai apapun, baik dalam masalah ibadah, muamalah apalagi problematika umat.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.