Sholat Iedul Adha Mana yang Harus Diikuti

Assalamu ‘alaikum Ustadz,

Setelah terjadi perbedaan yang signifikan pada penetapan hari raya idul fitri 1 syawwal 1428 H, maka kali ini pada waktu idul adha muhammadiyah, NU, MUI dan ormas Islam lainnya SEBAGIAN BESAR telah menetapkan tanggal 20 Desember sebagai hari raya idul adha.

Sementara pemerintah saudi arabia menetapkan wukuf tanggal 18 Desember 2007, sehingga idul adha versi arab 19 Desember 2007.

Mana waktu yang paling afdhol yang harus kami ikuti? Karenasetahu saya (mohon dikoreksi kalo salah) Idul adha itu semestinya mengacu ke waktu wukuf di arafah atau sebagai bagian dari ritual ibadah haji.

Mohon dalil yang memperkuat jawaban ustadz sehingga kami mantap dalam menjalankan ibadah sholat ied

Terima kasih

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ini adalah pertanyaan ‘langganan’ yang datang tiap menjelang dua hari raya. Dansejak dahulu seringkali mengganggu rasa penasaran kita. Setelah urusan perbedaan ketetapan jatuhnya Hari Idul Fithri dua bulan lalu, sekarang giliran perbedaan ketetapan ‘Idul Adha.

Sehingga ada teman berseloroh, kalau kemarin tokohnya Muhammadiyah ‘melawan’ semua ormas termasuk Pemerintah, sekarang tokohnya semua ormas Islam bersama Pemerintah ‘melawan’ kerajaan Saudi Arabia. Dengan pengecualian Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang tetap setia ikut Saudi Arabia.

Pasalnya apalagi kalau bukan urusan perbedaan hasil ijtihad ketika rukyatul hilal awal bulan Dzul-Hijjah kemarin. Dan tentunya perbedaan hasil hisabnya juga.

Ijtihad Pemerintah Indonesia dan Ormas-ormasnya

Pemerintah RI (DEPAG) bersama dengan ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan juga dengan Malaysia, sepakat menyatakan tanggal 10 DZulhijjjah jatuh pada hari Kamis bertepatan dengan tanggal 20 Desember 2007.

Melalui sidang itsbat diputuskan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1428 Hijriah jatuh pada Selasa (11/12), sehingga hari raya Idul Adha 1428 Hijriah jatuh pada Kamis (20/12).

Ketua Badan Hisab Rukyat Depag, Muchtar Ilyas mengatakanbahwaijtima’ menjelang awal bulan Dzulhijah 1428 Hijriah pada Senin (10/12) terjadi sekitar pukul 00. 41 WIB dengan ketinggian hilal antara 4-6 derajat 30 menit. Dan ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia masih di bawah ufuk antara 5 derajat 30 menit sampai 3 derajat 30 menit.

Jadi rukyatul hilal yang diselenggarakan pada hari Ahad 9 Desember memutuskan bahwa malam itu kita belum lagi masuk ke bulan Dzul-Hijjah, karena hilal dianggap belum nampak. Maka keesokan harinya, Senin, masih terbilang bulan Dzul-Qa’dah tanggal 30. Tanggal 1 Dzul-Hijjah jatuh hari Selasa.
Hasil Keputusan Pemerintah Saudi Arabia

Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, pemerintah Arab Saudi malah memutuskan hari Ahad tanggal 9 Desember itu sebagai hari terakhir bulan Dzul-Qa’dah, karena hilal telah terlihat sore itu. Otomatis besok harinya Senin 10 Desember sudah masuk tanggal 1 Dzul-Hijjah. Dan tanggal 9 Dzul-Hijjah jatuh pada hariSelasa tanggal 18 Desember, sebagai hari Arafah. Para jamaah haji akan memenuhi padang Arafah di hari itu. Keeseokan harinya, RAbu 19 Desember adalah Hari Idul Adha.

Umat Islam Bingung

Dan umat Islam pun bingung…

Mungkin kalau yang bingung sekedar umat Islam, masih wajar. Tapi kalau para ustadz dan penceramahnya juga ikut-ikutan bingung, suasana akan semakin seru.

Kenapa para ustadz jadi bingung? Sebabmereka akan terus menerus dicecar pertanyaan oleh jamaahnya, padahal mereka sendiri pun tidak juga masih berdebat dengan sesamanya tentang urusan ini. Jadi sama-sama tidak kalah bingungnya.

Bagaimana tidak bingung, kalau yang satu bilang begini dan yang satu bilang begitu. Yang satu komitmen kepada keputusan ormasnya atau Pemerintahnya, yang lain bilang kalau urusan Idul Adha serahkan saja pada Pemerintah Saudi Arabia.

Lalu bagaimana ini?

Maka kolom inilah yang kemudian jadi sasaran kiriman pertanyaan pembaca Eramuslim. Sekarang giliran kami yang bingung untuk menjawab. Mau tidak mau harus buka kitab untuk mencari rujukannya. Mungkin dikira kami tidak bingung, padahal sama saja, bingung juga.

Sebenarnya kalau kita buka kitab fiqih, kita akan dapati perbedaan ini sudah ada sejak zaman dahulu. Perbedaannya berkisar pada pertanyaan mendasar, apakah bumi kita satu mathla’ atau terdiri banyak mathla’? Apakah dimungkinkan terjadinya perbedaan hasil rukyat antara satu wilayah dengan wilayah lain?

Maka dalam hal ini memang berkembang dua pendapat.

1. Pendapat Keragaman Mathla’

Mazhab Asy-Syafi’i termasuk yang menerima konsep perbedaan mathla’. Antara satu wilayah di muka bumi dengan wilayah yang lain, boleh saja terjadi perbedaan hari dalam menjatuhkan tanggal.

Bahkan untuk wilayah yang berdekatan, mazhab ini mengatakan setidaknya dalam jarak 24 farsakh sudah dimungkinkan terjadinya perbedaan Hari Raya.

Maka kalau sekarang ada yang berprinsip ikut kepada Keputusan Pemerintah negeri sendiri, walaupun berbeda pendapat dengan pemerintah Saudi Arabia, landasan mereka adalah ijtihad ini.

Landasannya bahwa masalah penetapan hari raya tiap wilayah di negeri Islam berhak untuk melakukan ijtihad sendiri dengan melakukan rukyatul hilal secara mandiri, bahkan hisab tersendiri. Di Saudi mau lebaran hari apa, itu terserah keputusan para penguasa di sana.

2. Pendapat Wihdatul Mathla’

Di sisi lain, ada kalangan ulama yang berprinsip sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa yang lebih kuat adalah bahwa di muka bumi ini seharusnya ada keseragaman. Kalau ada satu orang di satu titik di permukaan bumi melihat hilal, maka semua orang sedunia harus ikut terhadap apa yang dilihatnya.

Di negeri kita, ada beberapa kelompok yang setia menggunakan pendapat ini, untuk Hari Idul Fithri. Dan pendukungnya semakin banyak pada saat Hari Idul Adha. Alasan mereka, sebab Idul Adha adalah urusan wuquf di Padang Arafah. Puasanya saja disebut dengan puasa Arafah, maka kita harus ikut wuquf di Arafah.

Maka kalau untuk’Iedul Fitri ikut ijtihad Pemerintah lokal, tapi kalauuntuk ‘Iedul Adha ikut ijtihad Pemerintah Saudi Arabia.

Kajian

Kedua ijtihad di atas sama-sama kuat landasannya. Pendapat pertama masuk akal dan secara tidak langsung sebenarnya kita di Indonesia dan bahkan umat Islam di seluruh dunia selama ini -sadar atau tidak sadar- telah menjalankannya.

Pendapat kedua sebenarnya juga sangat bagus, meski belum pernah terjadi. Mengapa? Karena ada hambatannya, yaitu kalau memang harus berlebaran bersama, maka harus ada satu pihak yang disepakati sebagai rujukan. Lalu siapakah orangnya atau apa lembaganya?

Ternyata juga tidak ada selama ini yang disepakati. Maka tiap negeri Islam berijtihad sendiri-sendiri.

Kecuali khusus momentum hari Arafah, di mana saat itu memang ada agenda besar umat Islam secara international, yaitu berwuquf di Arafah. Tapi pertanyaannya, siapakah yang menetapkan jatuhnya hari wuquf itu?

Jawabnya pemerintah Saudi Arabia. Mereka memang pihak yang paling berwenang untuk menetapkannya. Kalau sudah ditetapkan, setidaknya semua orang yang kebetulan ada di negeri itu akan ikut. Termasuk juga jamaah haji dari ratusan negara, semua akan wuquf hari itu pada hari yang sama.

Sayangnya, wilayah pemerintahan Saudi Arabia tidak membentang hingga ke seluruh dunia. Wilayahnya jauh lebih kecil dari Indonesia. Jumlah rakyatnya juga jauh lebih sedikit. Jadi yang taat kepada Pemerintah Saudi Arabia hanya terbatas pada lahan yang sempit dan julah massa yang terbatas.

Seandainya wilayah Saudi Arabia membentang dari ujung barat Maroko hingga ujung timur Marauke, mencakup semua negeri yang berpenduduk muslim, maka kemungkinan penyatuan hari Raya bisa dilakukan. Saat di mana umat Islam punya satu pemerintahan yang diikuti oleh 1, 5 milyar jiwa.

Kesimpulan

Jadi kalau kita melihat dua kelompok berbeda pendapat, yang satu mau lebaran hari Kamis dan yang satu mau Hari Rabu, ya kita tinggal tersenyum saja. Tidak perlu sakit hati atau ikut-ikutan heboh dan bingung.

Sebab keduanya memang punya landasan yang masuk akal, logis, kuat dan sama-sama hasil ijtihad para ulama senior mujtahid mutlak di masa lalu. Adanya perbedaan hari raya, bahkan Idul Adha, memang sudah lama terjadi. Walau pun pendukung wihdatul mathali’ akan jauh lebih banyak saat Idul Adha.

Wallahu a’lam bishsawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc