Al-Quran Mengajarkan Perubahan (3)

Oleh: DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris*

Sarana Perubahan

Upaya untuk membangun kembali kehidupan yang Islam dan mendirikan entitas politik bagi umat Islam itu seyogianya dilakukan melalui organisasi yang efektif. Organisasi adalah sekumpulan orang yang saling menjalin hukuman, harmoni dan tertib, memiliki tujuan-tujuan yang telah digariskan, memiliki pemimpin yang memenej urusan-urusan kelompok tersebut dan menjaga maslahatnya, serta membuat program-program baginya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Semua anggota terikat dengan satu aturan atau sistem tertentu, yang membatasi hak dan kewajiban setiap individu dan pimpinan.

Usaha melalui organisasi memiliki dasar-dasar syar’inya. Karena Islam merupakan akidah yang melahirkan syari’at. Syari’at inilah yang mengatur hubungan individu dengan Rabb-nya, dirinya, keluarganya dan orang lain, hubungan individu dengan pemerintah yang berkuasa dan hubungan negara Islam dengan negara-negara lain. Implementasi syari’at Islam hukumnya wajib. Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak terlaksana itu hukumnya juga wajib.

Orang-orang kafir menghadapi orang-orang mukmin pun dengan organisasi; mereka saling membantu dan menopang satu sama lain. Karena itu, seyogianya orang-orang mukmin membentuk satu organisasi untuk menghadapi organisasi orang-orang kafir. Sebuah organisasi yang dilandasi dengan loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya Saw. dan orang-orang yang beriman. Jika orang-orang mukmin tidak melakukannya, maka orang-orang kafir yang terorganisir itu akan mengalahkan orang-orang mukmin yang tercerai-berai dan tidak terhimpung dalam suatu organisasi. Allah berfirman,

وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ 

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS Al-Anfal [8]: 73)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ  

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar.” (QS At-Taubah [9]: 71)

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ 

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf.” (QS At-Taubah [9]: 67)

Maksudnya, sebagaimana orang-orang munafik, fasik dan berbuat rusak, baik laki-laki dan perempuan, itu berkumpul untuk merusak masyarakat dan menyebarkan kemungkaran di dalamnya, maka orang-orang yang shalih dan ahli ibadah, baik laki-laki atau perempuan, itu hendaknya juga menyatukan tenaga mereka dalam satu organisasi yang dapat merealisasikan misi perbaikan dengan menyebarkan kebaikan dan keshalihan di tengah masyarakat.

Islam adalah agama kolektif, bukan agama individual. Islam tidak terealisir dalam realitas kehidupan kecuali melalui sebuah jama’ah yang terorganisir dan memiliki pemimpin, dimana jama’ah tersebut mendengar, taat dan membela pemimpinnya. ‘Umar bin Khaththab RA berkata, “Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan seorang pemimpin dan tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya ketaatan.”

Memang, agama ini tidak dapat terealisir ajaran-ajarannya kecuali melalui satu jama’ah. Karena itu, kita dapat menemukan perintah kepada satu badan organisasi dan jama’ah. Misalnya, Anda membaca firman Allah Ta’ala,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ 

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS An-Nur [24]: 2)

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS Al-Maidah [5]: 38)

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur [24]: 4)

 Allah berbicara dan memerintahkan kepada jama’ah untuk melakukan dera, meskipun yang didera dan yang dipotong tangannya hanya satu orang. Tetapi, Allah berbicara kepada jama’ah karena jama’ah-lah yang berkemampuan untuk melakukan hukuman potong tangan daan dera. Dari sini, jama’ah berdosa apabila tidak berkemampuan untuk memotong tangan orang yang harus dipotong tangannya, atau mendera orang yang harus didera.

Siapapun yang membaca sirah para Rasul, terutama sirah Rasulullah Saw. di dalam dakwahnya, fase-fase yang dilaluinya dan sarana-sarana yang ditempuh dalam setiap fasenya, maka ia akan menemukan bahwa Rasulullah Saw. memulai dakwahnya dengan mengorganisir jama’ah muslim. Organisasi ini memiliki pemimpin, yaitu Rasulullah Saw. Setiap orang yang memeluk agama ini akan melepaskan setiap loyalitas kepada pemimpin jahiliyah, untuk diberikannya kepada pemimpin Islam. Ia menyerahkan seluruh tenaga, harta dan kemampuan untuk dikelola pemimpin, untuk mengabdi kepada agama ini.

Proses reformasi dan perubahan sosial harus melalui sebuah jama’ah yang solid bangunannya, yang bersatu padu dalam mengusung kebenaran, menyuarakannya dan sabar menghadapi akibat-akibatnya. Allah berfirman,

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103]: 1-3)

Kata kerja ﭝ mengikuti pola تَفَاعَلَ yang mengandung arti kebersamaan. Maksudnya, sebagian dari mereka menasihati sebagian lain. Jadi, sebagian dari anggota organisasi itu ketika diminta untuk mengusung dan menyuarakan kebenaran itu terkadang merasa ragu untuk merespon permintaan tersebut dan terkadang ia tidak menyukainya. Karena berkata yang benar itu berat di hati. Maka dari itu, sebagian dari anggota organisasi yang lain menasihati orang yang demikian hatinya agar mau mengusung kebenaran dan mengingatkannya akan bahaya keengganan untuk memikulnya. Setelah itu, hatinya pun menjadi kuat berkat nasihat-nasihat mereka.

Demikian pula, mengusung dan menyuarakan kebenaran itu pahit rasanya. Hal tersebut juga mengakibatkan tekanan dari para thaghut terhadap siapapun memberanikan diri untuk melakukannya. Ia akan difitnah, disiksa, dipenjara dan diasingkan. Ketika ia berada dalam sebuah jama’ah yang terorganisir, maka akan ada kawan-kawan yang memotivasinya untuk sabar, menghiburnya saat melewati jalan yang terjal dengan kalimat-kalimat yang lembut yang dapat meringankan musibahnya, menjelaskan watak perjalanan. Jalan surga adalah kesabaran. Tetapi ketika seseorang menghadapi sendiri arus-arus yang menghantam dengan kuat, dahsyat dan mematikan, tanpa ada seorang teman yang menghibur dan meneguhkan kesabarannya, maka ia menjadi lemah untuk melakukan perlawanan dan pada akhirnya ia akan tumbang.

Agama Islam mewajibkan para pengikutnya untuk saling menolong dalam sebuah organisasi harakah yang memiliki tujuan dan sarananya. Individu-individu merapatkan barisan di atas garis akidah, dengan loyal kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah menyebut jama’ah ini dengan nama Hizbullah. Allah berfirman,

 
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS Al-Maidah [5]: 55-56)

Ustadz Sayyid Quthub sering berbicara tentang urgensi perjuangan melalui sebuah organisasi harakah dan ia menyebutnya dengan istilah tajammu’ haraki ‘adhwi (perhimpunan harakah yang terorganisir). Beliau mengatakan, “Oleh karena jahiliyah itu tidak berbentuk teori semata, tetapi ia juga berbentuk perkumpulan pergerakan sedemikian rupa, maka usaha untuk menenggelamkan jahiliyah dan mengembalikan manusia sekali lagi kepada Allah tidak boleh hanya berbentuk teori semata. Karena teori tidak dapat mengimbangi jahiliyah yang benar-benar eksis dan mengejawantah dalam sebuah perhimpunan gerakan yang terorganisir, alih-alih mengalahkannya. Sebagaimana yang dituntut dalam usaha untuk menghilangkan sesuatu yang benar-benar eksis dan menggantinya dengan eksisten yang lain, yang berbeda dari segi watak dan manhajnya dan secara universal atau parsialnya. Sebaliknya, upaya baru ini harus dalam bentuk perhimpunan harakah terorganisir yang lebih kuat fondasi teoritik dan organisasinya, serta ikatan dan hubungannya daripada perhimpunan jahiliyah yang benar-benar eksis tersebut.”

Di tempat lain Sayyid Quthub menyatakan, “Dari sini, fondasi teoritis Islam harus mengejawantah dalam sebuah perhimpunan organisasional harakah yang berbeda dengan perhimpunan jahiliyah. Ia harus terpisah dan mandiri dari perhimpunan pergerakan jahiliyah yang hendak ditumbangkan Islam. Dan yang menjadi poros bagi perhimpunan baru ini haruslah kepemimpinan baru yang diwakili oleh Rasulullah Saw. dan orang-orang sesudah beliau, dalam setiap kepemimpinan Islami yang bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada uluhiyyah, rububiyyah, qawamah, hakimiyyah (hak menetapkan hukum), kekuasaan dan syari’at Allah.” (bersambung)

*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris

DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.

DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.

Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.