Cara Mengobati Krisis Akhlak (1)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***

A6. Cara Pemakaian Obat

Obat telah kita paparkan, lalu bagaimana cara kita memanfaatkan obat itu. Bagaimana kita menjadi orang-orang yang hatinya terwarnai oleh hakikat ubudiyyah sempurna kepada Allah, tidak diperbudak oleh harta, kedudukan, interes pribadi dan penyakit-penyakit hati seperti egois, sombong, ujub dan efek-efeknya yang berbahaya.

Tidak diragukan lagi, caranya tidak ringan dan mudah. Caranya adalah dengan jalan berjihad dan bersungguh-sungguh, sebagaimana firman Allah :

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ

“ Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu.” (QS. Al Hajj : 78)

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.” (QS. Al Ankabut : 69)

Sebuah jalan yang mepertegas perbedaan antara mukmin yang sejati dan munafik bermuka dua dalam keberagamaan dan keimanannya. Sebuah pelindung yang menjadikan seorang muslim tidak tergolong dalam sabda Rasulullah saw :

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ ،َ تَعِسَ عَبْدُ الْقَطِيفَةِ ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ (رواه البخاري وابن ماجه)

“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba baju yang indah, celakalah dan sengsaralah, ketika terkena durinya maka tidak akan ada yang bisa menolongnya. Ketika diberi mereka ridha, dan ketika tidak diberi mereka meradang.” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah)

Dia ibarat aparat yang menjaga iman kita dari dua serigala lapar, yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam sabdanya :

“Tidaklah dua serigala lapar yag dilepas dalam kerumunan kambing, itu lebih berbahaya dari pada kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan dengan mengorbankan agamanya.” (HR. Turmudzi, Ahmad dan Abu dawud)

Karena urgensi jihad ini sebagai satu-satunya jalan yang membawa kita pada ridha Allah, sekaligus juga yang menunjukkan kepada medan ubudiyyah yang sesungguhnya, maka para pendahulu kita yang baik telah mencurahkan seluruh kemampuan yang mereka miliki untuk meniti jalan ini.

Mereka lawan nafsu mereka, mereka kendalikan hawa nafsunya dengan berbagai macam cara. Sampai-sampai mereka melakukan hal yang sedikit melampaui batas kewajaran, pagar syariat dan petunjuk nubuwwah.

Kami paparkan hal ini semua, sesuai dengan kesepakatan para pendahulu kita yang baik dan petunjuk-petunjuk yang ada dalam kitab dan sunnah Rasul-Nya. Kita sadarkan diri kita sesadar-sadarnya, bahwa ini adalah inti dari ajaran Islam. Ini adalah tangga satu-satunya menuju pencapaian manhaj Ilahi yang di wajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Ini adalah kunci kemudahan bagi segala kesusahan, kunci persatuan bagi segala ikatan dan kunci kemenangan yang kita impikan.

Kami ingatkan diri kami untuk pertama kalinya, lalu kami berwasiat kepada saudara-saudara kami yang kami cintai, dengan selalu berharap kepada taufiq dan pertolongan Allah.

Cara-cara pemakaiannya.

Pertama : Perenungan kita akan jati diri dan tujuan akhir kita, merasakan pengawasan Allah yang melekat dan membangkitkan kesadaran kita ketika lalai dan lupa.

Merenung adalah aktifitas akal, tanpa renugan maka akal tak akan berguna. Renunganlah yang membebaskan akal kita dari kekuatan nafsu dan ikatannya. Tanpa renungan maka kita tidak akan bisa membedakan antara petunjuk akal sehat dan bisikan nafsu.

Karenanya, tidak heran jika Allah swt selalu menutup ayat-ayat kauniyyah dengan harapan-harapan terhadap manusia, semoga mereka berfikir (la’allakum tatafakkarun), sesungguhnya dalam ayat ini ada banyak pelajaran bagi orang-orang yang berakal (inna fii dzalika laayaatil liqaumiy yatafakarun), Maka apakah mereka tidak mau berfikir (Afala tatafakkarun).

Karena itulah titik tolak utama risalah Nabi Muhammad saw, sebagai seorang mukmin, dai dan mujahid, adalah berawal dari renungan yang berkesinambungan. Bukanlah hal yang sia-sia, ketika Allah swt mengilhamkan ke dada Rasulullah saw untuk cinta menyendiri dalam sepi, jauh dari hingar bingar dan kerusakan masyarakat. Tujuannya adalah agar Beliau bisa menjernihkan pandangan, dengan banyak berfikir dan merenung di gua hira dalam waktu yang lama.

Ketika perenungan dilakukan dengan kondisi tempat yang sepi, jauh dari tarikan nafsu, syahwat dan polusi duniawi, maka perenungan tersebut akan membuahkan kejernihan dan kedekatan pada kebenaran. Diri manusia sendirian menghadapi bisikan-bisikan dan dorongan-dorongan yang muncul dari berbagai jendela dan pintu yang terbuka luas di hadapannya. Ada akal sehat dan logika yang lurus. Ada keinginan-keinginan dan syahwat yang melekat dalam diri kita. Ada penolakan-penolakan dari rasa kurang, sombong dan fanatisme. Ada ikatan-ikatan yang muncul karena benci, dengki, iri dan berebut meraih sesuap dunia dan hiasannya yang menipu.

Bukanlah posisi yang benar, ketika kita mendengarkan dorongan dan bisikan suara-suara ini. Tapi kita harus bisa memposisikan diri kita sebagai pendengar yang baik, dengan menjadikan akal sehat dan logika yang jernih sebagai hakim atas semuanya, sehingga semua menjadi jelas dan tegas di hadapan kita.

Kemampuan seperti ini tidak akan didapat kecuali setelah melalui perenungan dalam waktu yang panjang dan kontinyu, sehingga mampu mengisi usia penuh petuah. Dengan menyendiri, berdialog dengan akal sehat dan logika yang jernih, tentang jati diri dan tujuan akhir dari hidupnya. Apa yang berkembang dan mandeg dalam kehidupannya. Dengan sarana dzikir kepada-Nya, merenungi pelajaran besar yang disampaikan melalui lisan dan petunjuk langsung Rasul-Nya.

Bukan berarti kami menganjurkan umat ini untuk mengisolasi diri, hidup terasing dari masyarakat, tinggal di gua-gua dan lembah-lembah terpencil. Ini bukan fitrah manusia dan bukan pula misi hidup setiap muslim.

Kami hanya mengajak meluangkan waktu khusus untuk akal sehat kita setiap kita merasa ada yang penting dengan kantong modal hidup kita. Kita melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh para pedagang yang menghabiskan usianya dalam kerumunan manusia dan keramaian pasar.

Kondisi tersebut tidak perlu membuatnya tidak bisa berdiam sejenak, meluangkan waktunya untuk menyendiri di kamarnya. Jauh dari anak, istri dan sahabat dekat. Berkonsentrasi penuh dengan buku, kertas dan alat hitung bisnisnya. Kalau bukan karena waktu luang yang mereka usahakan di sela-sela kehidupan mereka ini, mungkin bisnis di pusat perdagangannya yang ramai itu tidak mendatangkan kecuali kerugian dan penyesalan yang berkepanjangan.

Kami mengajak umat ini untuk menempuh jalan kebebasan berfikir, berlepas diri secara sadar dan tidak sadar dari segala dorongan fanatisme, bisikan kebaikan palsu dan aneka ragam tarikan nafsu syahwat, sehingga kita menemukan keyakinan telah berjalan di atas manhaj yang didukung oleh akal sehat yang merdeka.

Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw dalam hidupnya ini, dengan menyepi dan menyendiri untuk merenung, menjadi pelajaran sekaligus kehormatan bagi umatnya.

Kita tidak lupa pula, bahwa di antara faktor yang mendukung kita untuk selalu sadar dan merenung adalah intensitas kita duduk-duduk berdekatan dengan orang-orang shalih.

Sebaliknya, jika kita ingin jauh dari kesadaran dan aktifitas perenungan, maka bergabunglah dengan orang-orang yang lalai di panggung kesia-siaan mereka. Nikmatilah tempat-tempat yang menjadikan umur kita murah tak berharga, larut dalam permainan dan hiburan yang tidak mendatangkan kebaikan di akhirnya, sibuk dengan gosip murahan yang ditamsilkan sebagai aktivitas makan daging bangkai saudara.

*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.

Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.

Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.

Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.