Tabiat Manhaj Alquran (2)

Rasulullah SAW diutus ketika moral masyarakat Arab sedang di jurang kemerosotan, melebihi keadaan moral umat manusia di masyarakat kuno dan primitif. Kekejaman, penindasan, penganiayaan dan pelanggaran hak orang lain membudaya di masyarakat.

Ini jelas tergambar oleh rangkaian syair Zuheir bin Abi Salma, seorang penyair terkenal di zaman jahiliyah:

“Siapa saja yang tidak menjaga kehormatan diri dan kebebasannya dengan pedang dan senjatanya,

Akan dimusnahkan orang, begitu juga siapa yang tidak melakukan kezaliman terhadap orang lain, akan menerima kezaliman orang lain ke atas dirinya.”

Juga digambarkan oleh pepatah Arab zaman jahiliyah yang berbunyi:

“bantulah saudaramu baik dia seorang zalim atau seorang yang dizalimi.”

Minuman keras dan judi merupakan kebiasaan sehari-hari yang sangat meluas di masyarakat. Bahkan merupakan suatu kebanggaan masyarakat. Gambaran masyarakat itu dilukiskan oleh penyair Tarfah bin Al-Abd:

“Seandainya tiada tiga syarat kebanggaan pemuda, hidupku takkan meriah dan aku tak akan menjamu teman sebaya: Bujukan manis si genit jelita berwajah ayu, hidangan arak membuih, si genit pembuka selera, kepingan uang gemerincing menjamu teman seiring, uang baru dan sisa peninggalan lama, semuanya ku hamburkan seenak rasa. Aku ingin disanjung dipuja. Akulah pemuda gagah perkasa…

Pelacuran dalam berbagai bentuknya sudah menjadi tradisi kebanggaan masyarakat jahiliyah, seperti yang tergambar dalam hadis riwayat Aisyah RA:

"Perkawinan di zaman jahiliyah ada empat jenis:

Pertama: Perkawinan seperti yang berlaku di zaman kita, yaitu seorang lelaki meminang seorang anak perempuan orang lain yang halal dinikahinya, atau seorang perempuan yang di bawah jagaan orang lain yang menjadi walinya; manakala pihak kedua itu menerima pinangan itu, maka terjadilah perkawinan.

Kedua: Seorang suami berkata kepada isterinya ketika si isteri itu suci dari haidnya: pergilah kau menemui si anu itu dan ambillah keturunannya, lalu si suami itu tidak menyetubuhi isterinya itu hingga didapatinya si isteri itu mengandung hasil hubungan jenis dengan orang yang disuruh ambil keturunannya itu. Dan bila jelas si isteri telah benar-benar mengandung, barulah si suami itu menyetubuhi isterinya kalau dia mahu.

Sang suami menyuruh isterinya berbuat demikian karena dia menginginkan seorang anak yang pintar. Perkawinan jenis ini dinamakan “kawin mencari anak pintar.”

Ketiga: Sekumpulan laki-laki, kira-kira tak sampai sepuluh orang, bersepakat menyetubuhi seorang perempuan tertentu. Semua mereka melakukan persetubuhan itu (sesuai giliran masing-masing). Bila si perempuan hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa waktu setelah kelahiran anak itu, maka perempuan tadi pun menjemput setiap orang yang terlibat dalam kesepakatan menyetubuhinya itu dahulu, dan dalam hal ini tidak seorang pun yang bisa mengelak dan melepaskan diri.

Setelah peserta kesepakatan itu berkumpul, maka perempuan itu pun berkata: “Wahai lelaki sekalian, kamu semua tentunya telah maklum tentang apa yang telah kalian lakukan. Nah ini dia, aku telah melahirkan anak kalian. Ini anakmu wahai si fulan…., beri namalah anakmu ini sesuka hatimu,” lalu diserahkannya anak itu kepada orang yang dipilihnya itu, dan orang itu tidak boleh menolak.

Keempat: Beberapa orang berkumpul untuk menyetubuhi seorang perempuan secara bergiliran (tanpa kesepakatan apa pun) dan perempuan itu tidak boleh menolak siapa saja yang ingin menyetubuhinya. Perempuan itu akan meletakkan selembar kain sebagai tanda di pintu rumahnya kalau ada seseorang yang sedang menyetubuhinya (siapa saja yang suka boleh menyetubuhinya).

Bila perempuan lacur itu mengandung dan melahirkan anak, seluruh lelaki tadi akan berkumpul dan membuat kesepakatan dan persetujuan sesama mereka tentang siapakah di antara mereka yang patut menjadi bapak anak itu; dan orang yang dipilih itu- tidak boleh menolak keputusan bersama itu dan mesti sanggup menerima tanggungjawab sebagai ayah si anak itu. (Hadis riwayat Bukhari di dalam Bab Al-Nikah)

Barangkali ada pula orang berkata: Bahwa Nabi Muhammad SAW bisa menjalankan dakwah reformasi untuk memperbaiki keadaan masyarakat supaya dapat meninggikan tingkatan moral dan membetulkan sendi-sendi perjalanan masyarakat itu serta kemurnian jiwa para anggotanya.

Orang lain mungkin berkata: pada saat itu Rasulullah bisa mendapatkan beberapa orang tertentu yang telah dirusak oleh masyarakat, lalu membimbing mereka menyahut seruan reformasi itu, seperti yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi lainnya.

Mungkin ada pula pendapat lain yang mengatakan kalaulah Rasulullah SAW berbuat seperti itu, nescaya beliau akan disambut dan disanjung oleh sebagian besar orang yang masih suci moral dan jiwanya, dan dengan demikian, tambah mendekatkan penerimaan seruan akidah yang dipeloporinya daripada mendeklarasikan seruan LA ILAAHA ILLALLAH itu, yang ternyata mendapat tentangan hebat sejak awal dakwah dimulai.

Tetapi, Allah SWT Maha Mengetahui bahwa itu bukanlah jalannya. Maha Mengetahui bahwa moral dan akhlak yang baik itu tidak akan dapat tegak melainkan di atas asas akidah yang membuat pertimbangan-pertimbangan, dan menetapkan nilai-nilai, seperti juga akidah itulah fondasi yang menjadi tempat tegaknya pertimbangan dan nilai itu. Serta, ada balasan atau ganjaran untuk orang yang patuh atau melanggarnya.

Sebelum akidah itu ditancapkan dan sebelum kekuatan itu ditegakkan, maka nilai-nilai apa pun menjadi labil dan tak tetap. Begitu jugalah moral dan akhlak yang didirikan di atas nilai-nilai yang labil akan menjadi goncang; tiada panduan, tiada ganjaran dan tiada pengaruh apa pun.

Manakala akidah itu menghujam kuat – tentunya setelah menempuh kesukaran – dan kekuatan yang menjadi dasar bagi akidah itu telah tegak, manakala umat manusia itu kenal akan Tuhannya dan mengabdikan diri kepada Tuhannya saja, manakala umat manusia melepaskan diri dari penguasaan hamba-hamba Tuhan dan syahwat nafsu durjana, manakala LA ILAAHA ILLALLAH meresap ke dalam lubuk hatinya, niscaya Allah akan melakukan semua apa yang dicita-citakan tadi itu, dan niscaya bumi Allah ini akan lepas bebas dari unsur-unsur kekuasaan Romawi dan Parsi. Bukan untuk diambil alih oleh kekuasaan bangsa Arab, tetapi untuk dipastikan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah.

Bersihlah bumi ini dari kekuasaan TAGHUT, seluruhnya, apakah thagut yang berbangsa Romawi, Parsi, Arab dan lain-lain.

Ketika itu, masyarakat seluruhnya akan lepas bebas dari semua penganiayaan dan penindasan sosial dan akan tegak berdiri sistem Islam yang menegakkan keadilan menurut keadilan Allah, melaksanakan hukum-hukum Allah, dan dengan hukum ini, berkibarlah bendera keadilan sosial dengan nama Allah saja, memakai lambang dan nama ISLAM tanpa dipengaruhi oleh nama-nama yang lain selain LA ILAAHA ILLALLAH. Inilah dekralasi yang berkibar megah melindungi masyarakat umat manusia.

Jiwa dan akhlak pun akan bersih, begitu juga hati nurani dan ruh, tanpa menungu perintah, tanpa mengharapkan ganjaran, kecuali dari Allah. Karena pengawasan yang benar telah ada di dalam hati yaitu dengan mengharapkan keridaan Allah serta merindukan kurnia-Nya, malu kepada Allah dan takut murka-Nya. Itulah pengawas yang sebenarnya.

Nilai manusia pun dengan sendirinya menjadi tinggi, baik di dalam sistem maupun di dalam seluruh kehidupan, meningkat ke suatu tingkat yang belum pernah dicapai dan belum ada bandingannya, kecuali di bawah panji-panji Islam.

Ini semua terealisir dengan sempurna, karena orang yang menegakkan agama ini di dalam bentuk pemerintahan dan sistem kehidupan, dalam bentuk syariat dan undang-undang, mereka itu semuanya sebelumnya karena memang telah menegakkan agama ini di dalam hati nurani mereka, di dalam keseharian mereka mulai dari akidah, akhlak, amal ibadat dan segala urusan hidup yang lain.

Mereka hanya berharap satu hal dalam menegakkan agama ini, yaitu harapan yang tidak dipengaruhi oleh apa pun, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi ini, yaitu harapan akan janji surga dari Tuhan mereka. Janji ini disediakan untuk mereka dalam menghadapi jihad yang hebat itu, dalam mengarungi samudera perjuangan yang luas tak bertepi. Mereka terus menjalankan dakwah, menentang jahiliyah di mana saja dengan memakai senjata yang tak akan usang di setiap tempat dan zaman, yang paling ditakuti oleh para penguasa di mana saja, yaitu senjata LA IL.AAHA ILLALLAH.

Bila mereka diuji Allah, mereka terus bersabar. Jiwa mereka lepas bebas dari rasa kepentingan diri dan Allah telah rmenyaksikan bahwa mereka tidak mengharapkan pembalasan apa pun di dalam dunia yang fana ini, walaupun merekalah yang menjayakan dan menjadi ujung tombak kemenangan dakwah dan merekalah yang berjuang mendaulatkan agama; tapi hati mereka tetap bersih dari sebarang rasa bangga, mulai dari bangga dengan kebangsaan, bersih dari rasa cinta kepada tanahair, dari keangkuhan keturunan dan keluarga.

Ya…, manakala Allah menyaksikan bahwa mereka berkeadaan demikian, nescaya Allah pula akan membuat ketentuan bahwa mereka berhak memegang amanah yang sangat penting itu, mereka setia memegang akidah dengan hanya Allah saja yang menguasai hati, nadi dan perilaku mereka, menguasai ruh dan harta benda mereka, menguasai dasar dan peraturan hidup mereka. Merekalah pemegang amanah yang setia terhadap amanah kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka untuk menegakkan syariat Allah SWT di bumi ini.

Mereka melaksanakan manhaj dakwah dengan begitu sempurna, tanpa penyimpangan sedikit pun, walaupun dengan alasan untuk menolong teman-teman mereka dan kaum keluarga yang dikasihi, untuk membantu anak bangsa sendiri. Karena mereka paham benar bahwa yang ada di tangan mereka pada hakekatnya adalah kepunyaan Allah SWT.

Program yang agung ini tidak akan dapat dilaksanakan kecuali bila dakwah dapat menguasai keadaan dan mengibarkan bendera mulia itu, bendera LA ILAAHA ILLALLAH. Juga, bila dakwah itu sanggup menempuh jalan yang berliku-liku dan menanjak.

Program ini tidak akan bisa murni karena Allah kalau diawali dengan metode dakwah yang bercorak kebangsaan atau bercorak sosial atau berupa seruan ke arah kebaikan moral atau mengibarkan bendera dan panji-panji yang lain selain LA ILAAHA ILLALLAH.

Demikian halnya ayat-ayat Al-Quran periode Mekah itu dalam menerapkan pengaruh LA ILAAHA ILLALLAH ke dalam hati dan fikiran manusia. Dengan memilih jalan ini, walaupun merupakan jalan yang penuh susah dan derita, tapi mereka tidak memilih jalan sampingan yang lain.

Adapun halnya Al-Quran ayat Makiyah itu mengulas hal-hal keyakinan saja tanpa menoleh kepada perincian sistem yang menjadi landasan kepadanya dan kepada masalah perundangan yang mengatur urusan mu’amalah. Hal ini patut menjadi bahan renungan secara serius oleh para pendakwah ke arah agama ini.

Sesungguhnya bentuk dan tabiat agama ini sendiri yang membuat ketentuan ini karena ia adalah suatu “din” atau agama yang tegak di atas dasar mentauhidkan Allah. Dasar tauhid yang menjadi akar segala sistem dan peraturannya, seperti sepohon kayu yang besar, berdaun rindang, berdahan rimbun, melambai-lambai ke udara; karena ada akar kokoh yang menghujam kuat di perut bumi, memakan ruang yang sangat luas dan jauh, sesuai dengan besar dan rindangnya pohon itu.

Begitu pula dengan agama ini; peraturannya meliputi seluruh aspek hidup, mengatur dan memandu urusan hidup manusia, mulai urusan yang besar dan kecil dan lebih dari itu, ia mengatur penghidupan manusia di alam abadi, di akhirat, bukan sekadar alam nyata yang dapat dirasa dan diraba dengan pancaindera semata, juga meliputi alam yang serba sulit dan tersembunyi, alam ghaib yang tak terjangkau oleh kemampuan nalar manusia yang serba lemah ini tidak terbatas di dalam urusan materi semata, tapi juga menjangkau alam fikiran dan khayalan, alam hati dan perasaan yang serba sulit dan aneh.

Ini adalah sebagian saja dari rahasia dan bentuk asli agama ini, yaitu program pembinaan akidah yang meliputi semua arah lapangan kehidupan, bagaikan sebatang pohon besar yang punya akar yang terhunjam di perut bumi, dahan dan daunnya yang subur dan berdiri tegak di tengah-tengah peredaran udara.

Manakala akidah LA ILAAHA ILLALLAH itu meresap di lubuk hati, niscaya akan meresap pula peraturan-peraturan yang dibawa oleh LA ILAAHA ILLALLAH itu dan tegaklah sebuah peraturan tunggal yang telah diridai oleh jiwa yang telah diresapi oleh akidah itu dan jiwa itu rela menyerah kepada sistem itu walaupun tanpa huraian yang lanjut tentang sistem-sistem dan perundangan yang lain.

Penerimaan itu tidak perlu dengan uraian detil, bahkan hanya dengan diberitahu dan disampaikan saja peraturan itu, maka ia terus diterima dengan baik, dengan penuh kerelaan dan kepatuhan. Hal itulah yang akhirnya mengubur kebiasaan suka minum arak, riba, bermain judi dan lain-lain kebiasaan jahiliyah, terhapus dengan semata-mata turunnya Ayat Al-Quran atau pun dengan ucapan sabda Rasulullah SAW sedangkan penguasa-penguasa sekuler berusaha semaksimal mungkin memaksakan undang-undang melalui alat-alat selebaran umum dan melalui paksaan dan pengawasan polisi dan tentera. Tapi, upaya mereka itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Masyarakat justru semakin berleluasa melanggar undang-undang yang telah dikuat kuasakan itu.

Suatu sudut lain dari tabiat agama ini menjelma dalam program yang tegas ini, yaitu bahwa agama ini ialah suatu program yang praktis, bergerak dan serius. Ia didatangkan untuk menguasai kehidupan dan realitasnya dan untuk memimpin realitas, apakah menerima, menunda atau mengubahnya dari akarya.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa program agama ini tidak membuat peraturan melainkan untuk keadaan yang benar-benar berlaku di dalam sebuah masyarakat yang mengakui bahwa kekuasaan itu hanya kepunyaan Allah semata.

Program itu bukanlah sekadar “teori” yang memuaskan imajinasi tertentu, bahkan ia adalah suatu program yang membimbing sebuah realitas. Oleh karena itu, maka yang paling utama sekali ialah wujudnya terlebih dahulu sebuah masyarakat yang mengakui: bahwa tiada Tuhan melainkan Allah (LA ILAAHA ILLALLAH) dan mengakui bahwa tiada kekuasaan melainkan kepunyaan Allah SWT saja dan menolak sembarang bentuk kekuasaan selain dari Allah dan menolak sembarang pandangan yang tidak dibangunkan di atas kaedah ini.

Bila saja masyarakat Islam itu wujud dan mempunyai kehidupan yang nyata, maka saat itulah ia membutuhkan peraturan dan sistem undang-undang bagi suatu kelompok manusia yang sudah siap patuh kepada perintah dan undang-undang Allah saja dan menolak sembarang peraturan dan undang-undang yang lain daripadanya.

Orang-orang yang beriman dan yakin kepada akidah ini mestilah punya kekuasaan atas diri mereka sendiri dan atas masyarakat mereka yang menjamin terlaksananya sistem dan undang-undang di dalam masyarakat itu sehingga sistem itu mempunyai kehebatannya dan undang-undang itu mempunyai keluhurannya selain daripada bahwa masyarakat itu mempunyai realitasnya sendiri.

Orang-orang Islam di zaman Mekah tidak punya kekuasaan atas diri mereka dan juga atas masyarakat mereka. Mereka tidak punya kenyataan hidup dan realitas yang tersendiri yang mereka dapat mengaturya menurut syariat Allah. Oleh kerana itu, di peringkat ini Allah SWT tidak menurunkan undang-undang dan sistem kemasyarakatan, melainkan Allah SWT menurunkan wahyu yang berkaitan dengan urusan kepercayaan dan moral yang menjelma dari akidah.

Namun, ketika kaum muslimin itu mempunyai sebuah negara yang berkuasa dan berdaulat di Madinah, Allah SWT pun menurunkan wahyu mengenai peraturan-peraturan hidup dan undang-undang, mengenai sistem pemerintahan dan sebagainya yang mengatur bagaimana memenuhi hajat masyarakat Muslim yang praktis dan yang dijamin pelaksanaannya oleh negara.

Allah tidak menurunkan ayat-ayat mengenai peraturan hidup dalam periode kehidupan mereka di Mekah supaya bisa mereka simpan sebagai bekal dan persediaan untuk kelak dilaksanakan bila saja berdiri negara Islam di Madinah. Hal itu karena bukanlah tabiat agama ini, juga karena agama ini lebih praktis daripada itu, dan lebih serius lagi.

Agama ini tidak membuat masalah-masalah pengandaian untuk dicari-cari penyelesaiannya di dalam khayalan. Ia dirancang untuk siap menghadapi kenyataan di mana saja ada masyarakat Islam yang rela tunduk kepada panduan Ilahi dan menolak sembarang panduan yang lain, dalam setiap keadaan dan suasana dan dalam setiap bentuk dan rupa.

Orang-orang zaman sekarang yang mendesak supaya Islam mengemukakan teori-teori mengenai sistem perundangan yang lengkap, supaya Islam membentuk dasar-dasar penyelesaian masalah-masalah yang mungkin timbul; sedangkan di bumi ini tiada lagi sebuah masyarakat yang telah memutuskan untuk hukum menurut perintah Allah dan menolak sembarang peraturan dan undang-undang selain dari syariat Allah, padahal mereka mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.

Orang-orang seperti itu, yang mendesak Islam berbuat demikian, adalah sebenarnya orang-orang yang tidak faham hakikat Islam dan bagaimana Islam itu bergerak di dalam hidup seperti yang dikehendaki oleh Allah.

Orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang hendak mengubah tabiat, program dan sejarah agama ini; orang-orang yang hendak mengubah bentuk sejarah Islam supaya Islam ini sama setaraf dengan teori-teori bikinan manusia, setingkat dengan program ciptaan manusia.

Mereka juga adalah orang-orang yang mencoba memalingkan Islam dari landasannya yang sejati dan dari jalannya yang asli semata-mata untuk menyahut dan memenuhi keinginan sesaat dalam diri mereka, sebagai keinginan yang timbul dari kekecewaan jiwa mereka sendiri, kekecewaan mereka menghadapi konsep dan sistem-sistem bikinan manusia yang tidak mampu mereka hadapi.

Mereka bermaksud supaya Islam ikut menjadi kerdil seperti jiwa mereka. Supaya Islam menjadi suatu teori yang penuh dengan andaian-andaian yang menggelikan, untuk menghadapi masa depan yang tidak wujud. Allah menghendaki supaya agama ini mengikut kehendak-Nya. Allah menghendaki supaya Islam menjadi suatu akidah dan keyakinan hidup yang memenuhi ruang hati, yang menguasai akhlak dan nadi, akidah yang menentukan bahwa manusia tidak boleh tunduk selain kepada Allah dan tidak menerima peraturan hidup dan undang-undang yang lain dari peraturan dan undang-undang Allah.

Inilah bentuk yang dikehendaki oleh Allah mengenai agama ini, dan sekali-kali tidak akan berlaku melainkan apa yang dikehendaki oleh Allah walau apa jua pun keinginan manusia! Itu semuanya hendaklah difahami oleh para pendakwah Islam ketika mereka menyeru manusia untuk kembali menegakkan agama ini; perlu manusia itu diseru dan didakwah supaya menganut akidah ini, termasuk kepada orang-orang yang mengklaim diri mereka muslim!

Para dai wajib membina manusia bahwa Islam itu dasar awalnya adalah pengakuan dan ikrar dengan sebenarnya akan akidah LA ILAAHA ILLALLAH mengikut maknanya yang hakiki. Yaitu: mengembalikan hak memerintah kepada Allah saja di dalam seluruh urusan mereka, dan menolak setiap orang yang melanggar kekuasaan Allah dengan menyatakan bahwa hak memerintah itu adalah kepunyaan mereka (dan bukan kepunyaan Allah). Mengaku dan berikrar dengan sungguh-sungguh, pengakuan dan ikrar yang melekat di lubuk hati dan menjelma di dalam kenyataan dan keseharian hidup mereka.

Hendaklah persoalan ini menjadi asas dakwah agar manusia kembali ke jalan Islam. Karena persoalan ini telah menjadi asas dakwah menuju ke jalan Islam untuk yang telah dicontohkan oleh para generasi pertama dakwah yang telah diselenggarakan oleh Ayat-Ayat Al-Quran periode Mekah selama tiga belas tahun.

Apabila agama ini dianut oleh kelompok manusia berdasarkan pemahaman yang benar – maka kelompok itulah yang diberi nama “masyarakat Islam”. Yaitu masyarakat yang cukup kelayakan untuk menghayati sistem Islam dalam kehidupan mereka dalam bermasyarakat. Sebab mereka telah berikrar untuk hidup di atas asas ini seluruhnya dan tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang lain atas kehidupannya selain dari kekuasaan dan perintah Allah.