Indahnya Musyawarah Islam, Dan Menyimpangnya Demokrasi

abul ala maududi22Abul A’la Al Maududi

Sistim politik Islam didasarkan atas tiga prinsip yaitu Tauhid (kemaha Esaan Tuhan), Risalah (Kerasulan Muhammad) dan khilafah.

Khalifah yang berarti menurut kamus bahasa Arab berarti perwakilan (ing. Representation). Posisi dan tempat manusia di bumi ini menurut ajaran Islam, adalah posisi wakil dari Tuhan. Ia adalah wakil Tuhan di bumi ini. Disebutkan demikian karena berdasarkan kekusaan-kekuasaan yang didelegasikan kepadanya oleh Tuhan, ia diharapkan akan melaksanakan kekuasaan Tuhan di bumi ini dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Diambil perumpamaan saudara menunjuk seorang  wakil untuk menjalankan perusahaan anda atas nama anda sendiri. Anda tertentu harus memiliki empat syarat kelayakan dari orang tersebut tanpa ada perubahan yakni :

Pertama,  anda tetap pemilik sebenarnya perusahaan dan bukan si pengurus (administrator) ; kedua ia akan mengurus milik saudara itu hanya sesuai dengan instruksi-instruksi saudara; ketiga , ia akan melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang saudara telah ditetapkan baginya; dan keempat dalam menjalankan administrasi  dari amanat saudara itu dan memenuhi keingingan saudara dan bukan kehendak  dan keinginannya sendiri.

Ke empat syarat ini begitu inkoherent dalam setiap kondep tentang perwakilan. Jika seseorang tidak memenuhi syarat ini maka ia dianggap telah melanggar batasannya dalam kedudukannya sebagai wakil dan ia telah keluar dari janjinya yang terkandung dalam konsep perwakilan. Inilah sebenarnya yang terkandung dalam Islam ketika ia menetapkan bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi ini. Dan keempat syarat ini terkandung juga dalam konsep tentang khilafah.

Negara yang didirikan sesuai dengan teori politik ini pada hakikatnya akan menjadi satu perwakilan manusia di bawah kedaulatan tuhan dan akan memenuhi maksud dan tujuan Tuhan dengan bekerja di bumi Tuhan dalam batas-batas yang ditetapkannya dan sesuai dengan instruksi dan ajaran-ajaranNya

PERBEDAAN  DEMOKRASI BARAT DAN MUSYAWARAH ISLAM

Penjelasan di atas tentang perkataan khilafah juga dengan cukup terang menjelaskan, bahwa tidak ada perorangan manusia atau kelas atau dinasti dapat menjadi Khalifah, dan bahwa kekuasaan khilafah  itu dianugerahkan kepada seluruh golongan rakyat, kepada masyarakat sebagai satu keseluruhan, yang memegang bersedia memenuhi syarat-syarat perwakilan itu setelah menyetujui prinsip-prinsip Tauhid (Kemaha Esaan Tuhan) dan Risalah (Kerasulan MUHAMMAD s.a.w.) tersebut di atas.

Masyarakat seperti itu memikul tanggung jawab Khilafah itu sebagai satu keseluruhan dan masing-masing anggotanya mengambil bagian dalam Khilafah Ketuhanan itu. Di sinilah titik dimana Musyawarah mulai dalam islam.

Setiap orang dalam masyarakat Islam menikmati hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari perwakilan ketuhanan itu dan dalam hal ini semua perorangan manusia adalah sama. Tidak ada seorang pun melebihi yang lainnya atau dapat melucuti seseorang lain dari hak-hak dan kekuasaan-kekuasaanya. Badan-badan untuk melaksanakan soal-soal negara dibentuk sesuai dengan kehendak dari orang-orang ini dan kekuasaan negara hanya suatu pertumbuhan bersama belaka dari kekuasaan-kekuasaan perorangan yang didelegasikan kepadanya. Pendapat mereka adalah decivise (memutuskan) dalam pembentukan pemerintah yang harus dijalankan dengan nasihat mereka dan sesuai dengan kehendak-kehendak mereka. Barang siapa memperoleh kepercayaan mereka ia akan tugas dan kewajiban –kewajiban dari Khilafah atas nama mereka; dan jika ia kehilangan kepercayaan ini, ia harus berhenti dan menundukkan kepalanya terhadap kemauan mereka itu. Dalam hal ini sistem politik Islam adalah suatu bentuk musyawarah yang sempurna.

Dengan sendirinya perbedaan menyolok antara musyawarah Islam dan demokrasi barat ialah bahwa demokrasi Barat itu didasarkan atas kedaulatan rakyat, sedangkan musyawarah Islam itu berdiri atas prinsip Khilafah rakyat. Dalam demokrasi barat rakyat adalah berdaulat, sedangkan dalam musyawarah Islam kedaulatan itu berada pada Tuhan dan rakyat adalah Khalifah-khalifah atau wakil-wakil-Nya. Dalam demokrasi Barat rakyat membuat undang-undangnya sendiri, sedangkan dalam musyawarah islam rakyat harus mengikuti dan mentaati undang-undang dari Syari’at yang diberikan Tuhan lewat Rasul-Nya Muhammad SAW. Dalam demokrasi Barat pemerintah berusaha memenuhi kehendak rakyat, sedangkan dalam musyawarah Islam pemerintah dan rakyat yang membentuknya bersama-sama berusaha memenuhi kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan Tuhan.

Pendeknya, demokrasi Barat adalah semacam kekuasaan absolut tang menjalankan kekuasaan-kekuasaannya secara bebas sekali, sedangkan dalam musyawarah Islam adalah takluk dalam hukum Tuhan dan menjalankan kekuasaannya sesuai perintah-perintah dan ajaran-ajaran Tuhan dan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh-Nya.