Haruskah Memilih jama`ah?

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Ustadz, ana mau bertanya,

1. Apakah kita ini memiliki suatu keharusan untuk memilih dan konsisten terhadap salah satu jama`ah minal muslimin yang ada saat ini, misal: tarbiyah, salafi,….? Menurut hemat ana sah-sah saja kita mengikuti beberapa jamaah karena kita bisa mengambil manfaat dan ilmu sebanyak-banyaknya (karena masing-masing jamaah memiliki karakteristik, kelebihan, kekurangan sendiri) toh pada dasarnya tujuan kitakan berdakwah untuk menyampaikan kebenaran tentang Islam. Kalau boleh cerita sedikit, ana dalam mengambil ilmu banyak berasal dari jamaah salafi dan ana hampir tidak pernah mengkaji keilmuan/buku-buku yang berasal dari tokoh-tokoh harakah (bukan karena tidak suka/membenci). Namun dalam proses gerakan dakwah ana ikut dalam Tarbiyah. Karena pengorganisasian dakwahnya lebih terstruktur dan di sana ana dapat menyampaikan ilmu yang saya miliki dari jamaah salafi. Walaupun antara kedua jama`ah itu sering terjadi "serang-menyerang", ana berusaha bersikap netral dan lebih bersikap diam saja walaupun terkadang ana suka marah bila salah satu teman ana (Tarbiyah) menghujat teman ana yang lain (Salafi), begitu pula sebaliknya, karena menurut ana masih banyak hal yang lebih urgen dalam berdakwah dari pada sekedar menghujat untuk menunjukkan diri bahwa jama`ahnyalah yang paling benar. Namun demikian banyak yang kurang sependapat dengan ana karena banyak yang mengatakan bahwa ana harus konsisten di tarbiyah atau salafi, dan sejujurnya ana tidak bisa seperti itu. Bagaimana menurut pandangan ustadz?

2. Bagaimana sikap terbaik kita khususnya ana, terhadap ikhwah-ikhwah kita yang saling menghujat antar satu dengan lainnya padahal kitakan sama-sama kaum muslimin?

Jazakallah…

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau tujuan utama anda ingin belajar ilmu-ilmu ke-Islaman, sebenarnya pilihannya bukan dengan memilih jamaah yang mana, tetapi mencari guru yang punya kapasitas ilmu-ilmu syariah itu sendiri.

Lepas dari pertanyaan dari pihak manakah si guru itu berasal, dari salafikah, atau dari tarbiyah-kah atau dari apapun latar belakangnya. Sebab perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW kepada kita untuk bertanya tidak diarahkan kepada salafi atau bukan, melainkan kepada ahli ilmu (ahluz zikr).

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43)

Siapapun gurunya, apakah dari Salafi atau dari Tarbiyah atau dari mana pun, yang penting dia punya kapasitas keilmuan yang mumpuni, mahir berbahasa Arab dan bicara sesuai dengan kadar dan kapasitas ilmunya. Bila yang dibicarakan masalah syariah dan fiqih, tentu akan lebih tepat kalau sang guru itu orang yang pernah mendalami masalah tersebut. Misalnya pernah kuliah di fakultas syariah, atau seorang doktor di bidang ilmu syariah. Agar tidak terjadi keterpelesetan ilmu.

Atau kalau bicara tentang hadits dan kritik sanadnya, akan lebih baik kalau seorang yang pernah belajar ilmu hadits secara mendalam. Bukan sekedar seorang pembaca makalah atau buku orang lain. Atau dia adalah doktor di bidang ilmu hadits.

Demikian juga bila yang dibicarakan masalah tafsir Al-Quran, bisa kita serahkan kepada para guru yang pernah mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, paling tidak pernah duduk di fakultas yang secara khusus mempejarinya.

Dengan demikian, kita telah menjalankan perintah Allah SWT untuk bertanya kepada ahlinya, bukan hanya sekedar ikut-ikutan dalam suatu jamaah belaka.

Saling Serang Antar Kelompok

Pemandangan seperti ini memang sangat memalukan bahkan memilukan. Yaitu adanya kelompok-kelompok di dalam tatanan umat Islam yang merasa benar sendiri, sambil menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya.

Masih untung kalau yang berbeda pendapat adalah para pakar di bidangnya. Yang seringkali terjadi adalah orang-orang yang bukan ahlinya, lalu memperdebatkan hal-hal di luar kemampuannya. Sambil mengutip sana dan menukil sini, seorang telah merasa dirinya menjadi hakim yang bertugas menjatuhkan vonis. Lalu masing-masing membawa bendera kelompoknya sehingga terjadi perang antar kelompok.

Lagi pula, issu yang sering diangkat pun seringkali seputar masalah furu’iyah (cabang syariah), di mana para ulama kibar memang tidak menyepakatinya. Masalah-masalah itu akan tetap selamanya menjadi khilaf di tengah umat Islam, lantaran adanya dalil-dalil yang sekian banyak dan saling berbeda. Kalau dari sumbernya saja sudah memberikan kemungkinan perbedaan pendapat, bagaimana mungkin kita mengunci masalah itu dengan memvonis orang lain yang tidak sesuai kesimpulannya dengan pendapat kita sebagai sesat atau ahli maksiat atau ahli bid’ah?

Sementara perbuatan saling tuding, saling caci dan saling menjelekkan itu sendiri sebenarnya sudah keluar dari sunnah Rasulullah SAW dan manhaj salafunash-shalih. Bahkan Al-Quran Al-Kariem membenci sikap-sikap mencari-cari kesalahan saudara sendiri.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat: 12)

Posisi anda memang agak menyulitkan, karena biasanya masing-masing pihak akan meminta anda memberikan wala` (loyalitas) yang bersifat total. Biasanya anda akan dihadapkan kepada pilihan, pilih kami atau mereka. Padahal pastilah anda tidak ingin bersikap demikian. Buat anda, yang manapun asalkan sama-sama muslim, tentu merupakan saudara anda juga. Tidak ada istilah pilih salah satu dan tinggalkan yang lain.

Karena itu sebaiknya memang anda tetap menjalin hubungan baik dengan keduanya. Sebab kelompok manapun dalam Islam pada hakikatnya bersaudara. Tetapi anda harus mahir dan pandai-pandai menempatkan diri. Dan yang penting jangan salah ucap, karena anda malah bisa jadi dianggap sebagai inturder (penyusup) olah masing-masing pihak.

Kalaupun anda ingin memberikan loyalitas kepada salah satu pihak -dan itu hak anda-, tidak harus anda merubah sikap baik anda kepada pihak yang lain. Apalagi sampai memutus tali silaturrahim. Sebab loyal kepada suatu jamaah bukan berarti bermusuhan dan harus mencaci-maki jamaah lain. Baik secara internal atau pun secara terbuka.

Seharusnya loyal pada suatu jamaah itu justru melahirkan sikap sopan dan santun kepada jamaah lain. Toh yang membedakannya bukan masalah aqidah yang mendasar. Lebih sering hanya sebatas masalah khilafiyah dan cabang-cabang permasahalan fiqhiyah. Bukan berarti hal-hal seperti itu tidak penting, tetapi jangan sampai perbedaan itu melahirkan sebuah pertikaian antar kelompok.

Kalau mau diikuti terus, bisa jadi umat Islam akan terus menerus bergelimang dengan perpecahan di dalam. Mengapa kita tidak bersahabat saja, saling menguatkan dan saling menutupi aib sesama? Mengapa kita tidak menundukkan diri di depan sesama muslim dan tegak sangar di depan orang kafir yang memerangiumat Islam? Mengapa kita tega membuat hubungan sesama muslim menjadi centang perenang sementara kekuatan umat Islam semakin hari semakin digerogoti oleh kekuatan asing?

Tidak bisakah kita berlapang dada atas semua perbedaan pandangan yang ada? Tidak mampukah kita menerima keberadaansaudara kita yang berbeda pahamnya? Haruskah semua perbedaan itu diakhiri dengan vonis sesat, bid’ah atau fasik?

Semoga Allah SWT melapangkan hati kita dan menjadikan hati-hati ini berhimpun dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Amien.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.