Arisan Qurban, Bisakah?

Assalamualakum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, beberapa tahun terakhir di tempat kami setiap hari raya Idul Adha hampir tidak ada yang qurban sehingga warga yang sebagian besar ekonomi lemah (miskin) tidak menikmati daging qurban. Hal ini memberikan gagasan dari DKM dan jajarannya untuk mengadakan qurban bergilir (arisan) di mana hal tersebut juga atas saran tokoh alim setempat. Namun demikian kami memiliki beberapa ganjalan yang mudah-mudahan ustadz dapat memberikan penjelasannya antara lain:

1. Jumlah peserta 28 orang dan tiap tahun kami berqurban 1 ekor sapi untuk 7 orang, jadi habis dalam empat tahun. Apakah yang kami lakukan tersebut tidak bertentangan dengan syariat?

2. Beberapa waktu lalu kami mendapat penjelasan dari tokoh ulama bahwa dengan demikian maka qurban kami termasuk ke dalam qurban wajib, sehingga para qurbani tidak boleh untuk memakan daging qurban tersebut.

a. Apakah yang dimaksud dengan qurban wajib dan bagaimana pula kriterianya?

b. Apakah benar setiap qurban wajib berarti kita tidak boleh memakan daging tersebut walau sedikit?

Demikian ustadz, atas penjelasannya diucapkan terimakasih

Wassalamualakum warahmatullahi wabarakatuh

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Arisan Qurban

Memang cara yang anda ceritakan itu bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Misalnya, bisa saja orang mengatakan bahwa cara yang demikian itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Sebab berqurban dengan sistem arisan memang tidak pernah terjadi di masa lalu.

Namun hukum arisan itu sendiri sebenarnya halal, selama semua syarat dan ketentuannya dipatuhi, serta tidak mengandung unsur riba dan penipuan.

Di balik sistem arisan yang dibenarkan syariah, juga ada manfaat lain, misalnya untuk memberikan motivasi mengumpulkan uang atau menabung, meski tidak selalu berhasil untuk semua orang. Tetapi sebagai salah satu teknik menabung, dalam beberapa kasus sering juga berhasil.

Jadi intinya, arisan yang anda sebutkan itu hanya upaya atau trik lain dari menabung. Toh, ujung-ujungnya sama saja. Yaitu setiap orang mengumpulkan uangnya dari kantong masing-masing selama kira-kira empat tahun. Dan sudah diperhitungkan bahwa selama menabung 4 tahun itu akan terkumpul 4 ekor sapi. Tiap sapi adalah qurban dari 7 orang.

Bentuk arisan seperti ini juga ada kemiripan dengan cara lain, misalnya dengan infak untuk qurban. Infaq untuk qurban ini sering diselenggarakan di sekolah-sekolah. Bedanya, yang ini judulnya infak, bukan tabungan. Niat masing-masing anak sekolah bukan berqurban tetapi berinfak biasa.

Sebagai sebuah perumpamaan, bila ada 100 orang murid yang banyak itu masing-masing berinfak kepada satu orang, katakanlah seorang seribu rupiah sehari, maka dalam sehari terkumpul 100.000 rupiah. Dalam sepuluh hari akan terkumpul infaq sebesar 1 juta rupiah.

Uang infak yang terkumpul itu diserahkan kepada satu orang, bukan dengan niat ibadah qurban tetapi sedekah biasa. Barulah kemudian si penerima infaq ini membeli seekor kambing dengan niat untuk beribadah qurban untuk dirinya. Dan tentu saja pahalanya untuk dirinya sendiri. Ketika kambing akan disembelih, maka nama yang disebutkan adalah nama dirinya, bukan nama semua anak sekolah itu.

Seandainya infak ini dilakukan bukan hanya selama sepuluh hari, tetapi selama setahun, katakannya 350 hari, maka jumlah uang yang terkumpul adalah Rp 35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah). Tentunya jumlah hewan yang akan disembelih jadi lebih banyak.

2. Makna Qurban Wajib

Yang dimaksud dengan qurban wajib adalah qurban yang hukumnya wajib untuk dikerjakan. Padahal hukum dasar menyembelih hewan qurban bukan wajib, melainkan sunnah. Lalu mengapa bisa jadi wajib?

Suatu perbuatan yang hukum asalnya sunnah lalu bisa menjadi wajib disebabkan beberapa hal. Di antaranya karena dinadzarkan.

Misalnya, seseorang bernadzar bahwa tahun ini akan menyembelih hewan qurban, apabila doanya terkabul oleh Allah SWT. Bila nadzar itu sudah disebutkan, lalu doanya memang nyata terkabul, maka khusus bagi yang bersangkutan, hukum menyembelih hewan qurban menjadi wajib. Namun pengertian nadzar berbeda dengan sekedar niat atau keinginan. Keduanya berbeda dalam konsekuensi.

Orang yang sudah bernadzar tidak boleh meninggalkan apa yang telah dinadzarkannya. Tetapi orang yang sekedar menabung ingin menyembelih hewan qurban, boleh saja mengubah niatnya.

Seandainya seorang yang sekedar mengumpukan uang untuk bisa menyembelih qurban langsung dituduh bernazar, maka berarti begitu banyak qurban yang hukumnya wajib.

3. Sembelihan Wajib atau Nadzar Tidak Boleh Dimakan Sendiri

Sebagian ulama memang mengatakan bahwa sembelihan hewan qurban yang bersifat wajib, tidak boleh dimakan sendiri oleh yang berqurban. Pernyataan seperti ini bisa kita dapati di kitab-kitab fiqih mazhab As-Syafi’iyah. Misalnya dalam kitab Kifayatul Akhyar jilid 2 halaman 232. Di sana disebutkan bahwa:

Wala ya’kulul mudhahhi syaian minal udhiyatil manzdurah wa’kul minal mutathawwa’ biha. Wa la yabi’u minha.

Orang yang berqurban tidak boleh memakan dari hewan sembelihannya yang bersifat nazdar, namun boleh memakan yang hukumnya tathawwu’ (sunnah). Dan tidak boleh menjualnya.

Alasannya karena hewan yang sudah dinazdarkan itu sudah dianggap bukan miliknya lagi. Tetapi sudah menjadi milik Allah SWT. Sehingga secara status, dia dianggap bukan pemilik, karena itu dia kehilangan hak untuk memakan sebagian dari dagingnya.

Berbeda dengan hewan yang belum dinadzarkan, umumnya kita menyembelih hewan qurban tanpa ada prosesi menadzarkanya. Hanya keinginan saja belum bisa disamakan dengan nadzar. Apalagi masih berbentuk uang, itupun belum terkumpul. Maka sangat tidak bisa disamakan dengan hewan qurban yang sudah dinadzarkan.

Hewan qurban yang berstatus nadzar adalah hewan yang sudah dimiliki oleh sesorang, baik karena dipeliharanya sejak kecil atau dibelinya dari orang lain, lalu sejak itu dia bernadzar untuk dijadikan hewan qurban nanti pada hari Raya Idul Adha atau hari tasyrik.

Sedangkan sembelihan qurban yang tidak pernah dinadzarkan, boleh dibagi tiga. Pertama, boleh dimakan sendiri. Kedua, boleh dihadiahkan. Ketiga, disedekahkan kepada fakir miskin.

Kebolehan untuk memakan sendiri sebagian dari hewan qurban adalah firman Allah SWT:

فكلوا منها وأطعموا اليائس الفقير

Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS. Al-Hajj: 28)

والبدن جعلناها لكم من شعائر الله

Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS. Al-Hajj: 36)

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.