Daun Ganja untuk Masakan

Assalamualaikum wr. wb.

Pak Ustadz yand dimuliakan Allah. Saya sering mendengar kata orang bahwa ada beberapa masakan tertentu, untuk penyedap rasa dan agar pelanggan ketagihan, mereka menggunakan daun ganja sebagai salah satu bumbunya, tentunya mungkin dalam kadar tertentu. Bagaimana tanggapan ustadz mengenai hal ini? Terima kasih.

Wassalamualikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ketika Allah SWT mengharamkan khamar di Al-Quran, semua orang lantas menghukumi bahwa khamar itu haram. Namun khamar yang dikenal oleh bangsa Arab saat itu adalah perasan buah kurma atau anggur yang mengalami proses fermentasi hingga level tertentu.

Di luar itu, bangsa Arab tidak mengenal jenis minuman keras lain. Al-Quran tidak pernah menyebutkan bahwa beer, vodka, brandy, mansion atau cognac. Lalu atas dasar apakah minuman tersebut bisa ikut dikategorikan sebagai khamar?

Para ulama ushul mencoba mencari ‘illat ketika mengqiyas antara khamar dengan minuman keras lainnya. Dan disimpulkan bahwa ‘illatnya bukan pada nama, atau jenis buah tertentu, melainkan pada efek yang ditimbulkan, yaitu mabuk (iskar). Dari ‘illat yang telah disepakati ini, kemudian dikembangkan sebuah ta’rif (definisi) dari khamar, secara lebih luas dan tidak terbatas pada perasan kurma atau anggur saja. Definisinya adalah segala yang bila diminum/ dikonsumsi akan mengakibatkan iskar (mabuk).

Maka yang termasuk khamar tidak lagi terbatas pada minuman, tetapi juga apa saja yang dimakan bahkan apa yang dihirup. Maka minuman tadi karena bisa mengakibatkan iskar, bisa dimasukkan ke dalam kategori khamar.

Bahkan daun ganja yang diproses sedemikian rupa lalu dibakar dan asapnya dihisap hingga mabuk, sudah termasuk kategori khamar. ‘Illatnya adalah karena asap ganja itu mengakibatkan mabuk (iskar) bila dihisap.

Kurma dan Anggur Sebelum Jadi Khamar

Kemudian timbul masalah, bagaimana dengan kurma atau anggur yang diperas namun belum sampai kepada kategori memabukkan? Misalnya masih berupa air fermentasi pada level tertentu yang bila diminum masih menyegarkan, manis dan enak tanpa efek memabukkan.

Dalam hal ini para ulama sepakat mengatakan hukumnya halal. Sebab batasan atau ‘illat haramnya khamar bukan pada jenis buahnya, melainkan pada efek mabuk (iskar) yang ditimbulkannya. Selama buah kurma dan anggur masih tidak memabukkan bila dimakan atau diolah, maka statusnya bukan khamar dan hukumnya halal.

Kemudian kita beralih pada daun ganja, bagaimana hukumnya?

Daun ganja bila diolah sedemikian rupa menjadi lintingan rokok, dibakar lalu asapnya dihirup, akan menimbulkan iskar (mabuk). Dengan demikian jelas termasuk khamar.

Tetapi bagaimana dengan daun ganja yang baru dipetik dan diolah bukan untuk menjadi zat yang memabukkan, adakah daun itu sudah langsung bisa dicap sebagai khamar?

Pertanyaan ini akan melahirkan dua pendapat yang berbeda, ada yang mengatakan tidak bisa dibilang khamar. Sebaliknya ada yang tetap menetapkannya sebagai khamar.

a. Pendapat pertama

Logikanya, selama daun ganja itu belum diolah menjadi zat yang memabukkan, dan bila dimakan sama sekali tidak menimbulkan efek mabuk dalam arti yang sesungguhnya, kecuali hanya sekedar menambah lezat, maka tidak ada alasan untuk menggolongkannya sebagai khamar.

Sebab efek mabuk (iskar) tidak terjadi, meski dimakan banyak atau sedikit. Sedangkan efek ketagihan tentu bukan ‘illah dari keharaman. Sebab banyak zat lain yang bila diminum atau dimakan bisa membuat orang ketagihan, tetapi bukan termasuk khamar.

b. Pendapat kedua

Mereka mengatakan bahwa daun ganja itu tetap haram hukumnya, meski digunakan bukan untuk mabuk.

Karena secara umum telah digunakan sebagai zat yang memabukkan. Ketika menjadi lintingan yang dihirup asapnya, daun itu adalah khamar dan hukumnya haram dihirup serta najis. Maka sejak masih jadi daun di pohonnya, benda itu sudah dianggap khamar dan najis, meski belum memberi efek mabuk.

Bagi pendapat ini, ketika digunakan untuk bumbu penyedap, tetap terhitung sebagai khamar yang haram hukumnya. Meski tidak menghasilkan efek mabuk.

Logika pendapat yang kedua adalah logika yang digunakan untuk menajiskan tubuh anjing. Meski hadits yang menetapkan kenajisan anjing hanya sampai sebatas air liurnya saja, namun para ulama yang menajiskan tubuh anjing mengambil kesimpulan bila air liurnya najis, maka tempat asal air liur itu najis juga.

Maka dalam hal ini perut anjing sebagai sumber air liur hukumnya najis. Dan kalau perut anjing itu najis, maka apapun yang keluar dari perutnya juga najis. Air keringat anjing sumbernya juga dari perut, maka air keringatnya najis. Dan air keringat itu keluar lewat pori-pori, kulit, daging, otot dan lainnya, maka semuanya juga ikut najis.

Dengan demikian, kita dihadapkan pada dua pilihan hukum, yang memang diperdebatkan oleh para ulama. Perbedaannya berangkat dari logika penarikan hukum, meski sumber dalilnya sama. Dan fenomena khilaf seperti ini seringkali terjadi.

Adapun bila masakan yang menggunakan daun ganja sebagai penyedap itu memberikan efek iskar (mabuk), maka kita semua sepakat mengharamkannya. Maka masalah akan terpulang kepada si pengolah masakan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.