Salah Paham tentang Mihnah (6)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

B.8. Atas dasar apa ujian bercabang-cabang

Kita telah sampai kepada sebuah kesimpulan, bahwa sebagian besar tampilan duniawi dalam hidup kita adalah masuk dalam kategori fitnah dan ujian, dalam bentuk kebaikan maupun keburukan, dengan bagian dan cabangnya yang bermacam-macam. Allah swt menjelaskan dengan pasti dalam salah satu firman-Nya :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya : 35)

Namun atas dasar apakah fitnah itu bercabang-cabang dalam masyarakat dan individunya, satu orang dikaruniai harta dan kedudukan, yang lain dikarunai kefakiran dan kerendahan dan yang lain diuji dengan sakit akut.

Kalau kita anggap semua yang disebutkan di atas masuk dalam kategori fitnah dan ujian, tidak berarti keduanya memiliki pengaruh yang sama terhadap hati, bahkan pengaruhnya berbeda sama sekali. Karena itulah untuk yakin akan keadilan Allah dalam memberikan yang berbeda kepada manusia, maka sudah seharusnya kita memahami panduan yang menyebabkan keragaman ujian tersebut.

Kami menjawab, Keragaman fitnah adalah hal yang pasti karena melihat hakikat dari fitnah dan ujian itu sendiri. Fitnah kemiskinan tidak akan ada jika tidak dibandingkan dengan adanya kekayaan, Fitnah harta dan cara membelanjakannya tidak akan ada jika tidak dibandingkan dengan adanya kemiskinan dan kebutuhan, kalau bukan sakit dan deritanya maka tidak akan nyata nikmat kesehatan dan kebugaran badan, kalau bukan karena manusia tahu nikmatnya kesehatan dan keutuhan anggota tubuh maka tidak akan ada perasaan khawatir terhadap penyakit dan derita yang akan dirasakannya.

Begitulah setiap fenomena kehidupan di dunia ini tidak akan tegak keberadaannya kecuali dengan keberadaan lawannya, kalau saja seluruh fenomena itu tidak berbilang dan semuanya seragam dalam tampilannya, maka bukan hanya makna ujian dan fitnah saja yang hilang, bahkan akan hilang kaitan dan ikatan antara fitnah maupun ujian dengan fenomena hidup tersebut, maka hidup akan dipenuhi dengan kebosanan dan keengganan.

Kalau kehidupan dunia ini telah ditakdirkan dan dikehendaki Allah sebagai surganya ujian dan fitnah, maka Allah sang Pencipta pasti akan menegakkannya dengan keanekaragaman dan keterkaitan dengan kekhususan dan unsur-unsur pendukungnya. Allah akan tegakkan keberadaan yang satu dengan keberadaan yang lain sebagai lawannya. Sehingga dunia menjadi wahana bagi tercapainya misi besar yang dibebankan oleh Allah kepada hamba-Nya, yakni misi ubudiyyah dalam segala bentuk dan ragamnya dalam kehidupan ini.

Adapun bagaimana keragaman ujian dan fitnah ini terjadi, yakni bisa jadi satu ujian dan musibah dengan berbagai macam bentuknya menimpa seseorang namun tidak menimpa orang yang lain, maka hal ini berdasarkan hikmah besar yang didalamnya terkandung makna tarbiyah dari Allah atas hamba-hamba-Nya. Sungguh bisa jadi musibah kemiskinan adalah obat yang bermanfaat bagi kondisi seseorang dalam hubungannya dengan Allah, namun dalam kondisi yang lain kemiskinan itu adalah penyakit akut bagi sebagiann yang lain. Bisa jadi kondisi sehat seumur-umur menjadi sebab kemaksiyatan dan keburukan sebagian orang, namun di sisi lain kita melihat kondisi sehat ini menjadi sarana kebaikann yang terus menerus dan istiqamah dalam pandangan yang lain.

Ketika kami katakan, kebaikan, manfaat dan kebahagiaaan maka itu bukanlah seperti yang ada dalam persepsi kebanyakan orang tentang kebaikan, manfaat dan kebahagiaan menurut mereka, tapi yang kami maksud dengan kebaikan itu adalah segala hal yang baik dalam pandangan Allah swt, tanpa membuka mata lebar-lebar apakah kebaikan itu sesuai dengan pandangan manusia atau tidak. Allah swt berfirman :

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)

Rasulullah saw bersabda : “Sesugguhnya Allah swt menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia yang ia sukai, sebagaimana kalian menjaga anggota keluarga kalian yang sakit.” (HR. Turmudzi dan Hakim)

Arti dari semua ungkapan di atas, kebaikan itu tidak ada kaitan sama sekali dengan ridha tidaknya seorang hamba, ibarat seorang murabbi (pendidik) yang tahu akan kondisi anak didiknya apa yang ia tidak tahu tentang diri sendiri, kalau bukan karena pengetahuan ini maka ia tidak disebut sebagai Murabbi. Termasuk nama Allah yang baik, Ar Rab yang sama artinya dengann Murabbi.

Anak balita yang tumbuh dalam buaian kedua orang tuanya, terbebas dari setiap aktifitas yang tidak ia sukai, dan dijauhkan oleh kedua orang tuanya dari hal kesenangan dan kelezatan yang ia sukai, mungkin kita tidak bisa meyakinkan dirinya bahwa semuanya adalah demi kebaikan, kemaslahatan dan masa depan dirinya. Daya pikirnya belum bisa mengunyah dan memahami segala hal yang berseliweran di sekitarnya. Ketika masa balita berlalu dan ia mulai matang berpikirnya tentang hidup ini, maka ia akan menyadari tabiat dan kekhasan hidup ini, sehingga ia pasti akan berterima kasih kepada orang-orang yang ia merasa terusik dan membenci keberadaan mereka.

Kondisi manusia dalam hidup ini, dalam kaitan dirinya dengan Tuhannya tidak jauh berbeda dari kondisi balita ini dengan kedua orang tua yang menjadi walinya.

Kalau kita sudah tahu hakikat permasalahan ini, maka jangan sampai kita berpraduga negatif kepada Allah ketika Dia membuat kita terharu biru dalam berbagai macam fitnah dan ujian. Apapun kondisinya, apakah ada hikmah yang terpampang atau ada hikmah yang tersembunyi dari pandangan kita. Ingatlah Allah Maha bijaksana, tidak akan menempatkan segala hal yang dipilihnya kecuali pada tempat yang tepat dan sesuai. Seorang murabbi tidak akan bertindak tegas kepada anak didiknya, kecuali jika ia ingin mengingatkan anak didiknya dari kelalaian yang menghancurkan dan menyelamatkannya dari penyelewengan yang ia jatuh di dalamnya.

Betapa banyak kita melihat orang yang di awal kehidupannya tenggelam dalam kelalaian dari Allah, mabuk nikmat, kesehatan dan keburukan materi, kemudian Allah uji dengan penyakit yang hinggap di tubuh mereka atau kebangkrutan dalam kekayaan, lalu musibah ini menggoncang dirinya dan membawanya kembali sedikit demi sedikit keharibaan Tuhannya, lalu Allah ganti dengan kebaikan yang telah lama jauh darinya, dengan nikmat berasyik masyuk bersama-Nya dan dengan kebahagiaan kembali ke dalam rengkuhan hidayah-Nya. Kita melihat di dadanya membuncah perasaan bahagia, ridha dan kenikmatan kembali kepada Allah.

Betapa banyak kita melihat para taghut (penguasa dhalim) yang mendudukkan dirinya sebagai Tuhan, karena ia merasa berada di puncak kekuatan dan kekuasaan di dunia yang menyebabkan ia lalai dari kehambaan mereka yang hina di sisi Allah, ketika mereka jauh dari kekuasaannya, tersungkur dari istananya, tersudut di balik dinding penjara yang sempit dan terasing, mereka baru menyadari akan hakikat yang selama ini telah hilang dari kehidupannya. Mata mereka terbelalak mengamati diri mereka sendiri yang lama terpuruk dalam kebodohan, kemudian mereka mengikat hubungan dengan Allah di atas kehambaan, keridhaan dan keyakinan muthlak akan ketuhanan Allah dan kebijaksanaan-Nya.

Betapa banyak kita melihat orang yang selama hidupnya tidak pernah merasakan nikmatnya mnenghiba di sisi Allah, tidak pernah mengangkat tangan berdoa memohon kepada-Nya dari hatinya yang paling dalam, tidak pernah merasakan nikmatnya menghamba kepada Tuhan yang menegakkan langit dan bumi, nikmat Allah datang kepadanya dengan mudah dari segala penjuru, tidak ada alasan dalam pandangannya yang mendorong dirinya untuk menghiba dan menghamba kepada Allah, ketika Allah menimpakan musibah atasnya yang mana tidak berarti baginya cinta sahabat dan ketulusan dokter, harta duniawi, kekuasaan dan kekuatan para pemimpin yang berpengaruh tidak mampu menyelamatkannya, ia sadar akan Tuhannya yang tidak ada penguasa mutlak atas dirinya selain-Nya, telah hilang tempat mengadu kecuali Dia, kemudian orang itu bersegera menuju pintu Allah mengadukan musibah yang menimpanya dengan hati yang hancur luluh di hadapan-Nya.

“Ya Allah, aku kembali kepada-Mu setelah lama berlari menjauh dari-Mu, aku kenakan baju ubudiyahku kepada-Mu, aku menghadap-Mu dengan hatiku yang hancur luluh dan aku bangkit menuju kebesaran anugerah, puncak karunia dan kelembutan-Mu.
Ketika sinar iman telah menerangi hatinya yang dulu gelap gulita, ia mulai tenggelam dalam kenikmatan dekat dan manisnya munajat di sisi Allah swt, bahkan ia telah melupakan permintaannya yang menjadi tujuan dan langkah awalnya menuju Allah swt, tidak ada nikmat yang bisa menggantikan nikmat kedekatannya dengan-Nya bahkan ia tidak ingin menggantikan manisnya kehadiran Allah di hatinya dengan kenikmatan duniawi seluruhnya.

Kami tidak akan melupakan selama kami masih hidup, manusia mulia yang telah Allah swt gariskann hidupnya dalam dua kondisi. Pada awalnya ia adalah seorang anak manusia yang hidup dalam kelimpahan harta dan kesehatan prima, kemudian di akhir ia ditimpa musibah sakit pada tubuhnya yang berkepanjangan, sungguh penyakit yang menimpanya menjadikan hatinya hidup dalam kelezatan dekat kepada Allah dan kehadiran-Nya dalam hatinya. Bahkan ia mengatakan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya :

"Saksikanlah oleh kalian semua, aku tidak ingin kesembuhan penyakit yang aku derita saat ini, jika kesembuhan itu menyebabkan aku kehilangan manisnya berdekatan dengan-Nya.” Kami merasakan kekuatan kata-katanya yang muncul dari hatinya yang paling dalam dan ungkapannya yang lahir dari kekuatan ruhaninya.

Sesungguhnya kenikmatan berdekatan dengan Allah adalah buah dari taubat dan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, tidaklah seorang hamba bertaubat kecuali karena luluh dan leburnya hati dalam kerendahan ubudiyyah kepada-Nya, tidaklah hati itu luluh lebur kecuali karena banyak hal yang hilang dari dirinya, baik berupa harta, fisik maupun keluarga yang ia sayangi.

Jika Allah berkehendak, mungkin Allah jadikan perasaan luluh lebur dan ubudiyyah ini dalam bentuk makhluk yang tertanam dalam hati setiap manusia, yang tidak perlu diusahakan dan diupayakan. Namun kita ketahui bersama Allah berkehendak untuk menjadikan posisi manusia sebagai letak taklif, yang mana taklif tidak akan ada kecuali jika ada usaha dan upaya yang ditempuh melalui jalan berat, sulit dan susah.

Mungkin anda memperhatikan masalah banyak orang, lalu anda melihat suatu kondisi yang membuat anda menyangka bahwa ada penyimpangan sunnatullah yang terjaadi, lalu anda ragu akan kebenaran yang telah kami ungkapkan, seperti anda melihat banyak sekali para pendosa yang banyak melakukan mashiyat namun mereka tidak pernah tersentuh sedikitpunn oleh ujian dan fitnah, sementara disisi yang lain anda melihat banyak orang yang melakukan amalan taqwa dan istiqamah di jalan tersebut, namunn mereka tak pernah istirahat dirundung permasalahan dan musibah yang bertubi-tubi, atau anda melihat orang kafir yang mengingkari keberadaan Allah swt dan jauh dari llingkaran keimanan secara total, namun mereka berada di puncak dunia dan kenikmatan hidup yang luar biasa.

Ketahuilah sunnatullah tidak akan pernah melenceng atau mundur, tapi kita tidak bisa menyentuh aplikasinya dalam tataran permukaan realitas dan kasus perkasus. Kita tidak tahu kondisi real dan prilaku sebenarnya kecuali yang tampil di depan mata kita, adapun yang tersembunyi maka kita tidak mengetahui sedikitpun, yang mana hanya Allah yang Maha Tahu.

Karenanya dari mana kita tahu bahwa orang yang kita lihat banyak melakukan kemakshiyatan dan layak mendapatkan peringatan keras atas kemakshiyatannya, tidak memiliki kebaikan sedikitpun di sisi Allah yang kemudian menutup keburukan mashiyat yang dia lakukan, dari mana kita tahu seseorang lainnya yang terlihat memiliki kondisi lebih baik dari yang pertama tadi dalam pandangan kita, juga baik dalam pandangan Allah. Betapa lintasan pikiran yang terbersit dalam pikiran kita yang mengindikasikan sikap menodai akan hak dan kebesaran sifat Allah swt, itu lebih besar dan berbahaya, seperti kata imam Ghazali, dibandingkan dengan minum khamr, zina dan makshiyat-makshiyat lain yang terlihat oleh mata kita.

Syaikh Ibnu Athaillah As Sakandari rahimahullah dalam lautan hikmahnya yang indah mengatakan : “kemakshiyatan yang menyebabkan hati menjadi tunduk dan luluh lebur ke haribaan Allah itu lebih baik dari pada ketaatan yang justru meyebabkan hati tinggi dan sombong.” Apa sebenarnya kemakshiyatan yang menyebabkan pelakunya menjadi tunduk patuh dan luluh di hadapan Tuhannya, dan ketaatan yang menyebabkan pelakunya sombong dan tinggi hatinya.

Ketahuilah sesungguhnya kemakshiyatan yang semakin massif besarannya, dan menjadikan pelakunya semakin lebih dalam terjerumus di dalamnya, sehingga murka Allah semakin dahsyat, entah dosa makshiyat apa yang mereka lakukan sehingga mengundang murka Allah, maka Allah akan akhirkan azab-Nya pada hari kiamat kelak, semua yang ada di dunia ini tidak akan mampu menebusnya, dalam kondisi seperti ini kenikmatan dunia akan terus menghampiri pelaku mashiyat ini, semakin dalam dan semakin curam ia masuk dalam perangkap makshiyat dan sedikitpun ia tidak pernah sadar akan diri dan tidak peduli dengan masa depannya nanti.

Inilah yang kita kenal dengan istilah Istidraj (sikap membiarkan karena murka) yang dijelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya :

فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ (44) وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

“Nanti kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh.” (QS. Al Qalam : 44-45)

ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا وَبَنِينَ شُهُودًا وَمَهَّدْتُ لَهُ تَمْهِيدًا

“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku Telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, Dan anak-anak yang selalu bersama Dia, Dan Ku lapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya.” (QS. Al Mudatstsir : 11-14)

Allah telah memperingatkan umat Islamterhadap kelompok seperti ini dalam firman-Nya :

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim : 42)

Rasulullah sa pun mengingatkan kita akan sunnatullah ini dalam sabda beliau : “Jika engkau melihat orang yang diberi oleh Allah segala yang ia sukai, yang mana orang itu terus menerus dalam kemakshiyatannya, maka ketahuilah itu adalah istidraj.” (HR. Ahmad, Thabrani dan Baihaqi)

Dan dalam sabda Rasulullah saw yang lain : “Jika Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, maka Allah akan percepat hukuman atas dosanya di dunia.” (HR. Ahmad dan Thabrani dari riwayat Abdullah bin Ma’qil)

Dan dalam sabda Beliau yang lain juga : “Jika Allah menghendaki kebaikan seseorang maka Allah akan berikan banyak cobaan atasnya.” (HR. Bukhari)

Hendaknya hakikat yang besar ini mendorong kita untuk selalu besyukur kepada Allah dan berusaha sabar atas segala musibah yang ditimpakan atas kita, karena bisa jadi kita sedang dalam ujian sementara yang lain dalam kondisi sehat wal afiat. Bisa jadi kita termasuk orang yang dipercepat azabnya di dunia sebagai penebus atas dosa kita, dan mendorong kita untuk menghiba keamanan Allah dan perlindungannya.

Sekali lagi, kami mengingatkan akan kebenaran kaidah ini tidak menjamin anda mampu menerapkannya demi melihat perbedaan individu-individu masyarakat, kita tidak mampu untuk menguji kedalaman hati manusia dan menyelidiki lebih dalam ikatan batin mereka dengan Allah swt. Syariat agama ini memilki timbangan yang menilai prilaku lahiriah manusia, akan tetapi priaku batin tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dzat Yang Maha Tahu akan keghaiban, dan pemeliharaan Allah terhadap seorang hamba menembus kepada kondisi batinnya, tidak terbatas kepada prilaku lahir yang terlihat oleh mata kita.