Salah Paham tentang Mihnah (7)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

B.9. Logika Ubudiyyah

Apa yang kami paparkan pada bab-bab yang telah lalu, semuanya berada dalam lingkup pembahasan dan studi yang berbasiskan kepada pemikiran dan akal semata.

Kalau kita mau lebih dalam menyelami diri kita sendiri, mengenal jati diri kita, dan memahami bahwa kita adalah hamba Allah yang pasrah kepada ketentuan yang dikehendaki-Nya, maka secara otomatis pertanyaan yang kita ajukan sudah tidak bermakna lagi dan tidak layak untuk kita permasalahkan kembali.

Allah yang Maha Kuasa berhak melakukan apa yang Dia kehendaki, sesuai dengan kebijaksanaan dan kearifan yang dimiliki-Nya. Tidak ada hak bagi siapapun, dengan keistimewaan apapun untuk ikut campur dan ikut serta dalam memberikan usulan dan penolakan apalagi yang mengajukan adalah si hamba itu sendiri.

Cukuplah menjadi alasan yang sangat logis bagi Allah dalam menentukan kondisi seorang hamba, bahwasanya hamba tersebut adalah milik-Nya, dan Allah ingin manusia memiliki jalan untuk mencitrakan kehambaan dan ketundukan total kepada Allah swt. Alasan logis inilah menjadi pangkal makna kebijaksanaan dan kearifan Allah swt.

Kalau kita memahami makna ini, maka tidak akan ada tempat lagi bagi pertanyaan tentang keadilan Allah dalam diskusi kita ini. Kata keadilan ini memiliki kekuatan untuk membungkam segala pertanyaan dan penolakan yang mempermasalahkan segala hal yang bekaitan dengan ketentuan Allah terhadap hamba-Nya. Apapun yang ditentukan oleh Allah adalah suatu keadilan dan kebenaran mutlak.

Adalah sebuah kedhaliman yang nyata apabila ada sebagian dari kita tanpa ijin mengatur dan campur tangan dalam urusan dan milik orang lain. Bagaimana mungkin kedhaliman ini bisa muncul dalam persepsi kita kepada Allah, sementara Allah lah pemilik hakiki seorang hamba dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam menetapkan ketentuan seorang hamba.

Keadilan relatif yang selalu disandingkan dengan kata dhalim bertemu dalam satu titik penilaian, karena adanya campur tangan dalam hak milik orang lain, dan penilaian ini tidak akan masuk dalam hak milik Allah yang mutlak.

Tapi apabila keaadilan dinisbatkan kepada Allah, maka keadilan ini adalah satu makna dari anugrah yang dikaruniakan Allah atas hamba-Nya. Allah telah mewajibkann diri-Nya untuk menegakkan keadilan di hari kiamat, dengan mengungkap segala perbuatan taat maupun maksiat yang dilakukan oleh seorang hamba. Apabila ada kebaikan maka ada balasan begitu juga apabila ada keburukan maka ada siksa yang menanti. Inilah yang menjadi hak seorang raja dan hakim dalam memberikan keputusannya.

Hak ini akan ditegakkan dengan adil berdasarkan atas penghitungan amal dan timbangan keadilan di hari kiamat kelak. Dan jika Allah berkehendak, bisa saja Allah menjebloskan seluruh hamba-Nya ke dalam jurang neraka yang terdalam atau memberikan seluruh nikmat dan surga kepada seluruh hamba, tanpa ada penyelewengan sedikitpun dari timbangan makna keadilan apabila menyentuh makna dhalim.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka ulama sepakat untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa mengatakan Allah wajib melakukan ini dan itu.

Sebagaimana mereka sepakat untuk mengatakan bahwa penisbatan baik dan buruk semuanya berdasarkan kreasi dan pernyataan Allah. Allah lah yang berhak untuk memberikan label baik dan kemudian disebut baik sesuai syariat. Allah lah yang berhak untuk memberikan label buruk dan kemudian disebut buruk menurut syariah. Jika Allah berkehendak menghilangkan kedua label ini sehingga tidak ada lagi kebaikan yang dianjurkan dan tidak ada lagi keburukan yang dilarang.

Buruk yang mana Allah bersih dari sifat ini, adalah segala hal yang Allah nyatakan sebagai sebuah keburukan, dan sempurna yang mana Allah memilikinya, adalah segala hal yang Allah nyatakan sebagai sebuah kesempurnaan. Apapun yang terjadi pada seorang hamba, tanpa ada keraguan sedikitpun kita nyatakan, adalah cerminan kesempurnaan Allah, tidak ada sedikitpun label dhalim atau buruk yang menyertainya.

Hakikat ini harus kita fahami dalam rangka memaknai segala kehambaan manusia di sisi Allah swt, dan hak uluhiyyah ketuhanan Allah atas semua makhluk-Nya.

Kalau kita sudah memahami bahwa kita adalah hamba Allah, tercipta dari yang tidak ada karena kehendak-Nya, dan dia berhak untuk meniadakan kita kembali sesuai dengan kehendak-Nya pula. Sangat tidak masuk akal kita ikut campur tangan dalam hal yang kita tidak ada hak di dalamnya, apalagi bertanya : “Mengapa orang ini Engkau buat menjadi kaya dan menjadikan orang itu miskin papa, apa kesalahan orang ini sehingga Engkau buat hidupnya menderita dan sengsara dan apa kebaikan orang itu sehingga Engkau buat hidupnya dalam bahagia dan damai yang kelimpahan.”

Kita punya hak untuk bertanya tentang kebijaksanaan dan kearifan Allah, tapi dengan catatan tetap dalam koridor ubudiyyah kita kepada-Nya. Dan kita sudah banyak melihat penjelasan tentang kebijaksanaan dan kearifan Allah dalam bab-bab yang telah lalu.

Dan kita tidak punya hak sedikitpun bertanya lebih dalam di luar koridor ubudiyyah, dan kita tidak akan mampu untuk melompati koridor ini, dengan cara melontarkan gugatan atau penolakan apapun.

Kalau kita harus menggugat, maka artinya kita telah menggugat kekuasaan Allah atas diri kita dan hamba-hamba selain kita, apakah kita siap untuk melakukan itu.

Allah berkuasa secara mutlak atas dunia ini adalah realitas yang tidak terbantahkan, maka mengapa kita memberanikan diri kita campur tangan dalam kekuasaan dan kewenangannya.

Ada seorang bertanya kepada kami dalam sebuah pertemuan kami di masjid : “Saya memiliki satu anak semata wayang, tiba-tiba Allah ambil dari rengkuhan saya, padahal saat itu cinta saya sedang pada puncaknya, mengapa Allah memperlakukan saya seperti itu, padahal setahu saya, saya merasa tidak ada kewajiban yang saya tinggalkan dan tidak ada pula kemaksiatan yang saya lakukan.”

Kami katakana kepadanya : “Bisa jadi benar apa yang anda katakan, anda belum pernah meninggalkan kewajiban, tapi tidak ada hak bagi anda untuk campur tangan dalam hal yang anda tanyakan tersebut. Anak itu bukanlah milik anda, seperti yang anda sangkakan. Anda berdua adalah milik-Nya, dan bagi-Nya hak untuk menitipkan anak itu kepaada anda sementara waktu dan mengambilnya kembali pada saat yang lain. Anda tahu bahwa anda adalah hamba-Nya, dan wajib bagi anda untuk membuktikan kehambaan anda kepada-nya dengan menerima segala yang diputuskan. Kalau anda tidak ridha, kehambaan anda akan tetap ada sekalipun terpaksa. Kalau anda ridha pahala dan anugrahnya menanti, jika anda tidak ridha maka hukuman dan siksa akan menunggu anda. Dan dalam dua kondisi ini anda tidak akan terlepas dari status anda sebagai hamba-Nya.”

Kami katakan kepadanya di akhir penjelasan kami : “Hari ini anda menggugat dan mengadu. Apakah anda mampu bertahan dalam kondisi seperti ini terus menerus. Apakah anda bisa betah dengan kondisi ini sampai di akhir penghujung hidup anda di dunia ini, mempertanyakannya sampai ke ranjang maut. Kemudian ketika datang malaikat pencabut nyawa, anda pun mempertanyakan kedatangannya dan membawanya serta kepada Allah untuk menggugat dan menentang-Nya.”

Anda pasti akan tahu, bahwa dalam kondisi apapun anda harus selalu tunduk total kepada ketetapan dan keputusan Allah, kehinaan dan kelemahan akan selalu menyertai setiap pengaduan anda di hadapan Penguasa alam semesta ini.

Mengapa anda tidak lapang dada dan ridha akan segala keputusan dan ketetapan yang mana anda lemah dan tidak memiliki kuasa sedikitpunn atasnya.

Mengapa banyak anak manusia yang melupakan kehambaannya, padahal lupa atau pura-pura lupa itu tidak akan mengubah sedikitpun hakikat kehambaannya.

Di balik ini semua, karena kebesaran anugrah dan karunia Allah, Allah telah siapkan balasan yang besar kepada hamba yang mengakui kehambaannya dan kepatuhannya dalam menjalankan segala aturan yang telah ditetapkan atasnya. Barang siapa yang tidak mau mengakui kehambaannya dan tidak mematuhi segala aturan dan perintah-Nya maka kekuasaan Allah tidak akan berkurang sedikipun dan orang tersebut juga tidak langsung menjadi merdeka dan bebas semaunya.

Allah akan uji kita dengan musibah, jika kita sabar maka balasan yang besar akan menanti kita. Allah akan uji kita dengan aneka kenikmatan dunia, jika kita bisa bersyukur maka Allah akan berikan pahala yang agung untuk kita.

Bertebaran aneka ujian di sekitar kita, lalu kita dingin dengan siraman kenikmatan dan kelapangan dada, jika kita memahami dan meyakini hakikat ini.

Allah swt berfirman :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun". Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al baqarah : 155-157)

Allah telah putuskan untuk menjadikan ujian dan cobaan sebagai syariat bagi hamba-Nya, dan itu adalah hak prerogratif Allah sebagai penguasa mereka.

Allah tuliskan rahmat kasih sayang dan pahala untuk hamba-Nya, dan itu adalah karunia yang dianugerahkan atas mereka.

Dan menjadikan harga mati bagi pahala ini dengan satu kalimat yang tercetus dalam hati kita, yang kita jadikan sebagai penenang dan pendamai hati kita, yaitu “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” (kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).

Renungkanlah kalimat yang mulia ini, agar kita bisa menyelami kedalaman makna kedamaian dan keyakinan yang lahir dari kalimat tersebut.

Mari kita ucapkan dengan sepenuh hati kita, “Inna lillah” kita ingat bahwa kita adalah seorang hamba, hanyalah pajangan dari etalase kekuasaan Allah, pajangan yang tidak berkuasa atas dirinya, sekalipun kita ada di puncak ketinggian atau terbenam dalam kotoran yang menjijikkan, atau sekalipun diri kita diisi oleh ruh dan kita dibarengi dengan gerak dan perasaan, tapi sekali lagi kita adalah pajangan, apapun kondisinya adalah ada di bawah kekuasaan pemiliknya.

Lalu kita ucapkan “Wainna ilaihi rajiun” lalu kita ingat bahwa setelah kita mati, kita akan hidup kembali dan bertemu Allah swt. Kesabaran kita di sisi Allah dalam menghadapi musibah dan penderitaan akan mengundang datangnya balasan, kenikmatan dan bahagia yang tak kenal putus dan waktu. Kita di dunia dengan segala permasalahan yang ada di dalamnya saat bekerja keras dan menanam, sementara kita di akhirat adalah saat menuai segala kebahagian dan kesuksesan kita.

Ulangi dan yakini kalimat ini dengan penuh keyakinan, maka akan turun rahmat dan ridha dari Allah swt.

Logika ubudiyyah kita meminta kita agar selalu berserah diri kepada Allah, dan tidak menerima penolakan dan kritik apapun bentuknya. Ketika kita menyadari status kita sebagai hamba, maka diri kita mudah untuk tunduk dan berserah diri kepada Allah dengan penuh kesadaran.