Salah Paham tentang Mihnah (4)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***

B.6. Orang-orang yang tidak memahami konsep ini

Sekalipun begitu, masih banyak juga orang yang tidak memahami hakikat yang kami jelaskan dan berkata dengan nada sinis : “Sudahlah kita nggak perlu menyertakan Tuhan dalam urusan baik dan buruk, biarkan ujian kebaikan dan keburukan dengan sendirinya memperlakukan kami sekehendaknya, bisa jadi kami berhasil atau gagal dalam ujian tersebut.”

Orangseperti ini sedari awal tidak memahami makna ujian kenikmatan dunia yang sarat dengan hakikat kesulitan dan kekerasan yang telah kami gambarkan.

Alasan utama orang ini adalah hati mereka yang paling dalam tidak pernah membenarkan akan kebearadaan Allah swt, hari akhir dan urusan-urusan yang mengikut setelahnya, seperti hisab (penghitungan amal), siksa dan nikmat yang kekal, yang kesemuanya berkaitan dengan prilaku manusia di masa hidupnya.

Pijakan berpikir kami dalam pembicaraan kita ini, dalam menjelaskan makna ujian adalah keyakinan kuat kita akan keberadaan Allah swt yang Maha Esa, membenarkan apa yang ada dalam kitab-Nya yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, juga segala hal yang dibawa oleh para nabi dan Rasul as sebelumnya, yang berkaitan dengan bangkitnya manusia dari tidur panjang mereka di alam kubur, menghadap Allah swt dan melihat balasan baik atau buruk atas apa yang telah ia lakukan ketika ia ada dunia.

Orang yang tidak memiliki pijakan beerpikir ini, maka secara logika mereka tidak akan pernah membenarkan apa yang kami katakan. Karena dia tidak berdiri bersama di atas dunia dengan akar permasalahan yang menjelaskannya. Dan sangat tidak logis, jika mereka berbeda dengan kami lalu tidak mau atau berpura-pura tahu tentang asas pijakan berpikir ini, lalu berlalu dalam hidupnya dengan menghabiskan seluruh waktu yang berharga dalam diskusi panjang yang tak pernah selesai dalam pertanyaan kekanak-kanakan.

Ujian kebaikan dengan makna yang telah kami jelaskan di muka tidak akan diterima oleh orang yang tidak memahami hakikat hidup ini, tidak mengenal baik jati diri, perjalanan kritis mereka dalam alam semesta ini.

Secara naluriah, orang seperti ini akan menjalani kehidupannya dengan berbagai aktifitas yang beragam dalam hidupnya, ia ibarat binatang ternak yang matanya terbuka melihat pakan di depannya, lalu kepala menjuntai menikmati pakan tersebut, tanpa memahami hal lain yang ada di sekitarnya dan tidak mengerti sama sekali apa yang dikehendaki dari dirinya.

Hanya saja ketidaktahuan atau sikap acuh orang tersebut tidak akan merubah hakikat yang telah kita pahami dari awal. Sesungguhnya minuman beracun yang diminum oleh salah satu dari dua orang yang sedang minum, tidak akan merubah tabiat air dan racun yang ada di dalamnya, begitu juga tidak berakibat fatal kepada sahabatnya sehingga menjadi orang yang bodoh dan peragu. Dan seandainya ia diberi kesempatan untuk melihat racun yang ada di dalamnya, maka ia pasti akan waspada dan menghindarinya.

Berdasarkan perbedaan ilmu ini, gelas air beracun yang ada di dekat mereka, bagi orang yang kedua tadi, sekalipun rasa haus telah menekan kerongkongannya, maka inilah yang disebut ujian, lalu mereka tidak goyah dan tetap sabar. Sementara di sisi lain kondisi ini bukan merupakan ujian bagi sahabat pertamanya, bahkan baginya nikmat besar yang membawa angin kebahagiaan dan kesenangan. Namun itu adalah dugaannya yang salah, yang tidak berdiri di atas logika yang benar dalam memandang hakikat permasalahan ini.

Ketika seseorang memahami bahwa dunia adalah satu-satunya kehidupan, tidak ada kehidupan setelahnya, maka mereka selamanya tidak akan memahami makna sabar atas ujian dan makna syukur atas nikmat. Orang ini tidak akan pernah membebani dirinya untuk sabar atas kemudharatan yang menimpanya, juga untuk bersyukur atas kebaikan yang diperolehnya.

Orang model seperti inilah yang hidupnya sarat dengan keluh kesah dalam setiap musibah yang menimpanya, selalu mempertanyakan keadilan Allah swt dan terus mereka-reka ending kehidupannya. Karena orang ini tidak memahami makna bahagia dan sengsara kecuali dengan kacamata dunia yang terbatas, sehingga selamanya mereka tidak akan menerima apapun yang kita perbincangkan tentang filosofi sabar dan syukur.

Mereka berhak untuk tidak berfaham seperti faham orang yang beriman tentang syukur dan sabar sekaligus juga hal-hal yang mendorong kepada keduanya. Dan akan kami jelaskan sebab-sebab keduanya dalam uraian berikut ini :

Pertama, mereka memiliki hak untuk tidak memahami sedikitpun tentang makna sabar

Sabar pada hakikatnya tidak lebih dari menggantung harapan akan kebaikan yang akan datang. Jika harapan tidak ada, maka tidak akan ada sabar, dan tidak ada makna sabar sedikitpun tanpanya. Dalam kondisi seperti ini, pasrah dengan mudharat yang menimpa kita tidak memiliki makna apapun kecuai sebagai kepasrahan belaka yang tidak membuahkan perbuatan untuk menghadapinya. Jika ada orang yang mengalami pengalaman hidup seperti ini maka jalan yang paling layak adalah bunuh diri.

Orang yang berjalan di gua yang sempit dan gelap, perjalanan mereka lama dan panjang, tanpa ada harapan untuk sampai kepada jalan keluar yang membuatnya bisa menghirup udara bebas dan menikmati cahaya terang, maka perjalanan seperti ini bukanlah cerminan sabar, namun itu adalah sebuah perjalanan menuju bunuh diri, cepat atau lambat.

Jika ada orang kedua yang berjalan di sampingnya dalam gelap, namun ia yakin itu adalah satu-satunya jalan menuju surga kelimpahan dan cahaya terang, maka ia tidak merasakan perjalanannya kecuali harapan dan optimisme yang membuncah di dadanya, dan ia tidak melihat gelap yang melingkupinya kecuali pancaran cahaya yang ia tunggu-tunggu.

Inilah sabar yang dianjurkan Allah swt dalam kitab-Nya, bukan sabar dalam kesengsaraan panjang yang mencekik tanpa batas jelas. Tapi sabar yang mau tidak mau harus dilaksanakan sampai kepada batas tujuan yang kita tidak ragu akan keberadaan dan kepastian sampai kepadanya. Di samping kadar kesabaran yang Allah perintahkan ada pula harapan yang Allah pastikan bersanding dengannya, bahkan Allah pastikan harapan akan selalu ada.

Bagi orang yang masih saja mengeluh dan mengadu terkungkung dalam gelapnya terowongan, hendaknya dia mengeluhkan lebih dulu keingkarannya kepada Allah yang menyebabkan kegelapan selalu menghantuinya.

Bagi orang yang ingin menggugat keadilan Allah di dalam kehidupan dunia ini, hendaklah ia menggugat dirinya sendiri lebih dahulu yang mengingkari akan datangnya hari kiamat, di mana di sana ada penghitungan amal setelah adanya kesempatan bagi manusia, dan terpampang di hari itu keadilan Allah dengan jelas dan nyata.

Kedua, mereka memiliki hak untuk tidak memahami sedikitpun makna syukur

Ketika kita menjalani proses syukur dan turunannya, maka itu tidak ada artinya bagi orang yang tidak memiliki keyakinan akan adanya Dzat yang kita bersyukur kepada-Nya, atau mereka memiliki keyakinan akan keberadaan Allah namun mereka tidak memiliki rasa takut sedikitpun kepada azab Allah ketika orang itu tenggelam dalam kenimatan yang diterimanya, dan tidak memanfaatkannya dalam batasan-batasan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Orang seperti ini tenggelam dalam gelombang kenikmatan, berlari di belakangnya kemanapun kenikmatan itu menampakkan dirinya, dan mereka menganggapnya itu sebagai sebuah kebahagiaan.

Namun kondisi ini pada hakekatnya bukanlah kebahagian yang sebenarnya, kebahagiaan ini adalah kebahagian semu di alam imajinasi dan khayalan orang yang tersesat dari jalan kebenaran, dan tidak sadar akan bahaya dari sikapnya ini.

Orang yang memiliki logika sehat pasti tahu, bahwa orang yang tenggelam dalam nikmat yang diharamkan dan diancam dengan sanksi berat dari Dzat yang tidak pernah dusta atau menyeweng ancamannya, tidak patut kita iri kepadanya dan tidak layak disebut orang bahagia kecuali oleh orang itu sendiri karena kejahilannya.

Adapun orang yang beriman kepada Allah yang selalu tepat janji dan ancamannya, maka ia selalu dalam kondisi terarah hidupnya, dengan panduan padu dari iman, cinta dan rasa takut kepada Allah, menuju kepada keteguhan hati dalam batasan-batasan syukur, sambil berharap dengan penuh optimisme akan pahala dan balasan dari Allah. Inilah sejatinya makna ujian.