Darah Istihadhah Menurut Pendapat Imam Mazhab

Eramuslim – Setiap wanita dewasa akan mengalami masa haid. Di mana masa ini wanita haram melakukan ibadah yang telah disyariatkan Allah SWT seperti shalat dan puasa.

Isnawati,Lc.,MA dalam bukunya “Darah Istihadhah” menuliskan, tidak selamanya ketika wanita keluar darah mengalami haid.

“Karena wanita kalau telah baligh akan menjalani dua masa, masa haid dan masa suci,” katanya.

Masa haid dan masa suci, memiliki batasan maksimal dan minimal. Ketika haid telah melewati batasan maksimal, maka darah yang keluar berstatus tidak lagi sebagai darah haid. Begitu pun ketika wanita keluar darah sebelum memenuhi batasan minimal suci, maka darah yang keluar belum bisa dikatakan sebagai haid.

Isnawati menuturkan, antara haid ke haid berikutnya, semua ulama sepakat harus dijeda dengan masa suci yang sempurna dan minimal masa suci menurut mazhab jumhur ulama adalah 15 hari menurut mazhab Hambali 13 hari.

Maka, misalkan wanita baru suci dari haid kurang dari 15 hari kemudian keluar daarah lagi, darah yang keluar belum dikategorikan sebagai darah haid karena darahnya keluar sudah masuk pada masa suci seharusnya seorang wanita. Darah yang keluar pada masa suci inilah yang disebut darah istihadhah.

Status wanita yang mengalami istihadhah juga dihukumi sebagai wanita yang suci dan boleh melakukan ibadah. Secara umum para ulama mendefinisikan darah istihadhah sebagai darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita selain haidh dan nifas.

Mazhab Al-Hanafiyah

Mewakili mazhab Al-Hanafiyah, di dalam kitab Maraqi Al-Falah disebutkan bahwa darah istihadhah adalah:

Darah yang keluar kurang dari 3 hari, atau lebih dari 10 hari dari masa haidh, dan darah yang keluar melebihi 40 hari dari nifas, atau darah yang keluar melebihi adat (kebiasaan) wanita melebihi masa maksimal haid dan nifas.