Cara Mengobati Krisis Akhlak (3)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***

Cara ketiga, memperbanyak doa, harapan dan ketundukan kepada Allah.

Obat penawar ini adalah ibadah yang memiliki nilai penting dalam Islam. Obat penawar ini adalah initisari ibadah dan sikap ubudiyyah yang memiliki nilai kedekatan paling tinggi kepada Allah swt.

Allah kukuhkan perintah berdoa dalam kitab-Nya, begitu banyak ayat yang berkenaan dengan perintah berdoa dan Allah jadikan berdoa sebagai ciri utama hamba Allah yang ikhlash.

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“ Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf : 55)

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Ghafir : 14)

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).” (QS. Al A’raf : 56)

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (QS. Al Anbiya’ : 90)

Seseorang akan merasakan pentingnya doa dan bersimpuh dihadapan Allah swt, ketika ia merasa sangat butuh kepada Allah, ketika ia yakin tidak ada yang mampu menolongnya kecuali Allah, tidak ada harapan yang bermakna kecuali kepada-Nya. Pada kondisi seperti ini, orang tersebut akan berdoa dengan hati yang jujur, sadar dan penuh khusyu’.

Ibarat orang yang jatuh dalam kubangan masalah yang benar-benar sulit, tidak ada seorang pun yang mampu untuk membantu mengatasinya, hingga ia sampai pada batas asanya. Dan iapun yakin, hanya Allah satu-satunya yang mampu menyelamatkan dan membebaskan dirinya dari kesulitan, masalah dan bencana yang menimpanya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, menengadah ke langit dengan mengucapkan untaian doa dari lubuk hati dan lidahnya, Ya Rab (wahai Tuhanku).

Adapun orang yang tidak merasa butuh kepada Allah, tidak pernah merasa dalam kesempitan atau kesusahan hidup, maka ia tidak pernah akan berdoa. Karena tidak ada rasa butuh, tidak ada kesulitan yang mendesaknya untuk berdoa, memohon untuk dihindarkan darinya. Orang ini seperti orang yang tenggelam dalam dekapan mashiyat yang haram, larut dalam gelombang ombak nafsu syahwat yang menggulung, ia tidak merasa kecuali nikmatnya syahwat sementara. Jika kita menasihatinya untuk berdoa agar dirinya terlepas dari yang keburukan yang telah menimpanya, maka ia pasti mentertawakan kita dan menyuruh kita mendoakan untuk dirinya : “berdoalah kepada Tuhanmu semoga ia menimpakan kemalangan dan kecelakan atasmu.”

Mungkin dia mengangkat tangan, menggerakkan lidah, berdoa dengan sekedarnya, atau ia mengamini doa yang lain. Sikap seperti ini bukanlah doa yang sebenarnya, doa yang hanya berisi kepura-puraan dan sekedar ikut-ikutan, doa yang jauh dari tuntunan Allah swt.

“ Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al A’raf : 55)

Contoh nyata yang terpampang di hadapan kita adalah orang-orang yang berenang dalam lautan kemunkaran dan dosa, ketika kita menasehati mereka agar menggunakan akal sehat mereka, mengingatkan kepada Allah dan adzabnya yang pedih, maka ia akan mengangkat tangan berdoa : “Ya Allah berilah hidayah kepada kami.”

Ia berdoa di depan kita dengan doa yang indah, namun di belakang kita hatinya berulang-ulang berdoa dengan kebalikannya. Ia sejatinya khawatir terjauhkan dari kesenangan dan kemakshiyatan yang digandrunginya, bahkan ia berharap pintu kemakshiyatan semakin melebar dan mudah.

Ia berdoa hanya ketika ada di depan kita, agar terlepas dari pahitnya nasihat dan sekaligus lari dari kenyataan yang memojokkannya.

Apabila seorang pendosa sadar, merasakan kehinaan makshiyat yang dilakukannya, hatinya merasa menyesal sedalam-dalamnya atas dosa dan kemaksitan yang telah menjeratnya, lalu ia mengangkat kedua tangannya, memohon hidayah dan inayah kepada Allah, maka inilah doa yang benar, sesuai dengan perintah Allah swt.

Yang membantu manusia bisa berjalan dengan istiqamah adalah taufiq (arahan) Allah. Ketika taufiq hilang dari hati seorang pemuda shalih yang istiqamah, maka seketika itu pula terlemparlah pemuda tersebut ke lubang kesesatan yang paling dalam.

Taufiq Allah bisa kita peroleh dengan dua hal ; pertama, kesungguhan niat untuk berbuat baik. Kedua, Doa yang tulus kepada Allah dengan disertai rasa khusyu dan menghamba kepada-Nya.

Ketika seorang muslim bersungguh-sungguh dan istiqamah dalam meniti jalan mardhatillah (keridhaan Allah), kemudian menghiba di sisi Allah dengan hati yang khusyu dan tunduk, maka Allah akan mengawalnya menuju jalan hidayah dan menjaganya dari keburukan nafsu dan syaithan.

Ada seorang mahasiswa yang datang kepada kami, mengadu akan sakit dan pedih hatinya. Nafsunya selalu menarik-narik dirinya untuk melakukan dosa, dan hampir-hampir ia tak mampu mengendalikan dan menguasainya. Apalagi kondisi kampus lebih menambah kelemahannya dalam mengatasi pergolakan nafsunya. Mahasiswa tersebut berharap kepada kami agar menunjukkan solusi untuk keluar dari kemelut siksaan nafsu yang menyakitkan hatinya.

Kami berkata kepadanya : “wahai anak muda, bukankah engkau telah tahu kepedihan dan harapan yang mendasari pengaduanmu kepada kami, maka paparkanlah epedihan dan harapan yang mendasari pengaduanmu kepada Tuhanmu. Bermunajah dan bersimpuhlah di hadapan-Nya di waktu engkau hanya berdua-duaan dengan-Nya. Mintalah agar Dia memberikan taufiq dan kekuatan padamu. Jika engkau lakukan ini berulang kali, terus menerus, maka Allah pasti akan mengabulkan permohonanmu, dan membebaskan dirimu dari siksaan nafsumu dengan cara yang paling mudah.”

Ketika seseorang sampai pada suatu kondisi terpaksa harus mengangkat tangannya, memohon kepada yang bisa menolong dirinya terbebas dari adzab yang menimpa, lalu ia tidak menemukan selain Allah sebagai penolongnya, maka itulah kulit luar ubudiyyah kita yang telah Allah jadikan sebagai fitrah. Adapun ketika seseorang berdiri di hadapan Allah dengan penuh rasa khusyu dan mnghiba, berdoa, memohon dan berharap, maka itulah inti ubudiyyah yang harus diusahakan oleh setiap anak manusia.

Mungkin saja kita menemukan orang-orang yang meremehkan masalah doa ini, mereka beralasan bahwa yang kita minta dalam doa, kemungkinan ada yang telah ditulis dan ada yang tidak dituliskan oleh Allah dalam takdir. Kalau permintaan itu sudah tertulis, apalah artinya doa, tapi jika tidak tertulis, berarti doa tidak dibutuhkan sama sekali.

Kami tidak ingin berpanjang lebar membahas pertanyaan ini dengan jawaban para ulama dalam kitab tauhid, namun kami akan membahasnya dengan cara yang lain.

Kami katakan, Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk bedoa dan menjanjikan ijabah (terkabul) nya doa tersebut. Allah swt berfirman :
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir : 60)

Janji Allah pasti, tidak mungkin akan diingkari. Apa yang harus kita ragukan, mengapa kita mempertanyakan hal yang tidak menjadi urusan dan tanggung jawab kita, mengapa kita melarutkan pikiran pada urusan yang Allah sudah atur dan tentukan dengan kekuasaan dan keagungan-Nya.

Qadha Allah adalah butir-butir ketetapan Allah, ijabah (terkabulnya) doa adalah janji yang akan ditepati oleh Allah. Posisi kita adalah hanya tunduk kepada ketetapan Allah, yakin dengan janji dan menyerahkan seluruh urusan kepada-Nya.

Dari uraian kami di muka, kita mengambil pelajaran bahwasanya, seorang muslim harus menulusuri penyakit batin apa yang tersembunyi dari pengamatan orang lain dan juga dirinya selama ini. Kemudian dia merasakan bahaya dari penyakit ini yang menghalanginya dari keridhaan Allah, sekalipun dalam tataran lahir amal ibadahnya sempurna dan lurus.

Apabila ia memiliki perasaan seperti ini, ia berusaha untuk mencari obat penawarnya, dengan dua obat yang telah kami jelaskan di muka, di barengi dengan doa kepada Allah tanpa henti, dengan penuh khusyu, kerendahan dan hati yang menghiba. Ia yakin dirinya tidak mampu untuk mendatangkan manfaat atau mudharat, tidak memiliki kekuasaan atas kematian dan kehidupan, apalagi kebangkitan menuju Allah swt. Ia yakin hatinya ada dalam genggaman Allah swt. Allah yang mampu mengobati segala penyakit dan membebaskan dari keburukan dan bahayanya.

Ia berusaha mencari sarana dan cara menuju Allah, dengan kesungguhan dan ketulusan niat, dengan kerendahan dan penghiibaan hati di sisi kebesaran Allah swt.

Ia berusaha memilih waktu yang tepat dan dekat untuk dikabulkan doanya, di penghujung waktu sahur, waktu di mana keramaian para pendosa malam terhenti, mata setiap manusia lebih suka tenggelam dalam tidurnya, lalu ia pun merasakan pengawasan dan kedekatan Allah swt.

Ia berusaha menghapus desakan kantuk yang menggantung berat di matanya, lalu bangun bangkit berwudhu. Lalu berdiri di hadapan Allah dengan penuh ruh kehambaan. Disusul kemudian dengan mengangkat kedua tangan, memohon kepada Allah dengan selaksa keyakinan, Allah pasti melihat kekhusyuan dan kerendahan dirinya di hadapan-Nya.

Allah pasti mendengar tangis dan pengaduannya. Allah pasti merasakan derita dan kepedihan hatinya. Lalu dia memohon kepada-Nya agar membersihkan hatinya dari segala kotoran dan penyakit, menjauhkannya dari dosa lahir maupun batin. Ia terus menerus berdoa dan tak henti-hentinya berharap. Ia menangisi dirinya, hari-harinya yang telah berlalu dalam kelalaian dari mengingat Allah dan lalai dalam menjaga hati.

Seandainya kita bisa melakukan hal ini dan istiqamah di dalamnya, maka doa kita insyaAllah akan selalu dikabulkan, segala urusan akan dimudahkan, segala rahasia akan dibersihkan, ibadah akan nikmat dan doa kita akan sampai kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.

Kita beusaha tsabat (teguh) di jalan ini, karena inilah jalan pelarian satu-satunya menuju Allah agar terbebas dari penyakit diri kita. Ini adalah tangga satu-satunya menuju derajat yang tinggi di sisi Allah. Selama hayat masih dikandung badan, maka selamanya kita akan selalu berusaha naik tangga ini dengan benar. Jika tidak, maka bersiaplah untuk terpeleset dan jatuh kembali dalam kubangan masa lalu yang kelam.

*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.

Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.

Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.

Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.