Salah Paham tentang Mihnah (3)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***

B.4. Rahasia dibalik ini semua

Sebagian dari kita mungkin ada yang bertanya, mengapa Allah berkehendak memenuhi hidup ini dengan kebaikan dan keburukan, kenikmatan dan kepedihan, padahal Allah mampu untuk menjadikan hidup ini diliputi dengan kebaikan saja dan sepi dari segala macam kesedihan dan kepedihan.

Apa sebabnya Allah menyusahkan manusia dengan dengan akal yang membawa beban-beban di atas, sehingga kita hidup dalam kebingungan. Bukankah sebuah hal yang tidak mustahil jika Allah memberikan kenikmatan akal tanpa memberatinya dengan akibat-akibat yang menyakitkan. Bahkan mengapa mengenal Allah harus dihasilkan setelah kita merasakan susahnya hidup dan musibahnya.

Kita menjawab, sesungguhnya iradah Allah mengharapkan manusia menjadi fenomena besar yang menunjukkan akan uluhiyyah Allah dan bukti paling nyata yang menjelaskan rahasia keberadaan alam semesta ini. Dan implementasi dari semua itu yang memperlihatkan kekuasaan Allah yang sempurna, dengan pengelolaan manusia terhadap alam semesta ini, dalam rangka melaksanakan ubudiyyah yang sesungguhnya kepada Allah.

Ubudiyyah yang benar tidak akan sempurna kecuali dengan menjadikan manusia sebagai hamba Allah dengan suluk dan usaha nyatanya, sebagaimana Allah telah menjadikannya sebagai hamba sesuai dengan ciptaannya. Hal ini dengan mengakui hakikat ubudiyyah yang tertanam dalam tabiat kemanusiaan, lalu menyesuaikan dan menyelaraskan hakikat yang ada dalam dirinya dengan berbagai prilaku pilihan kita dalam hidup ini, dengan cara seperti ini kita telah mendudukkan makna ubudiyyah kepada Allah dalam hidupnya.

Kesesuaian dan keselarasan itu akan terlihat jelas ketika kita mampu menerima taklif (beban-beban) dari Allah swt, mampu merelakan diri kita menjalani hidup ini dengan membawa beban dan tanggung jawab berat dari Allah dan menjalani hidup ini dalam rangka menggapai ridha-Nya.

Semua ini tidak akan terwujud tanpa sarana yang memadai seperti akal, petunjuk dan pemikiran yang benar, yang selalu diwarnai dengan rasa pesimis maupun optimis.

Kalau materi taklif itu bersumber dari hidup ini, maka kehidupan ini pasti akan selalu dipenuhi dengan kesenangan dan kesedihan, dengan hal yang membahagiakan dan melelahkan.

Lalu apa masalah dan sulitnya memahami penjelasan ini, kecuali jika kita membangkang dari berbagai taklif yang pada hakikatnya memuliakan kita. Pembangkangan seperti ini tidak perlu menarik perhatian kita, dan secara logika tidak perlu masuk dalam forum diskusi kita. Orang yang membangkang dengan pertanyaan, “Mengapa Allah menjadikan aku hamba bagi-Nya, dan mengapa Allah tidak membiarkan aku berbuat sekehendak hatiku?”

Logika lurus tidak memiliki jawaban atas penentangan mereka kecuali dengan mengembalikannya kepada yang memiliki jiwa orang tersebut. Hendaklah ia maju menghadap Tuhan penguasa hari kiamat, kalau memang dia mau, dengan pembangkangan ini, dengan bertanya kepada-Nya, mengapa Dia menjadikan dirinya sebagai seorang hamba bagi-Nya.

B.5. Yanbu’ at Takalif wa al Masyaqqat (Sumber beban dan kesulitan)

Sesungguhnya rukun bagi masyaqqah kehidupan yang menyebabkan adanya taklif adalah dua hal :

Pertama, kesulitan-kesulitan yang diharapkan manusia tegar dan sabar, dan kedua, kebaikan-kebaikan yang diharapkan manusia bisa bersyukur atas nikmat kebaikan tersebut dan berusaha tidak tenggelam dalam kebaikan tersebut. Keduanya mempunyai peran dan sifat yang sama, keduanya adalah beban dan kesulitan.

Kita sering salah persepsi, menganggap bahwa kesulitan hanya dalam hal yang pertama, dan hal kedua jauh sekali dari yang namanya kesulitan dan beban. mungkin anda berkata dengan nada mempertanyakan : “Bagaimana oang yang punya kekayaan itu diuji, sementara dia menari bahagia dalam kelimpahan harta.”

Persepsi seperti ini adalah sebuah kesalahan fatal, yang disebabkan karena salah faham terhadap makna Ibtila (ujian). Penjelasannya sebagai berikut :

Tidak dikatakan syukur jika hanya sekedar gerak lisan yang memuji, tapi syukur adalah ketika kita menggunakan seluruh nikmat yang kita terima dari Allah swt sesuai dengan tujuan awal penciptaannya, tidak memakai seluruh nikmat yang telah diberikan kecuali dalam hal yang disyariatkan.

Bukan hanya ini saja, kita harus mampu memanfaatkannya sesuai dengan prinsip awal kita diciptakan. Kalau kita tidak melakukan yang di atas, melenceng dalam memanfaatkan nikmat yang kita terima, dari jalan yang telah digariskan maka nikmat itu tidak berapa lama akan menjadi bencana dan kesengsaraan yang tidak berujung.

Gambaran mereka seperti orang miskin, yang sangat bernafsu akan aneka kenikmatan dunia, tiba-tiba penguasa negerinya datang dengan membawa harta, dan menjadikan amanah dalam tangannya. Tapi penguasa itu mensyaratkan orang miskin tersebut bersikap amanah dalam mengelola harta tersebut, ia tidak mengambil haknya kecuali sesuai dengan keperluan dan kesepakatan yang telah ditentukan, apabila ia melanggar perjanjian yang telah dbuat dan berlebihan dalam membelanjakan harta tersebut, maka ia akan dihukum dengan siksaan yang pedih.

Bukanlah hal yang diragukan, jika si miskin tersebut mampu mengendalikan dirinya, menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan, menjaga tangannya dari harta yang ada di bawah kekuasaannya, dan menyapih nafsunya dari tarikan dan keinginannya yang menjerat, maka ia telah keluar sebagai pahlawan yang mampu mengendalikan nafsu dan mampu bersikap amanah dalam kondisi yang susah dan berat.

Setiap orang yang melihat syahwat dan kenikmatan dunia seperti kilatan yang menyambar penuh hiasan dan fitnah di balik pintu-pintunya yang tertutup, lalu dia merenung, dia sampai kepada kesimpulan bahwa taqdir Allah telah menentukan kunci-kunci pintu yang tertutup di tangannya, lalu dia tidak memakai kecuali satu kunci saja yang telah disyariatkan Allah kepadanya, membiarkan pintu-pintu lain yang ada di hadapanya tetap tertutup, lalu ia melongok nikmat itu di belakang layar yang ada dalam genggamannya, dengan hati sabar dan berpaling darinya, orang ini berjuang mengatasi ujian berat ini, sebagaimana orang yang terpaksa berjuang mengatasi kemiskinan yang menghimpitnya.

Orang miskin yang tidak memiliki kekuatan untuk mengelak dari kemiskinannya, maka tidak ada solusi baginya kecuali mengambil jalan sabar, suka atau tidak suka.

Adapun orang kaya, yang kekayaannya membuka lebar pintu aneka kenikmatan dan syahwat di hadapannya, ia tahu betapa besar nikmat yang ada di depannya, betapa nafsunya terengah-engah memburunya, lalu ia mampu melampauinya, dan tidak ia ambil dari harta itu kecuali bagian sedikit untuk menghidupi dirinya, sesuai dengan syarat dan batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh Allah. Maka bagi orang kaya ini keistimewaan pilihan yang telah ia ambil, yang menjadikannya lebih mulia dari orang miskin yang tidak memiliki pilihan dengan kemiskinannya.

Bertolak dari uraian di atas, jumhur ulama sepakat bahwa orang kaya yang bisa bersyukur itu lebih utama dari pada orang miskin yang sabar. Pada hakekatnya kedua orang ini sama-sama memiliki kesabaran, namun orang kaya berlaku sabar atas hal yang ia miliki, sabar dari tidak merengkuh dan memanfaatkannya, adapun orang miskin berlaku sabar karena tidak memilki jalan untuk mendapatkannya. Untuk membedakan keduanya, orang yang pertama disebut sebagai orang yang bersyukur dan orang yang kedua sebagai orang yang sabar.

Untuk melihat keutamaan dan sediktnya orang yang bersyukur Allah swt berfirman :

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (QS. Saba : 13)

Berangkat dari hal di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa kekayaan yang melimpah itu tidak sedikit lebih berbahaya dan lebih sulit ujiannya dibanding ujian berbagai macam kemiskinan dan kesulitan. Renungkanlah bagaimana Allah menjelaskan secara gamblang hakikat ini, ketika menjelaskan makna ujian atas kebaikan dan keburukan. Allah swt berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya : 35)