Media Pengobatan Krisis Akhlak (1)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***


A.7. Kami tidak peduli dengan label

Apapun nama obat penawar ini, bagi kami tidak lah penting. Apakah tashawwuf, suluk ataukah tarbiyah.

Mungkin ketiga nama tersebut bisa kita pakai, atau mungkin kita masih punya stok satu nama atau beberapa nama yang lain, bagi kami itu bukan suatu masalah.

Sebagian dari umat Islam memberi judul tema bahasan kita dengan tashawwuf, sebagian yang lain dengan suluk, seperti imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab fatawanya jilid kesepuluh. Semua ini adalah istilah saja yang tidak ada pembatasan nama di dalamnya.

Namun menurut kami, ketika kita diminta untuk memilih nama yang terdekat dan memiliki keterkaitan kuat dengan tema bahasan kita ini, maka “Islam” adalah nama yang paling dekat.

Karena Islam lah, dengan dua sumber hukumnya, Al Quran dan Hadits, kita mengetahui bahaya dari penyakit yang tersembunyi di dasar hati kita, sekaligus juga obat penawar dan cara pemakaiannya.

Bagi kita, sunnah Rasulullah saw dan sahabatnya adalah contoh praktis dalam hal penyakit hati dan obatnya, dan Islam sejatinya sarat dengan kebenaran ini.

Dan alasan lainnya adalah, secara bahasa Islam ini memiliki keterkaitan makna dengan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. Islam menunjukkan inti ajaran kedua wahyu ini. Dengan kata Islam ia mengandung makna pengawasan Allah yang menjadi titik sentral bagi obat penawar penyakit hati sekaligus cara pemakaiannya. Juga menjadi tameng bagi masuknya unsur lain ke dalam ajaran Islam itu sendiri.

Sebaliknya, penamaan obat penawar ini dengan selain nama Islam, secara lahir masih berada dalam koridor Islam, namun tidak menutup kemungkinan bagi menyusupnya ajaran lain ke dalam inti ajaran Islam.

Kami telah sering melihat, betapa banyak bidah dan kemunkaran yang dengan mudah menyusup ke dalam inti ajaran Islam, melalui nama dan label yang awalnya bersih dan lurus. Namun seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit, lahirlah nama-nama turunan dan simbol-simbol baru yang menodai kebersihan dan meyelewengkan kelurusannya.

Ditambah lagi, pandangan salah yang menyelimuti pemikiran umat Islam, bahwa tashawwuf adalah salah satu madzhab dalam Islam. Para shufi adalah salah satu golongan di antara golongan yang lain dalam umat ini. Pandangan salah ini semakin diperparah lagi dengan hasil riset, analisa dan studi para orientalis yang menganggap tashawwuf sebagai sarana aktualisasi diri dan kebebasan. Mereka berharap agar umat ini semakin yakin bahwa para penganut tashawwuf dan pelaku suluk itu adalah sebuah golongan para kreator yang berusaha menyusun konsep ajaran tertentu sebagaimana golongan yang lain memiliki konsep ajaran berbeda dalam menjalani keIslaman mereka.

Tidak diragukan lagi, golongan ini dalam satu kesempatan mereka muncul ke permukaan dengan menonjolkan baju “hakikat”. Karena memang sejatinya mereka telah memasukkan kreasi-kreasi baru dan kemunkaran dalam ajaran Islam, yang mana Islam bersih dan berlepas diri darinya.

Alasan-alasan inilah yang mendorong kami untuk memilih kata Islam dan bukan kata yang lainnya, baik pada tingkatan cabang maupun asal ajaran Islam yang hakiki.

Namun dengan rasa sedih kami katakan, kebanyakan umat yang cenderung pada label Islam, menganggap remeh obat penawar hati ini dan sarana-sarana yang disyariatkan untuknya. Di sisi lain mereka alergi dan memposisikan diri sebagai penentang terhadap tashawwuf secara total.

Mereka beranggapan bahwa orang-orang yang memiliki agenda rutin untuk dzikir, wirid dan olah ruhani untuk mengekang nafsu, sebagai para pengikut tashawwuf. Mereka tidak akan ridha untuk mengikuti jalan pengikut tashawwuf ini, karena dalam pandangan mereka, jalan itu adalah jalan keluar yang menyimpang dari Islam.

Mereka telah memberikan label untuk obat penawar yang kami sampaikan dan penyakit-penyakit hati yang kami peringatkan akan bahayanya, dengan label yang tidak sebenarnya. Lalu mereka sepanjang hidupnya telah terlewatkan dari bagian terbesar ajaran Islam, karena kesalahan dan keanehan pandangan mereka.

Kalau seandainya mereka sedikit mau merenung, maka mereka pasti akan sadar bahwa aktifitas untuk membina hati dan jalan yang disyariatkan untuk sampai kepadanya adalah merupakan inti dan ruh ajaran Islam.

Kalau saja mereka mau berfikir, maka mereka pasti sampai kepada kesimpulan bahwa jalan yang ditekuni oleh saudara-saudara mereka itu sama sekali tidak keluar dari ajaran Islam, dan mereka tidak akan memberikan label kecuali dengan label nama yang sebenarnya.

Jadi ketika ketika kita memberikan label tashawwuf yang ternyata dalam realitas para pemikir dikesankan sebagai sarana aktualisasi diri dan kebebasan, maka dengan label Islam, terhindarlah kita dari bias pemahaman baik di cabang maupun asal ajaran Islam yang hakiki.

*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.

Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.

Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.

Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.